webnovel

Pesan

Masih di ruang makan, semua orang tengah berkumpul. Hari ini hari libur, maka tidak ada satupun dari mereka cepat beranjak dari sana. Setelah mereka menyelesaikan makanannya, biasanya akan terjadi pembicaraan. Seperti "Fadli, bagaimana dengan perkembangan pekerjaanmu? Apakah ada masalah yang serius?" Tanya Ayahnya dengan sungguh-sungguh.

Laki-laki yang dipanggil tersebut meletakan sendok dan garpunya bersamaan, ia menegak air mineral yang ada di hadapannya. "Emm.. Tidak ada masalah yang serius, Yah. Sampai saat ini baik-baik saja. Yah, paling bagaimana caranya untuk menghasilkan metode dalam pembelajaran anak. Karena anak-anakan berbeda satu sama lain, tentu saja satu metode tidak dapat disama ratakan." Jelasnya.

Pria paruh baya itu mengangguk-anggukan kepalanya, tampak paham. "Bunda mau tau kabar cucu bunda sekarang? Kenapa dia tidak datang ke pernikahan Tantenya sendiri." Ribut wanita paruh baya itu yang tampak masih segar dan bugar.

"Tidak Bun, memang sengaja kami tidak membawanya. Ia sedang fokus menghafal, katanya akan ada ujian hari senin nanti. Ia takut lupa hafalannya. Mohon doanya saja Bunda, supaya Naya dipermudah dalam menghafal Al-qur'annya." Ucap Nadia lemah lembut.

"Bagus itu, keputusan yang sangat bagus." Komentar Ayah mertua Nadia. "Oh iya.. Zara, ajaklah suamimu keluar. Mungkin ia ingin berkeliling di sini sebelum pergi. Kita tidak tahu kapan kalian akan kembali untuk melihat-lihat." Tambahnya. Perkataan itu sungguh menghunus ulu hati. Sebenarnya tidak ada sedikitpun maksud menyakiti atau mengusir dari Ayahnya. Namun, kata-kata itu kembali menyadarkannya bahwa ia akan pergi jauh dari Ayah tercintanya itu.

"Ah iya Ayah.. Segera." Ucap Zara.

"Apa rencana kalian ke depannya?" Pertanyaan ini keluar dari mulut Abangnya. Dan pertanyaan ini pula pernah keluar dari mulut Bunda pada Abangnya sewaktu ia baru menikah dulu.

Zara terdiam, jujur saja ia belum membahas apapun dengan laki-laki itu. Jangankan untuk membuat rencana, untuk berbicara panjang lebar saja belum terlaksana sama sekali. Entahlah, ia harus membiasakan diri sekuat tenaga. Mengesampingkan ego tinggi yang dimilikinya.

"Kami belum memutuskan, Ayah Bunda Abang dan Kak Nadia. Baiknya bagaimana ya? Mungkin kalian punya saran.. Karena lebih dahulu mengarungi bahtera rumah tangga daripada kami." Ucapnya dengan ketenangan yang luar bisa. Tak ada rasa gugup sama sekali yang terdeteksi sekelilingnya.

Mereka terdiam, hanya terdengar suara dentingan dari piring piring yang beradu ketika tangan Zara dan Nadia dengan lihainya mengumpulkan mereka untuk dibersihkan. "Jikalau kalian akan tinggal dirumah orang tuamu Zia, silahkan. Tak apa-apa. Atau mau di sini juga tidak apa-apa, kami terbuka. Atau bahkan memiliki rumah sendiri untuk hidup lebih mandiri juga itu bagus. Kami tidak ada yang melarang satu sama lain, kami menghormati keputusan kalian berdua." Ucap Ayah Zara. "Namun jangan pernah lupakan kami selaku orang tua kalian, kunjungilah kami sesering mungkin. Kami perlu tau kabar anak kami, apakah ia hidup dengan baik atau tidak." Ucapnya lagi.

"Dan satu hal, ketika kalian sudah memutuskan untuk hidup mandiri, atasi masalah kalian berdasarkan Al-quran dan Hadist. Minta pertolongan pada Allah, gantungkan setiap aktivitas kalian kepada Allah. Allah memberikan ujian bukan semata-mata karena benci, bukan karena semata-mata tidak perduli pada makhluknya. Tapi untuk meningkatkan derajat kalian. Ketika kalian menghamba dan menyerahkan segala urusannya pada Allah, maka akan meningkat derajat kalian. Jika terjadi sebaliknya, maka jangan harap itu semua terjadi." Jelasnya, sungguh ia tidak memiliki harapan sedikitpun untuk menyaksikan Anak-anaknya tergelincir. Meskipun Zara sudah beralih menjadi tanggung jawab suaminya, ia masih perlu mengawasi Anak-anaknya.

"Aku harap, kalian memegang teguh agama Allah. Jangan sampai terkecoh." lanjutnya. "Oh iya.. Zia, ingat pertimbangkan juga Zara yang masih berstatus sebagai mahasiswi. Itu saja dari Ayah, Ayah duluan ada sesuatu yang harus diurus." Pamitnya.

"Terima kasih, Yah." Ucap Zia, sedangkan pria paruh baya yang disebut Ayah itu mengangguk tersenyum, dan menghilang begitu mencapai tikungan.