"Ya ampun, Ibu masih nggak percaya ini kamu! Sekarang udah gede, tinggi, makin tebel alisnya. Ganteng, deh."
Pujian-pujian itu tak pernah berhenti lolos dari bibir Bunda Sarah sejak Rey datang dan mengetuk pintunya dua jam lalu. Bahkan Rey harus membagi perhatiannya dengan sepiring nasi yang sedang disantapnya dengan wajah Bunda Sarah yang mulai keriput itu. Senyumnya masih sama, masih sehangat dulu. Bedanya, kerutan di sekitar matanya kini bertambah seiring usia.
Panti Asuhan ini ternyata sudah di renovasi. Sedikit diperluas dan taman yang dulu agak gersang kini ditumbuhi pohon mangga. Ada air mancur di beberapa titik dan area bermain yang dulu luasnya hanya beberapa meter persegi, sekarang lebih lebar dengan perosotan, dua ayunan dan jungkat-jungkit besi yang kelihatan baru saja di cat.
"Kamu harus lebih sering kesini lagi, Rey. Dinda aja masih sering kesini," Penuturan Bunda Sarah membuat gerakan sendok dan garpu yang Rey pegang terhenti. Cowok itu mengangkat wajahnya sejenak untuk menatap wajah Bunda Sarah. "Eh, sekarang hari apa, ya? Biasanya hari Kamis Dinda kesini."
"Sekarang, Bun." Kata Rey, flat.
"Sekarang apanya?"
"Sekarang hari kamis," Tukas Rey.
Bunda Sarah lalu berdiri, entah mengapa berjalan ke arah dapur. Rey tak ingin terlalu memusingkan hal itu dan memilih untuk menyudahi makan siangnya. Cowok berpostur cukup jangkung itu kemudian melangkah ke arah wastafel untuk menyimpan piring kotor sekalian mencucinya.
"Mau bikin apa, Bun?" Rey mengerutkan dahinya. Gestur Bunda Sarah terlalu membuat Rey penasaran, karena wanita setengah baya itu sibuk mengecek bahan-bahan yang ada di kulkas.
"Ah, Bunda sampe lupa. Sekarang jadwalnya Dinda kesini. Dia suka pesen buat dibikinin Sop Buah," Katanya, seraya mengeluarkan beberapa buah-buahan segar dari dalam kulkas. "Piringnya biar Bunda yang cuciin, kamu tiduran, gih. Dari pas dateng belom tidur, kan? Pasti capek."
Mendengar itu, Rey hanya mengangguk. Bunda Sarah benar-benar antusias dengan kedatangan salah satu anak asuh kesayangannya itu. Nggak juga, sih. Semua anak disini adalah anak kesayangan Bunda Sarah.
Rey melangkah keluar dari ruang makan dan justru berjalan ke arah taman. Padahal seharusnya ia naik ke lantai dua untuk sekedar merebahkan tubuh. Meskipun sebenarnya ia sedikit lelah, tapi Rey sedang tidak ingin terlelap sekarang. Jadi, cowok itu memilih untuk duduk di bangku sisi taman.
Disana ada sekitar tiga belas anak berumur sekitar tujuh sampai sepuluh tahunan, sedang asik bermain bola. Mengingatkannya akan kebiasaan dulu, dimana sehabis mandi sore Rey sudah duduk manis di sisi taman untuk melihat anak-anak lain bermain bola—tanpa mengikuti permainan di dalamnya.
Nggak ada yang berubah, kecuali teman-teman sebayanya yang sekarang mungkin sudah menemukan keluarga baru. Dulu, Rey pernah memiliki pikiran untuk lebih memilih diadopsi oleh keluarga lain. Tapi sayangnya, Bunda Sarah selalu bilang; ia adalah anak paling beruntung.
Mungkin karena Rey berbeda. Rey hanya dititipkan. Ia bukanlah anak yatim piatu seperti Dinda atau anak lain yang selalu menunggu keluarga baru yang diidam-idamkan. Rey sudah memiliki keluarga, begitu intinya.
"Curang ah! Tim yang sana tujuh orang! Masa yang sini cuma berenam! Kan nggak imbang!"
"Pantes kalah mulu!"
"Kurang satu, nih!"
"Berarti harus ada yang keluar!"
"Kamu, deh keluar! Kelebihan satu, nih! Jadi pas berenam-berenam!"
"Nggak asik, ah!"
"Bang Rey, tuh ajakin! Jadi imbang tujuh orang!"
"Iya! Bang Rey ajakin tuh! Yang lagi duduk di pojok!"
Merasa terpanggil, Rey menunjuk dirinya sendiri. Ia sedikit bingung untuk beberapa detik ketika anak-anak mungil ini bisa mengetahui namanya. Dan baru menyadari ada Rayhan disana, bocah laki-laki berumur sebelas tahun yang dulu adalah anak tengil itu mengenalinya.
Bahkan Rayhan masih mengingat nama dan bentuk wajahnya—yang agak berubah.
"Aku?" Rey menunjuk dirinya sendiri, sampai seorang bocah laki-laki berkaus biru laut yang sedikit lusuh itu menghampirinya sambil memeluk sebuah bola dipinggang.
"Ayo, Bang! Ikutan!"
"Nggak ah, Nggak bisa main bola." Rey menolak dengan gelengan halus, sambil tersenyum tipis.
Tapi seorang bocah lain, yang Rey cukup kenali tadi menghampirinya. Kali ini bocah bernama Rayhan itu mulai menarik kemeja yang Rey kenakan. "Alah, tinggal tendang-tendang doang apa susahnya, sih, Bang! Masa dari dulu nggak bisa-bisa, sih?!"
Rey meringis, mengingat masa kecilnya yang sama sekali nggak pernah ikut nimbrung kalau soal main bola. Selalu menjadi penonton dengan Dinda yang duduk di sampingnya. Dan rupanya, Rayhan yang dulunya adalah bocah tengil yang kini mulai beranjak remaja itu masih mengingat masa kecil Rey sendiri.
"Ayo! Jangan jadi supporter mulu!"
"Ayo, Bang!"
Sedikit dengan paksaan, pada akhirnya Rey ikut bergabung bersama anak-anak yang tingginya tak lebih dari pinggangnya sendiri. Ikut berlari menggiring bola ke gawang lawan. Ada senyum khusus yang terbit di wajahnya;
Senyum tulus, karena suasana hatinya juga yang mulai membaik.
***
"Papa udah hubungin pihak sekolah, kok. Jadi minggu depan kamu bisa sekolah kaya biasa. Oke?"
Perempuan itu mengangguk ke arah kamera dengan lesu. "Iya, Pa."
"Maafin Papa, ya, sayang?"
Hara menatap layar laptop dan wajah Tara yang duduk disampingnya secara bergantian. Dan tentu saja Tara hanya mengangkat bahu sambil tersenyum tipis seolah berkata; semuanya terserah kamu.
Pada akhirnya Hara mengangguk, dan menatap wajah Papa dari tampilan layar video call. Sebisa mungkin Hara menampilkan senyumnya, meskipun tipis.
"Hara nggak papa, kok Pa," Ia melambaikan tangan dan melebarkan senyumnya dengan tarikan kedua telunjuknya sendiri pada kedua sudut bibirnya. "Aku masih bisa senyum, kan? Papa disana jangan telat makan, ya!"
"Kamu juga, cepet sembuh! Biar bisa ikut ujian. Oke?"
"Disini Hara udah aman sama Tara, kok, Pa," Hara menarik pundak Tara agar bisa terlihat di layar video call. Dengan enerjik Tara melambaikan tangannya ke arah kamera Laptop.
"Hallo, Om!"
"Om titip Hara, ya. Kalau ada apa-apa tinggal telfonin Om, ya?"
"Siaapp! Ntar aku sama Aldo nginep disini, kok. Kan nemenin Hara!"
Lalu, Hara kembali mendorong Tara dengan dengusan usil dan kembali menguasai layar video call. "Papa baik-baik, ya disana. Doain supaya semuanya lancar."
"Pasti, sayang. Papa janji, cuma sampai akhir tahun ajaran doang. Dan kita bakal mulai semuanya dari awal. Oke?"
Hara kembali menatap Tara yang kelihatan menampakkan ekspresi yang sulit dideskripsikan begitu mendengar penuturan Om Prama. Lalu pandangannya kembali teralih ke layar laptop. "Pa, udah dulu, ya. Nanti kita video call lagi,"
"Ya udah, kamu istirahat, ya."
"Bye, Pa!"
Setelah itu Hara langsung memutuskan sambungan dan memilih untuk mematikan Laptopnya karena sudah tak berniat melakukan apapun.
"Kenapa liatinnya gitu, sih Har?" Tara menautkan kedua alisnya, lalu terkekeh geli. Hara tahu, Tara menyimpan rasa kecewa dibalik tawa ringannya.
"Makasih, ya," Tiba-tiba Hara merentangkan tangannya lebar-lebar menarik perempuan itu dalam pelukannya. "Makasih buat semuanya,"
Lalu tiba-tiba pilu itu muncul, membuat Hara menenggelamkan wajahnya di bahu Tara untuk menyembunyikan tangisnya yang mendesak keluar. Dulu, mungkin Hara terlalu buta hingga tak memperdulikan sekitar. Bahwa diluar sana juga ada seseorang yang dapat dijadikan sandaran.
Karena dulu yang Hara lihat hanyalah Rey, Rey dan Rey.
"Anytime, Har. Yang penting lo harus kuat, ya."
Kalau Hara boleh memilih, Ia ingin tetap tinggal disini. Mencoba pengalaman baru untuk berteman dengan Tara dan Aldo—memulai semuanya dari awal. Tapi, keadaan yang memaksanya untuk harus pergi bagaimana pun situasinya. Hara tetap harus meninggalkan lingkungan lamanya untuk mencari lingkungan baru agar semuanya bisa lebih mudah untuk dimulai.
Lingkungan lamanya terpaksa harus ia tinggalkan, bersama dengan memori kelam itu sendiri. Hara juga masih nggak yakin, apa dalam jangka waktu yang katanya sebentar itu ia masih bisa bertahan. Meskipun hanya sampai tahun ajaran selesai, tapi nggak akan ada yang tahu, apa yang akan terjadi besok, lusa, minggu depan, bulan depan dan seterusnya.
Kalau ada pilihan lain lagi, Hara ingin langsung pergi saja. Dan berharap tidak harus memulai lagi, sekalian.
Dua pilihan yang sulit. Antara ingin tetap tinggal dengan kenangan indah yang tersisa, atau pergi untuk melupakan semuanya.
"Loh, kok pada mellow gini?"
Suara derit pintu yang terbuka, sekaligus menampilkan sosok jangkung seorang cowok yang masih mengenakan seragam SMA terpaksa membuat Tara dan Hara merenggangkan pelukannya.
Aldo sedikit mengernyit melihat respon Hara yang delapan puluh persen normal seperti orang biasanya. Jauh dari hari kemarin, dimana perempuan itu merasa tertekan setiap melihat orang lain. Aldo melirik Tara sejenak. "Udah enakan, Har?"
Hara hanya mengangguk, lalu melirik sebuah paper bag yang ada di tangan Aldo. "Lo bawa apa?"
Aldo mengangkat barang bawaannya. Ia teringat sesuatu.
Ini titipan Rey.
"Ini?" Aldo melirik paper bag yang ia angkat di udara. "Ini... tadi... gue beli di depan, sekalian lewat."
Tara mengerutkan dahi, karena yang ia tahu, Aldo sudah membelikan Hara sesuatu untuknya sepulang sekolah tadi. Dan semua titipannya itu sudah Tara bawa sendiri, dan sekarang ada di meja samping tempat tidur. Kenapa Aldo harus repot-repot bawa barang bawaan lagi?
"Bukan dari anak kelas, kan?"
Aldo menggeleng cepat. "Oh, enggaklah. Anak-anak nggak ada yang gue bolehin jenguk. Gue cuma nyuruh mereka nyumbang do'a sampe lo masuk sekolah lagi."
"Emang mereka nggak tau? Kalau gue dirawat?"
Tara menggeleng. Lalu tersenyum dan mengelus bahu Hara. "Lo tenang, deh. Gue udah bilang, nggak ada satu orang pun yang tau soal ini kecuali kita. Lo percaya, kan?"
Pada akhirnya Hara mengangguk lemah. Ia tiba-tiba saja menarik paper bag yang Aldo bawa. "Coba liat,"
Ketika Hara membuka dan melihat isinya. Hanya dua kotak susu strawberry dan sekotak berukuran sedang Banana Cake. Dan entah disengaja atau tidak, Hara mengingat siluet wajah seseorang. Dan hal itu membuat Hara menggeleng cepat dan mendorong paper bag yang Aldo pegang jauh-jauh.
"Rey, kalau gue sakit biasanya gue suka minta yang aneh-aneh,"
"Apaan?"
"Susu strawberry sama banana cake. Aneh, kan?"
"Nggak juga. Biasa aja. Lo kalau sakit pengen gue bawain itu emangnya?"
"Iyalah, harus. Kalau gue sakit, terus lo nggak jenguk. Kita musuh!'
"Kenapa, sih?" Aldo mengerutkan dahinya. Lalu menyimpan paper bag yang ia bawa itu disamping kantung plastik putih berisi camilan yang sebelumnya Tara bawa.
"Gue nggak mau makan itu!"
"Kenapa?" Tanya Tara. Ia mengusap-usap punggung Hara, berharap perempuan itu bisa menenangkan pikirannya. Hara masih sedikit labil, masih belum bisa mengontrol emosinya.
"Lagi nggak mau aja! Gue mau makan yang lain!"
"Ya udah, di deket sini ada kafe. Mau kesana? Lo mau makan apa?" Aldo duduk disamping ranjang dan bertanya dengan intonasi yang lembut.
"Hmm, kita kesana aja. Gue juga bosen lama-lama disini." Hara mengangguk, entah kenapa gerakannya seperti anak kecil.
Tara dan Hara saling melempar tatapan satu sama lain, sebelum akhirnya sama-sama mengangguk untuk mengikuti kemauan Hara. Pelan-pelan, keduanya membantu Hara menuruni ranjang dan keluar dari kamar, kemudian menyusuri tiap-tiap koridor rumah sakit.
Sepanjang jalan, Aldo memikirkan respon Hara yerhadap paper bag titipan Rey tadi. Sempat terbesit pikiran, bahwa Hara sekarang benar-benar membenci segala sesuatu yang mengingatkannya akan sosok Rey.
Aldo yakin, tujuh puluh lima persen.
Dan dua puluh lima persennya, Aldo merasa tidak setuju; kalau Hara harus membenci Rey karena kejadian kemarin.
Nggak, bukan tidak setuju. Hanya saja, akhir-akhir ini Aldo merasa segala sesuatunya selalu tidak pada tempatnya.