webnovel

Telah Memiliki Suami

Wanita dengan sedikit sentuhan make up di area wajahnya itu menyimpan benda berbentuk persegi panjang di hadapannya. Ia kembali mengeluarkan alat tempur skripsinya, yaitu laptop. Kali ini ia fokus pada lembar pertanggung jawaban organisasinya.

"Halo, Assalamualaikum.. Mel.." Ucapnya setelah sambungan telpon itu diterima oleh lawan bicara.

"Waalaikumussalam, iya Ra?" Tanya seseorang.

"Maaf nih aku mengganggu kamu pagi-pagi begini. Sibuk gak?" Tanyanya lagi.

"Ah enggak.." Balasnya lagi.

"Mel, ngisi form penilaiannya ini gimana? Soalnya gak ada rubriknya sama sekali. Waktu itu kan aku bilang ketika kita udah dilantik, kita harus bikin form penilian yang baru sama rubriknya atau enggak evaluasi aja minimal. Tapi yaa.. gitu deh." Jelas Zara dengan menekan rasa kesalnya.

"Ah iya iya.. Begini saja lah, menurut kamu berdasarkan pengamatan pengawasan waktu itu apa saja yang kurang dan hal apa saja yang perlu diperbaiki. Ini aku juga lagi ngisi, yang jelas ketika kamu punya alasan yang kuat its okay menilai sesuai dengan yang kamu inginkan. Tapi jangan pernah bawa penilaian pribadi pada masalah ini, keprofessionalan kamu sebagai pengawas akan di pertanyakan." Jelasnya.

Zara mengangguk-anggukan kepalanya tampak paham. "Oh iya Ra, selamat yaa atas pernikahannya. Barakallahulaka.. Manten baru seneng-seneng aja dulu, Ra." Tambahnya.

"Jazakillah khairan katsiran (Terima kasih banyak, semoga Allah membalas kebaikanmu), Mel.." Jawabnya. "Yasudah aku tutup ya.. Assalamualaikum." Salamnya.

"Dar.."

"Allahu Akbar.." Jerit Zara ketika seseorang menepuk bahunya dengan cukup keras. Wanita yang detak jantungnya itu berpacu sangat cepat menolehkan kepala ke arah belakang. Ia mencoba mengintip seseorang yang menghentikan kegiatannya. Namun, hasilnya nihil. Tak ada siapapun di sana.

"Vara... Show your body, or.." Ucapnya yang tiba-tiba disela oleh seseorang dari arah belakang.

"Okay, okay.. Manten baru serius amat si.." Candanya, yang hanya ditanggapi dengan kibasan tangan dari Zara. "Eh kamu kenapa udah masuk aja? Bukannya cuti?"

Zara yang kembali sibuk dengan tugasnya menjawab, "Emang cutinya harus berapa lama? Orang doi udah masuk kerja."

"Jadi kesepian ni yee ditinggal doi kerja?" Goda gadis yang memiliki nama lengkap Meivara Adellia.

"Tentu, beda lah sama jomblo tuh." Balasnya sambil terkikik.

"Dasar, sombong amat.. Beda yaa yang udah ada jodohnya, bebas mau ngapain aja." Ucapnya lalu memonyongkan bibirnya tampak cemberut. Sedangkan Zara, ia hanya terkikik geli.

Zara kembali mengatur pikirannya untuk lembali fokus pada tugas-tugas yang sedang ia coba selesaikan hari ini. Lalu, ia teringat sesuatu.. "Va.. Dia udah balik kan?" Tanyanya dengan tatapan mata tertuju pada layar laptop, namun sorot matanya berbeda.

"Dia siapa nih? Doi mu?" Gadis yang dipanggil Vara itu membenarkan letak duduknya. Ia menyandarkan tubuhnya pada tembok yang berada tepat di belakangnya.

Zara hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban, "Ahh.." Responnya tampak paham terhadap apa yang wanita di sampingnya itu mencoba menjelaskan. "Apa dia mendatangimu lagi?" Telisiknya.

Zara lagi dan lagi hanya menganggukan kepalanya, "Sepertinya ia belum tahu jika kau sudah menikah, Ra. Sebaiknya kau segera beritahu dia, siapa tahu dia akan menjaga jaraknya. Secara kau sudah menjadi kekasih halal orang lain." Jelasnya.

Zara menghentikan aktivitasnya, ia menatap tepat pada manik mata gadis yang mengenakan kerudung navy itu. "Apakah itu mungkin? Sudah seharusnya kabar pernikahanku tersebar di jurusan. Toh aku pun tidak menutupinya, dan diantara kalian pun hadir waktu itu. Seharusnya aku tak perlu lagi memberikan penjelasan yang segamblang-gamblangnya." Belanya.

"Entahlah aku tidak bisa memprediksi apa masalahnya hingga ia masih bersikeraa untuk mendapatkanmu.. Apa mungkin karena dia mengikuti kuliah kerja nyata di luar negeri beberapa waktu yang lalu hingga ia tak ada kesempatan untuk melihat berita itu?" Praduga Vara yang mencoba untuk memecahkan masalah ini.

"Tapi kau tidak menyambutnyakan, Ra?" Telisik Vara yang melihat Zara tengah menatapnya dengan kosong.

Zara tentu saja menggelengkan kepala, dari dulu pun ia tak mau memberikan sedikit celah untuknya. Bukannya ia so jual mahal, atau ia yang tak butuh laki-laki. Buktinya Zara masih menerima permintaan orang tuanya untuk menikah dengan Zia yang notabenenya adalah laki-laki. Hal tersebut sudah jelas bahwa ia merupakan wanita normal.

Sudah sedari dulu, ketika pertama kali ia memutuskan untuk hijrah. Berpindah dari apa yang dia sukai menuju apa yang di Ridhai Allah meskipun ia tidak menyukainya. Berpindah dari setiap centi pada lekuk tubuhnya yang terbungkus rapi seketat nasi lemper, hingga menjulurkan kain yang biasa ia sebut jilbab untuk menutupi lekuk tubuhnya.

Bukan apa, untuk mencari RidhaNya bukankah perlu perjuangan? Untuk apa berkelit lagi setelah hidayah itu muncul. Beberapa ulama bilang tak tau malu, sungguh tak tau malu kita sebagai manusia yang hanya menumpang tenar berlaku semena-mena tanpa taat padaNya. Sedangkan kita oksigen saja Allah yang memberikan pasokannya, harta saja Allah yang membagikan rezekiNya secara adil.

Setiap manusia memiliki masa lalu, namun tidak ada kesetiaan untuk terus bercermin pada masa lalu itu. Sudah saatnya merancang masa depan, tinggal pilih antara Neraka atau JannahNya yang kita harapkan?

"Tentu saja tidak, aku tau diri bahwa aku telah memiliki suami." Balasnya.