Hari pernikahan adalah sesuatu peristiwa istimewa dalam kehidupan seseorang. Namun, hal itu mungkin tidak berlaku untuk pasangan Edzhar dan Sherin. Mereka sepakat untuk menikah hanya untuk menyenangkan hati Lynch, papa mereka.
"Anda cantik sekali, Nona." MUA yang sedang menata rambut Sherin melihat wajah mempelai wanita dari pantulan cermin.
"Benarkah?" dijawab pertanyaan oleh Sherin. Sejak tadi pikiran wanita itu tidak fokus. Sherin hanya memikirkan bagaimana nasib pernikahannya setelah acara resepsi selesai. Sherin juga takut dengan malam pengantin. Dia tidak ingin melakukan hal tersebut tanpa cinta. Cukup sekali saja dia bertindak bodoh.
"Iya, Nona. Pasti calon suami Anda sangat beruntung. Dia pasti sangat beruntung," balas MUA sembari memberi semprotan agar rambut Sherin lebih rapi.
"Begitu ya?" tanya Sherin sambil menahan getir di hati. Beruntung atau tidak, dia saja belum tahu. Edzhar memang baik. Selalu perhatian kepada dirinya. Tetapi, Sherin sangat tahu jika mendiang kakaknya menitipkan pesan kepada Edzhar.
"Pasti dia bersikap baik hanya karena rasa bersalah kepada Mama. Dia juga sudah terlanjur berjanji kepada Kakak," ucap Sherin dalam hati.
Lynch masuk ke ruangan. Mendekati Sherin yang sedang berdiri di depan dinding kaca sambil melihat penampilan putrinya yang mengenakan gaun pengantin.
"Putri Papa sangat cantik. Kamu mirip sekali dengan Mama kamu. Dia juga sangat cantik di hari pernikahan. Papa saja sampai gugup saat mengucapkan janji nikah. Aku harap Edzhar nggak grogi ketika melakukannya."
***
Di ruangan yang lain, penata rias juga sedang menepuk-nepuk spons ke wajah Edzhar. Pikiran laki-laki itu sama dengan Sherin. Tidak fokus. Bahkan beberapa kali dia terjingkat ketika wanita yang sedang merias wajahnya mengajak bicara.
"Jangan terlalu grogi, Tuan." Penata rias berucap. "Dulu suami saya pun gugup. Sama persis seperti Anda. Dia sampai terbata-bata saat mengucapkan janji nikah. Tuan rileks saja."
"Apa sangat terlihat kalau aku sedang gugup?" Edzhar sudah berusaha menutupi, ternyata raut wajahnya terbaca juga.
"Sejak tadi Anda melamun. Itu sebabnya saya menebak."
***
Alunan musik pernikahan terdengar mengiringi langkah Sherin dan Lynch saat berjalan menuju altar. Mereka sengaja mengadakan acara out door agar lebih terkesan alami. Selain keluarga dan handai taulan, lautan indah yang terbentang luas akan menjadi saksi saat kedua mempelai saling mengucapkan janji suci.
Gaun pengantin berwarna putih semakin mempertajam kecantikan Sherin. Pemandangan itu semakin indah karena diriringi oleh empat orang yang membawakan bunga di belakangnya. Hari ini Edzhar dan Sherin menjadi raja dan ratu sehari. Lynch menyerahkan putri kesayangannya kepada Edzhar yang sudah berdiri dengan gagahnya di altar. Sherin menerima uluran tangan calon suaminya. Sekarang keduanya sudah duduk di kursi pengantin yang disediakan oleh panitia. Berbagai rangkaian acara pun dilaksanakan sampai pada intinya. Keduanya akan mengikat janji pernikahan di hadapan Tuhan, pendeta, keluarga, dan handai taulan.
"Di hadapan Tuhan, hamba-Nya, dan jemaat-Nya yang kudus, saya Edzhar Frumentius menerima engkau Sherin Naomi Lynch, sebagai isteri satu-satunya dan sah di dalam Tuhan. Saya mengambil engkau menjadi istri saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu susah mau pun senang, pada waktu kelimpahan mau pun kekurangan, pada waktu sehat mau pun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus." Ucapan janji pernikahan keluar dari mulut Edzhar. Menahan semua rasa grogi dan jantung yang sudah tidak tahu aturan, pria itu akhirnya berhasil mengucapkan dari awal hingga akhir.
Setelah Edzhar mengucapkan janji, tibalah giliran Sherin. Beberapa detik dia berdiam diri. Lidahnya terasa berat untuk mengatakan apa pun. "Sherin," suara lembut Edzhar akhirnya membangunkan dia dari lamunan.
Sherin pun memaksa lidah tak bertulangnya untuk berucap. "Di hadapan Tuhan, hamba-Nya, dan jemaat-Nya yang kudus, saya Sherin Naomi Lynch menerima engkau Edzhar Frumentius sebagai suami satu-satunya dan sah di dalam Tuhan. Saya menerima engkau menjadi suami saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu susah mau pun senang, pada waktu kelimpahan mau pun kekurangan, pada waktu sehat mau pun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus." Dari balik veil, Sherin melihat wajah laki-laki yang sudah menerimanya sebagai pendamping hidup. Mereka bertukar cincin, dan Edzhar menyingkap penutup wajah sang istri.
Sesuai instruksi dari pendeta, mereka berdua pun melakukan penyatuan bibir sebagai ungkapan jika mereka sudah sah menjadi pasangan suami istri.
"Aku nggak pernah menyangka jika pada akhirnya yang menjadi suamiku adalah anak asuh Papa. Apakah aku akan bahagia menjalani pernikahan ini?" Banyak pertanyaan yang diucapkan Sherin di dalam hati.
***
Sherin dan Edzhar duduk di sofa pengantin yang sudah disiapkan di atas panggung. Mereka menyaksikan kebahagiaan keluarga dan para tamu yang datang. Memang tidak banyak yang diundang. Sherin ingin acaranya lebih eksklusif. Dia tidak mau banyak orang yang tahu tentang pernikahannya.
Edzhar melihat minuman kemasan di atas meja. Dia membuka penutupnya dan memberikan kepada Sherin.
"Minumlah! Aku perhatikan sejak tadi kamu belum minum. Jangan sampai dehidrasi dan pingsan di sini."
"Terima kasih. Aku juga sangat lapar. Tapi mana mungkin aku makan di depan para tamu."
Edzhar melambaikan tangan pada salah satu orang dari pihak WO.
"Tolong bawakan beberapa kudapan untuk istri saya, ya!" titahnya.
"Baik Tuan."
Seperti makanan surga, Sherin menyantap potongan kue yang ada di piring. Sewaktu makan siang, dia menolak dengan alasan tidak lapar. Sekarang wanita itu seperti orang yang sudah tidak makan selama tiga hari.
"Pelan-pelan saja makannya!" Jemari Ed membersihkan cream yang menempel di bibir Sherin. Kebetulan kejadian itu tertangkap kamera ponsel Joan.
"Cieee… pengantin baru romantis sekali," ledek Joan. Dia dan Aira naik ke atas panggung karena para tamu undangan sedang menikmati sajian makanan yang sudah tersedia.
"Jangan bikin kami iri dong! Romantisnya bisa nanti malam saja. Nggak akan ada orang yang lihat." Aira pun menambahkan membuat Sherin tersedak. Sudah beberapa hari ini dia memikirkan nasib malam pengantinnya.
"Hati-hati, She!" Edzhar mengambil botol minuman Sherin yang belum habis. "Minum lagi!" titahnya. Sherin hanya menerima tanpa membantah. Biasanya dia selalu menjadikan apa pun yang dilakukan oleh Ed sebagai bahan perdebatan.
"Sepertinya Sherin canggung karena ada kita. Lebih baik kita turun saja. Siapa tahu saja ada pria tampan yang bisa kita ajak untuk bersenang-senang," ucap Joan. Dia menarik tangan Aira dan turun dari panggung.
"Kedua temanmu lucu juga," puji Edzhar membuat istrinya cemberut.
"Kenapa tidak menikah saja dengan mereka?" kesal Sherin membuat Edzhar ingin mengacak rambutnya, namun diurungkan mengingat acara resepsi belum berakhir. Jangan sampai dandanan Sherin rusak karena dirinya.