webnovel

Fool

Ia masih mengapit satu batang rokok diantara kedua jari telunjuk dan jari tengahnya. Menimbang-nimbang, apakah akan menyulut api dibagian ujungnya, atau justru memilih menghilangkan minat untuk menyesap sensasi tembakau yang ada pada rokok tersebut.

Pada akhirnya, Aldo memilih opsi yang kedua. Cowok itu melemparkan puntung rokok yang baru di keluarkan dari bungkusnya ke sembarang arah. Selanjutnya, ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan bungkus rokok yang berisi beberapa puntung lagi.

Aldo menjatuhkannya ke tanah, menggilasnya hingga hancur sedemikian rupa. Seolah bungkus rokok adalah salah satu objek pelampiasan emosinya. "ARGH! BRENGSEEKK!!"

Suaranya menggema di udara. Seolah Aldo sengaja membiarkan orang-orang mendengar teriakannya di atas rooftop Rumah Sakit tempatnya berpijak. Ia kemudian mendudukan diri di tanah, dan bersandar pada salah satu tembok semen yang berlumut.

Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi, Aldo memilih untuk membolos. Kaus putih polos sisa kemarin malam masih melekat di tubuhnya, ia bahkan belum pulang ke rumah untuk sekedar sarapan dan berganti pakaian. Sama sekali tidak, barang lima menit pun.

Aldo ingin disini.

Untuk memastikan seseorang tetap baik-baik saja. Meskipun ia tahu, kenyataan berkata sebaliknya.

Delapan jam setelah ia menemukan Hara, laporan dari pihak kepolisian dan juga beberapa pihak rumah sakit mengenai kejadian yang Hara alami dan keadaan psikologis perempuan itu langsung menghujam bagian terdalam dirinya.

"Pasien mengalami tindak kekerasan dan pemerkosaan. Kami masih harus menunggu hasil test untuk memastikan keadaan pasien."

"Empat orang tersangka sudah kami bawa ke kantor Polisi dan korban berhasil kabur terlebih dahulu sebelum kami menggrebek gudang penyimpanan minuman keras. Barang bukti dan saksi sudah kami kumpulkan untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut."

"Keadaan psikologis pasien semakin memburuk. Kami bahkan harus menyuntikkan beberapa kali obat penenang setiap kali pasien merasa depresi. Untuk itu, kami sebagai pihak rumah sakit menyarankan dukungan mental dari keluarga pasien."

Percakapan itu bahkan masih terngiang-ngiang di benaknya. Rentetan kalimat yang secara tidak sengaja Aldo dengar dari percakapan antara Ayah Hara dengan Pihak Kepolisian dan Rumah Sakit. Sampai detik ini, Aldo menutup mulutnya rapat-rapat, berharap tidak ada siapapun yang tahu kronologis kejadian yang Hara alami.

Iya, Aldo berjanji.

***

Matanya menatap keluar jendela yang ditutupi tirai putih tipis, sehingga sedikit menerawang. Seragamnya yang sudah lusuh dan robek-robek kini terganti dengan pakaian khas pasien rumah sakit. Rambutnya terurai sampai bahu, wajahnya pucat dan tatapan matanya kosong. Berbaring di ranjang yang ada dalam ruangan dengan bau antiseptik mungkin sedikit membuatnya tenang.

Meskipun suara-suara itu masih tetap menelusup ke telingannya. Suara mengerikan dari alam bawah sadarnya, yang masih terasa.

Kesunyian itu langsung pecah begitu terdengar suara pintu terbuka. Menampilkan sosok Aldo yang kini sudah berganti pakaian dengan rambut yang agak basah. Cowok itu terpaksa harus pulang ke rumah karena paksaan dari Om Prama—Ayah Hara, yang memaksanya untuk pulang sebentar.

Hara menoleh sekilas, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke arah lain. Bibirnya yang pucat dan kering bahkan tidak menarik garis senyuman seperti biasanya. Dan ketika Hara melihat seorang gadis dengan seragam SMA, lengkap dengan ransel yang melekat di punggungnya, Hara menjerit.

"PERGI!!!"

Tara mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Aldo, memejamkan matanya karena tak sanggup melihat respon Hara yang sebelumnya sudah ia duga. Perempuan itu bersembunyi di belakang punggung Aldo ketika Hara mulai melemparkan segala barang yang ada di hadapannya.

"PERGI! GUE BILANG PERGI!!"

"GUE NGGAK MAU KETEMU SIAPA-SIAPA!! PERGI LO SEMUA!"

"Har, Ini gue, Tara!" Tara maju selangkah, meskipun tubuhnya di tahan oleh Aldo agar tidak mendekati Hara.

"GUE NGGAK MAU KETEMU SIAPA-SIAPA! PERGI! GUE BILANG!"

Beberapa detik berlalu, seorang Pria paruh baya dan beberapa suster masuk dengan ekspresi panik. Om Prama segera memeluk anak gadisnya yang mengamuk, sedangkan Aldo merangkul Tara untuk keluar bersamaan.

"Maafin sikap Hara, Please. Situasinya lagi nggak tepat," Aldo menepuk punggung Tara pelan. "Gue udah bilang, Hara masih belum bisa ngontrol emosinya. Dia masih trauma buat ketemu orang,"

Tara mengangguk lemah, berusaha menyembunyikan wajahnya dan sesekali menghapus buliran air mata yang keluar dari sudut matanya dengan punggung tangan. "Iya, gue ngerti,"

Aldo menarik tangan Tara sedikit menajauh dari pintu kamar pasien. "Lo bisa gue percaya, kan? Lo harus janji buat tutup mulut soal ini."

Tara menghempaskan tangan Aldo kasar. "Gue ngerti! Lo bahkan nggak perlu ngasih tau, gue pun udah ngerti. Gue lebih ngerti perasaan Hara ketimbang lo sendiri, Do. Karena kita sama-sama perempuan."

Itu yang Tara ikut rasakan. Rasa sedih itu muncul ketika mendengar pernyataan Aldo soal kejadian kemarin malam. Naluri perempuan yang ada dalam dirinya menyeruak ketika melihat keadaan Hara sekarang. Tara bahkan bisa merasakan penyesalan jika mahkota yang selama ini ia jaga dirampas oleh orang yang tidak bertanggung jawab.

Trauma, Kehilangan kepercayaan diri dan penyesalan itu yang pasti Hara rasakan. Hingga membuatnya depresi sampai-sampai ingin bunuh diri.

Tara perlahan memeluk Aldo dan menangis di dadanya hingga membuat kemeja yang Aldo kenakan sedikit basah. Tara tahu betul bagaimana sikap Hara yang selalu menebar senyum untuk setiap orang dengan wajah yang secerah matahari pagi. Walaupun mereka tidak sedekat yang orang-orang bayangkan, yang pasti Tara sangat mengenal sisi luar Hara yang ceria dan enerjik.

Dan ketika melihat keadaan Hara yang berantakan, entah mengapa Tara menaruh rasa simpati. Seolah ingin segera memberikan bahunya untuk Hara.

"Nanti malem, kita kesini lagi. Kalau Hara udah sedikit tenang, lo bisa ngobrol sama dia." Aldo menepuk punggung Tara lembut.

Bersamaan dengan itu pintu kamar pasien terbuka, menampilkan sosok Om Prama yang keluar dengan mata berkaca-kaca sambil menempelkan telfonnya di telinga. Tara segera melonggarkan pelukannya dan menatap Om Prama dari jauh. Matanya sedikit asing dengan sosok pria tersebut.

"Itu bokapnya Hara?"

Aldo hanya mengangguk sebagai jawaban. Mereka masih mematung ditempat untuk detik selanjutnya, secara tidak sengaja dan tanpa mereka sadari telinga masing-masing mendengar percakapan Om Prama via telefon.

Gesturenya menunjukkan kalau Pria itu sedang kebingungan dan frustasi.

"Iya, saya tau, Pak. Tapi ini diluar dugaan, hari ini saya nggak bisa pergi. Anak saya lagi ada musibah, Tolong Bapak mengerti,"

"Tolong Pak, di undur minggu depan emangnya nggak bisa? Masalahnya ini saya lagi di Jakarta. Saya nggak bisa langsung gitu aja ke Bangkok, sedangkan anak saya lagi dirumah sakit!" Kali ini Om Prama mulai meninggikan suaranya, membuat Tara dan Aldo semakin bisa mendengar jelas.

Rupanya, Om Prama bukanlah sembarang orang yang biasa Aldo bayangkan. Ia kira, beliau hanyalah pengusaha yang kerjaannya mondar-mandir antar kota. Dan diluar ekspetasi, Om Prama ternyata kerap kali keluar masuk tanah air seakan menganggap perjalannya hanya sebatas dari Jakarta ke Bandung.

"Pak! Pak! Dengerin saya dulu, Pak! Hallo—"  Kalimat itu disusul oleh decakan kesal dari Pria yang mulai memaki layar ponselnya sendiri.

Aldo dan Tara pura-pura mengalihkan perhatiannya ke arah lain saat mata Om Prama tak sengaja menatap ke arah mereka yang mematung di tempat. Pria itu sama sekali tidak mempermasalahkan soal percakapan telefon yang tak sengaja mereka dengar,  ia justru menghampiri Aldo dan menepuk bahunya ringan.

"Saya nggak tau harus bilang ini gimana," Om Prama menarik nafas panjang, sebelum menatap tepat pada kedua bola mata Aldo lamat-lamat. "Bahkan kayaknya saya nggak pantes untuk disebut Ayah, karena disaat emergency gini, saya harus pergi lagi ninggalin Hara."

Om Prama juga sama-sama menatap Tara yang berdiri di samping Aldo. "Saya minta maaf kalau selama ini masalah Hara ngerepotin kalian, tapi yang pasti saya benar-benar berterimakasih buat kalian—temen-temen Hara—yang masih support anak saya meskipun situasinya nggak pas. Terima kasih karena udah mau jaga putri kecil saya,"

Om Prama melepaskan tangannya dari bahu Aldo dan tersenyum sendu ke arahnya. "Sekali lagi, dan saya usahakan ini adalah kali terakhir; Saya percayakan Hara sama kamu. Dan bilang sama dia; Kalau Ayah selalu sayang Hara. Selalu."

"Om Prama... mau pergi lagi?" Tara bertanya dengan hati-hati.

"Sepertinya Iya," Om Prama mengangguk. "Sekali lagi, maaf."

Beberapa menit kemudian, Om Prama masuk ke dalam kamar dimana Hara dirawat. Gadis kecilnya berbaring di ranjang Rumah Sakit tanpa daya. Obat penenang mulai berkerja pada tubuhnya, membuat Hara sedikit tenang dan lemas dalam waktu yang bersamaan.

Pria itu mengelus pucuk kepala Hara dan mengecupnya lembut. Ia baru sampai di Jakarta tadi pagi, dan sore harinya harus kembali ke Thailand. Waktunya terkuras habis untuk mencari rupiah yang selalu di cita-citakan.

Tapi, jauh di dalam lubuk hati yang paling dalam; Dulu, Hara selalu menghayal ingin menjadi seorang Putri dari seorang Penjual Kayu Bakar dibandingkan menjadi seorang Putri Raja yang selalu dimanjakan dengan harta. Bukan dengan waktu.

Disaat seperti ini, satu-satunya support yang paling ia inginkan adalah dari Papa.

Yang juga satu-satunya orang yang tersisa dihidupnya.

a/n: {sumpah ya seriusan. Tadinya ga bakal ngepost part ini. Soalnya ngga terlalu seru;( rencananya mau di gabung sama next part. Tapi belum selesai, dan daripada ngaret lagi yaudah post aja gt..

Maaf. Maaaff bangettt.. kalau mengecewakan:(

destia_creators' thoughts