Pagi menyingsing. Hal pertama yang membangunkanku adalah kilauan terang menerpa sebagian wajah. Termasuk kelopak mata yang masih tertutup. Rasa panas akibat disirami cahaya rupanya cukup berhasil membuatku terjaga. Setelah menggeser posisi kepala, aku perlahan mendudukan diri, mengumpulkan nyawaku yang barangkali masih berkeliling di dunia lain. Hal ini membutuhkan waktu sekitaran lima menit sampai aku menyadari kamar Lucas telah rapi. Sisa permainan semalam telah dibereskan, disimpan ditempat yang aman, begitu pula dengan keberadaan temanku. Sofa tempat Lucas tidur semalam sudah rapi, bantal serta selimut telah dilipat dan di tumpuk menjadi satu. Setelah cukup lama menyisir seluruh bagian kamar dengan mata setengah mengantuk, baru lah ku sadari bahwa satu-satunya hal berantakan di tempat ini adalah diriku sendiri.
Tubuhku terasa sangat berat begitu hendak mengubah posisi menjadi duduk. Seperti gravitasi meningkat dua kali lipat sehingga mampu menarik tubuh orang dewasa untuk tetap berbaring di tempat semula. Kalau saja ini ranjangku sendiri, aku pasti sudah menggulung diri sendiri lalu menghidupkan AC. Kenikmatan surgawi yang bisa kau dapatkan di dalam kamar.
Namun sopan santunku masih berada di batas nalar. Aku tak ingin terlihat seperti orang malas yang tak tahu tata krama jika masih berani tidur saat matahari telah merangkak naik menuju puncak. Maka ku putuskan untuk memijaki lantai kamar. Beberapa kali tubuhku goyah ke samping dan hampir saja menubruk, apa itu, lemari pakaian. Untung saja hanya ada aku sendiri di sini, kalau saja Lucas melihatnya sudah pasti pria itu akan mengejekku seumur hidup.
Derit pintu menyela keheningan semenjak bangun tidur, memberiku sedikit suntikan kesadaran yang lantas membuka mataku dua kali lebih lebar. Aku menutup pintu di belakang sepelan mungkin sambil menolehkan pandangan ke sekitaran. Sepi. Seketika aku merasa seperti berada dalam kondisi sama dengan adegan paling ikonik film favoritku (dan ku yakin film favorit kalian semua) Home Alone, dimana sang karakter utama mendapati seluruh keluarganya menghilang (yang mana ternyata meninggalkan dia sendirian).
Kaki telanjangku menyusuri selasar depan kamar, tentu saja aku masih membutuhkan bantuan bertopan pada dinding-dinding di sisi kiri untuk berjalan. Selain karena nyawa ku belum terkumpul, kebiasaanku setelah bangun tidur adalah segera mandi atau paling tidak cuci muka. Berkeliaran dengan penglihatan setengah tertutup akibat penyesuaian retina cukup menyusahkan.
"Oh, kau sudah bangun?"
Aku mendengar suara lain dari arah depan, secara otomatis menunjukkan bahwa aku berada di jalan yang tepat. Tetapi aku tak mampu meyakini kalimat tadi berupa pertanyaan atau pernyataan. "Baru saja bangun, kemana yang lain?"
"Sudah pergi."
Lucas berjalan mendekat. Sosoknya telah terbalut pakaian rapi, serta beraroma apel segar. Ku tebak dia baru saja mencuri koleksi parfum milik Anna. Pantas saja gadis itu selalu menganggap Lucas sebagai musuh alih-alih sebagai kakak.
"Lalu kau? Tak ikut pergi? Wah, sudah ku bilang bahwa kau anak pungut— Ouch!" Bayangkan saat kau tak sengaja terlindas sebuah mobil, rasanya persis seperti itu, hanya saja ini dilakukan secara sengaja. "Keparat kau." Aku bersumpah melihat kakiku memerah padam dengan jejak kaki Lucas tercetak jelas pada punggung kaki ku. Tetapi hal paling menyebalkan adalah saat melihat punggung nya membelakangiku dan semakin menjauh.
"Makanan sudah siap, lekas ke dapur kalau kau lapar, kalau tidak yah baguslah karena persediaan makananku tak jadi berkurang."
Mulutku mengumpat tetapi kaki ku bergerak sendiri mengekori Lucas hingga ke lantai bawah. Terkutuklah wahai insting manusia yang tak bisa tahan ketika lapar. Aku merasa sangat berdosa, terlebih lagi karena begitu mudah memaafkan Lucas walau bagaimanapun dia bersikap menyebalkan. Aku benci fakta bahwa tidak bisa terlalu jauh darinya. Maka ku putuskan untuk segera membersihkan diri saat melewati kamar mandi, lalu menyusul Lucas yang kini sedang berada di dapur.
Ku lihat pria itu sedang sibuk mengumpulkan sampah untuk dimasukkan ke kantong plastik hitam berukuran agak besar.
"Ibuku pergi sebelum memasak, jadi makanlah seadanya."
Aku seratus persen yakin jika Lucas adalah anak pungut. Mengapa? Karena dia benar-benar tak pandai memasak, meski itu hanya roti sandwich dengan isian ala kadaranya. Yang dimaksud Lucas dengan 'seadanya' yaitu benar-benar seadanya.
"Apa ini?"
"Kau buta? Tentu saja itu sandwich," jawab Lucas tanpa minat menatapku saat berbicara. Malahan perhatiannya tercurahkan sepenuhnya pada kantong sampah itu.
"Kau sebut ini makanan?" Aku nyaris berteriak jika saja tak memedulikan sopan santun saat berada di kediaman orang lain. "Ini hanya roti dengan sayur saja."
"Ya, itu kau tahu."
"Ini tidak bisa disebut sandwich!"
Pernahkan terpikir olehmu dua lapis roti tawar tanpa mentega diselipkan dengan dua helai sawi putih tanpa daging, mentega, saus tomat maupun mustard. Bagaimana benda itu bisa disandingkan dengan sebuab sandwich? Itu sebuah penghinaan. Dan ku rasa Lucas sepatutnya perlu dihukum karena telah menghina suatu makanan, barangkali terlahir kembali menjadi roti lapis tanpa rasa adalah pembalasan paling mutakhir.
"Kau bisa menambahkan sendiri, bahan-bahannya ada di kulkas."
Begitulah pesan terakhir dari pria itu sebelum menghilang dibalik pintu belakang. Sangat tidak bertanggung jawab. Tidak memberikan pilihan apapun padaku selain mencari bahan pelengkap agar setidaknya benda ini bisa dimakan. Terkadang aku sempat berpikir, bagaimana bisa aku tahan berteman dengan orang aneh seperti Lucas. Ada masa-masa dimana pria itu menjadi begitu bijaksana dalam setiap perkataannya, tetapi lebih banyak sisi kekanakan yang muncul setiap saat.
Angin dingin menerpa wajahku seketika tepat setelah aku menarik gagang lemari pendingin. Aku mengerjap-kerjapkan mata untuk beberapa saat, udara dingin sukses mengisi kesadaran ku, tetapi juga membuat mataku menjadi kering.
Sayur mayur segar, buah-buahan melimpah, serta daging yang masih terbungkus rapih di dalam kotak styrofoam, pemandangan paling indah di pagi hari saat perutmu berguncang meminta diisi.
"Kau punya banyak bahan makanan tetapi hanya membuat benda ini?" Jujur, aku tak sanggup mengatakan maha karya buatan Lucas adalah makanan. Itu menyakiti hati para pencipta makanan ku rasa.
"Makan saja yang ada, jangan cerewet."
"Bagaimana aku bisa memakan ini?! Kau pikir aku tempat sampah?" Aku sengaja melebarkan bola mata, berharap dengan begitu Lucas akan takut dan menuruti permintaanku.
Tetapi dia hanya memandangku dengan tatapan menyebalkan. Pasang matanya seakan menantangku. "Maka buatlah makananmu sendiri sana."
Itu perintah paling konyol ku rasa. Siapa saja berhak melakukan apa yang mereka mau tanpa harus disuruh bukan? Aku tak ingin menyombong kalau memasak bisa dibilang menjadi salah satu dari kegemaranku. Bakat yang ku asah akibat kerap kali tinggal sendirian.
"Tak usah, aku makan yang ini saja."
Namun aku juga tipikal orang yang anti mengabaikan makanan di sekitar. Tak peduli seberapa anehnya itu, kalau bisa mengganjal lapar tanpa perlu kerepotan, mengapa tidak?