Anna memiringkan kepala, tengah berpikir, tetapi itu tak membuatnya berhenti memotong kentang. "Kau pria baik, dan juga lebih tampan ketimbang dia." Dagunya menunjuk ke arah Lucas, dan aku bisa merasakan aura kuat terpancar dari pemuda di sebelahku.
"Kau pikir Bryan akan menyukaimu huh?"
"Kenapa tidak? Aku kan cantik~"
Perdebatan kembali terjadi. Aku sudah terbiasa akan hal ini. Karena sekalipun mereka berhenti, itu hanya berlangsung beberapa saat sebelum salah satu diantaranya menyulut sumbu api lagi. Aku menjauh dari Lucas, jika aku berada terlalu lama di sana bisa saja telingaku akan berdarah karena mendengar seruan kedua bersaudara Templeton dalam jarak sangat dekat.
"Apa yang bisa ku bantu lagi Mrs. Sarah?"
Ku lihat wanita itu mulai terusik dengan pertengkaran kedua anaknya, namun mencoba untuk tetap tenang. "Tidak masalah nak, sebentar lagi makanannya akan selesai. Tapi.." Aku menoleh ke arahnya, dan ku rasa sumbu kesabaran Mrs. Sarah sebentar lagi akan habis. "Tolong bawa Lucas keluar, sepertinya dia butuh udara segar."
"Tentu saja.."
Aku sudah berlalu dari sisi Mrs. Sarah tepat saat dia menggumamkan kata 'terimakasih'. Hal berikutnya yang ku lakukan adalah meraih satu buah pisang berwarna kuning, membuka kulitnya dan tanpa berkata apapun segera menjejalkan buah lonjong itu ke dalam mulut Lucas. Membungkamnya seperti seorang pawang menjinakan seekor gorila liar.
"Yeah! Makan itu Gorilla!"
Anna terdengar paling bersemangat. Dan sebelum Lucas semakin berapi-api, aku menarik lengannya, menggeret sampai ke pintu utama.
"Lepaskan! Aku harus memberi pelajaran pada bocah gila itu!" Lucas berseru, tak terdengar jelas karena mulutnya telah penuh oleh pisang, dia berusaha melepaskan tanganku dari lengannya. Cengkraman tanganku juga tak kalah lebih kencang.
"Easy boy.." Kini aku sukses menariknya ke luar rumah. Langit telah sepenuhnya menggelap, tetapi udara hangat sisa sore masih terasa. Musim panas tak pernah menghilang meskipun matahari telah berdiam diri dalam singgahsana. Tertutup di balik perbukitan, atau laut, terserah pada kepercayaan masing-masing saja. "Kau sungguh terlihat seperti gorila." Aku bermaksud menggodanya, penasaran dengan reaksinya jika aku ikut-ikutan meledek soal gorila.
Namun tak ada jawaban penuh penekanan darinya. Rasa penasaran menuntunku untuk menoleh, lalu ku dapati wajahnya tengah memandangku dalam diam.
'Ada apa?'
Sebelum pertanyaan itu keluar, Lucas lebih dulu membuka mulut. "Apa aku terlihat buruk?"
"Hah?"
"Wajahku, maksudku, apa aku terlihat jelek?"
Pada saat ini aku ingin sekali tertawa keras, sorot mata Lucas membuatku terdiam. Aku batal menertawakannya dan memilih untuk diam, menunggunya kembali melanjutkan ucapan. Bangku kayu di teras menopang bobot kami berdua saat mendudukinya, secara bergantian. Aku dulu lalu selanjutnya Lucas.
"Aku tahu jika kulitku memang segelap ini, tapi, apa itu juga memengaruhi pandangan seseorang padaku? Kalau menurutmu, apa aku jelek?"
Ini pertanyaan konyol, aku ingin bilang begitu, tetapi kedua bibirku masih terkatup rapat. "Tidak, sama sekali tidak."
"Lalu kenapa kau juga setuju dengan Anna? Menyebutku gorila?"
Tidak ada amarah dalam ucapan Lucas, malahan lebih terdengar seperti sebuah rasa kecewa. Pria itu tengah kecewa karena aku ikut mengatainya gorila.
"Hey, aku hanya bercanda.." Aku memukul bahunya pelan, menegaskan bahwa ucapanku sama sekali tidak berarti apapun. "Kenapa kau serius sekali sih?"
"Aku hanya.." Lucas menggaruk pipi kanan, membiarkan kekosongan mengisi ucapannya. Entah sengaja atau tidak membiarkanku menunggu kelanjutan ucapannya. "...Tidak jadi."
Aku kembali memutar kepala, menghadap kedepan, ke langit, atau apapun yang bisa ku pandangi. Kami terjebak dalam suasana canggung yang muncul tanpa alasan sesungguhnya. Kami sibuk dalam pikiran masing-masing, menikmati suasana malam dalam diam, merasakan semilir angin beraroma musim panas. Manis dan panas tentu saja.
Diam-diam aku melirik ke arah samping, dimana ku dapati Lucas tengah menundukkan wajahnya. Aku mulai merasa tidak enak, apakah harusnya sedari awal aku tak meledek Lucas juga?
"... Maaf," kataku kemudian.
Lucas mengangkat wajah, menoleh ke arahku. Dan aku bisa melihat alis tebalnya mengerut lucu. "Untuk?" tanyanya.
"Tadi aku sempat meledekmu."
"Lupakan saja.." Dia menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi kayu, memelorotkan tubuhnya, duduk setengah berbaring. "Langit cerah yah~"
"Ku rasa begitu." Aku ikut bersandar dengan posisi sama seperti Lucas. Perasaan bersalah masih menyelimutiku sebenarnya, tetapi melihat dia malah mengalihkan pembicaraan membuatku yakin jika Lucas tak ingin melanjutkan pembahasan ini.
"Dia semakin menyebalkan saat memasuki masa pubertas," kata Lucas tanpa menatap ke arahku. Yang dia maksud sudah pasti adiknya, Anna.
"Kau juga melakukan hal yang sama ketika dulu."
"Tapi tidak separah dia!"
"Kau kan hanya tidak tahu saja~"
Lucas mengerutkan wajah lagi, menunjukkan ekspresi kesal andalannya. Dia mudah sekali di tebak. "Memangnya aku terlihat begitu yah?"
"Kau super-super menyebalkan malah." Aku terkikik geli saat melihat Lucas memasang tampang menyedihkan. Lengkungan bibirnya telah turun beberapa senti, tatapannya mengiba, persis seperti anak anjing yang ditelantarkan oleh pemiliknya. "Hahaha.. Lihat wajahmu itu~"
"Kau sangat menyebalkan Bryan!"
"Aku tahu~"
Dengusan kesal, suara erangan, aku mengabaikan reaksi Lucas disebelahku. Membuat kesal pria itu adalah salah satu kesenanganku, dan Lucas tak pernah benar-benar mendiamkanku meskipun aku mengatakan hal-hal yang lumayan kasar. Dia seperti parasit yang menempel pada inangnya.
"Kau sama menyebalkannya seperti Anna."
"Bisa jadi kami memang berjodoh~"
"Jangan!"
Aku terlonjak di tempat duduk, nyaris melompat saat mendengar Lucas berteriak dengan suara berat dan seraknya. "Astaga! Kau mengaggetkanku saja—"
"Jangan.." Kini suara Lucas terdengar lebih pelan, nyaris tak terdengar saking lirihnya. Ini semakin membuatku bertanya-tanya, apakah aku salah berbicara lagi?
"Kenap—"
"Pokoknya jangan!"
"Oho~ Santai bung~ Aku tak akan mendekati adikmu." Tentu saja karena aku sudah menyukai orang lain. "Tenang saja, kau tak perlu menjadi Kakak yang posesif seperti ini."
"Bukan begitu.."
Lalu aku dapat merasakan sesuatu yang hangat menyentuh punggung tanganku. Telapak tangan Lucas berada di sana, tidak menggenggam namun hanya meletakan tepat di atas tanganku. Aku menatap wajahnya yang seakan menghindari tatapan mataku. Bibirnya tampak bergerak, hendak membuka, tetapi aku tak pernah mendengar satu kata pun keluar.
"Makanan siap~"
Anna memanggil kami. Ku lihat dia berdiri di ambang pintu. Tepat saat itu juga, Lucas menarik kembali tangannya dan berjalan mendahuluiku masuk ke rumah. Melangkah cepat dan panjang, terkesan berlari kecil. Anna juga merasa terkejut dan buru-buru menyingkir dari pintu, tak ingin bertabrakan dengan tubuh Lucas yang bisa dibilang jauh lebih besar darinya.
"Dia kenapa sih?" tanya Anna dengan dagu terangkat, mengarah pada pemuda yang baru saja melewatinya.
Aku sekedar mengangkat bahu, 'tidak tahu'. Karena aku memang tak mengerti apa yang menyebabkan perubahan suasana hati Lucas. Dia seperti tengah merahasiakan sesuatu, atau berusaha mengatakannya tetapi tidak berada dalam waktu yang pas. Yang mana pun sama sekali tidak membantu.
"Masuklah, makanan sudah siap."
"Okay."
Aku berjalan mengekor di belakang Anna.