webnovel

Sembuhkan Lukaku, Rawatlah Lukaku

Jam menunjukan pukul 2 malam, Zia bergerak sedikit demi sedikit. Ia memerhatikan ruangan sekitar, tak ada siapa-siapa. Ia memutuskan untuk terduduk, ada selimut hangat yang menutupi seluruh tubuhnya. Ia pikir, tadi malam ada seseorang di ruangan ini. Mungkin itu hanya mimpi. Dan suara-suara itu layaknya imajinasi yang berkeliaran dalam ruang mimpi yang semalam tercipta.

Zia berdiri, melipat selimut itu dan membiarkannya di atas sofa perpustakaan. Setelah menatap jam yang melekat pada dinding, ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Mungkin gadis itu sudah terlelap, bersama mimpi yang ia ciptakan sendiri.

Sebenarnya, ia merasa bersalah atas perlakuannya kemarin. Zara tidak salah sama sekali, yang salah di pihak ini adalah Zia sendiri. Ia yang tidak yakin akan perasaannya, setelah hadirnya Raya dalam waktu yang cukup singkat itu.

Ia sudah menikah. Sudah memutuskan menjadi seorang pemimpin, bersumpah dihadapan Allah dan RasuluNya, berjanji dihadapan Papa dan Ayahnya. Ia sudah memutuskan untuk membangun cinta dan kasihnya hanya untuk bersama Zara. Lalu dengan sentuhan angin yang tak halal sedikit pun baginya, ia rapuh?

Sungguh berani sekali dia memporak-porandakan janji yang dijunjungnya tinggi-tinggi kala itu. Itu bukan hanya sekedar janji, janji itu janji menuju JannahNya, atau menuju Nerakanya. Mudah saja tinggal pilih.

Zia membuka sedikit pintu kamarnya, lalu terdiam. Hatinya cukup ragu untuk memasuki ruangan itu. Ya, karena ia sangat berani menghianati sang istri. Berani-beraninya ia memikirkan wanita lain, disaat ia sudah sah menjalin hubungan yang halal secara Agama. Sungguh keterlaluan mempermainkan hubungan atas nama agama.

Setelah cukup lama ia berdiri di muka pintu itu, memantapkan hati untuk melupakan masa lalu dan menatap masa depan dengan sang istri. Ia membuka pintu dan masuk kedalamnya.

Cahaya di sana remang-remang, ia mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan. Di atas tempat tidur itu, tak ada seorangpun yang tertidur. Namun, terdengar suara ketukan demi ketukan keyboard laptop secara berkala.

Ia mencari asal muasal suara itu, dan mendapati Zara tengah berkutat dengan laptopnya di bawah meja belajarnya. Mungkin ia mencari posisi yang nyaman untuk menuangkan ide-ide dalam pikirannya. Ia terdiam, "Kenapa kau tidak tidur?" Ucapnya, seseorang yang ditegur itu terkejut.

Zara membalikan badannya, gugup. "Aku.. Aku hanya sedang menyelesaikan proposalku." Ucapnya yang sekilas menengadahkan pandangannya kemudian kembali menunduk.

"Aku pikir, kau tidur terlelap." Tambahnya.

"Jadi kalau aku tidak tidur di sini kau akan terus bergadang?" Telisiknya.

"Ah, tidak tidak. Ini hanya menghabiskan waktuku saja." Balasnya.

"Kau tidurlah kembali, jam masih menunjukan pukul 2.10. Masih ada cukup waktu untuk berbaring." Ucapnya. Ia lalu berdiri, menggenggam tangan Zia menuju ke pembaringan. Sungguh sangat terlihat gelagatnya yang gugup.

Jujur saja, saat ini Zara sedang menyembunyikan rasa kecewanya. Rasa sakit yang sedikit demi sedikit menyayat hatinya. Ya, ia tak memiliki peraduan hari ini. Ia bingung harus meluapkannya pada siapa.

"Ayo tidur.. Nanti aku bangunkan pukul 3 pagi. Supaya tidak telewat shalat malamnya." Zara masih berusaha dengan keras untuk membujuk Zia. Ya, ia tau.. Zia sangat tidak suka diganggu.

"Bukan kau yang harusnya mengatakan kata-kata seperti itu. Kau manusia bukan robot, kau perlu istirahat." Kata Zia, membuat Zara terdiam di tempat.

"Tidurlah, cepat tidur." Perintahnya. Zara menatap mata hitam itu. Lalu ia melirik laptopnya yang masih menyala. "Abaikan semua itu, kau perlu istirahat." Tambahnya lagi.

Zara mengangguk dan membaringkan diri di tempat tidurnya. Ia menatap Zia yang masih berdiri di hadapannya. Sungguh semakin lama menatapnya hati itu terasa semakin sakit. 'Tidak. Tidak. Zara tahan.. Kau tak boleh cengeng. Ini kesalahanmu.' Pikirnya. Ia membelakangi Zia yang masih setia dengan posisinya, menyembunyikan air mata yang sudah siap meluncur dalam hitungan detik.

Tempat tidur sedikit bergoyang, ia dengan cepat menolehkan pandangannya kembali. Melihat Zia yang juga bersiap untuk tidur. Zara tertegun, ia masih saja berkutat dengan pikiran-pikirannya.

Zia meletakan tangannya di tubuh Zara. Ia meraih Zara untuk mendekat, memeluknya dengan hangat. "Aku tau kau sedang kecewa. Aku tau aku begitu brengsek hari ini. Maafkan aku.. Maafkan aku. Ini semua kesalahanku." Ungkapnya dengan lirih.

Zara dengan cepat membalikan badannya, "Ah tidak tidak. Ini semua salahku, bukan salahmu." Bantahnya.

"Raya adalah bagian dari masa laluku. Aku pernah jantuh cinta padanya dulu.. Mungkin dengan datangnya dia tiba-tiba pada hari ini membuatku kembali bimbang akan perasaanku." Ungkapnya jujur.

Zara terdiam, mencoba untuk mencermati apa yang coba Zia sampaikan padanya. "Maafkan aku telah meninggalkanmu tadi malam. Maafkan aku telah melalaikanmu.. Silahkan menangis, silahkan kecewa. Aku tau ini semua salahku, apa kau bisa memaafkanku?" Tanyanya. Zara tersenyum, meskipun hatinya masih sakit, namun tak sesakit tadi.

"Aku perlu bantuanmu, buatlah aku jatuh cinta lebih dalam padamu." Ungkapnya, membuat Zara terdiam. Lalu ia menarik kerah kemeja abu-abu yang dikenakan Zia kedepannya. Wajah itu, wajah yang akan ia rindukan ke depannya. Wajah itu, wajah yang akan mencintainya setiap saat. Dengan cepat ia menempelkan bibirnya pada bibir Zia.

Zia tersenyum, "Aku minta maaf karena telah kecewa padamu. Aku mempunyai keinginan.. Kau harus mengobati lukaku ini. Kau harus merawatnya." Ucap Zara tepat di depan bibir Zia.

"Pasti.. Aku akan merawatnya dengan telaten." Lalu Zia dengan agresifnya menautkan bibirnya kembali pada bibir Zara. Satu jam itu mereka gunakan untuk bercumbu dan saling merayu, mengobati rasa rindu yang sempat hilang beberapa waktu.