webnovel

Makan siang penuh cinta ♡

Setelah istirahat cukup lama, Zara dan Zia memutuskan untuk kembali berkeliling. Perasaannya sekarang sudah lega, ia mampu mengucapkan apa yang ada dalam pikirannya. Respon Zara biasa saja, namun ia masih menerka-nerka apa yang sebenarnya dipikirkan gadis itu. Zia dengan sekuat tenaga mengusir pikiran-pikirannya, membuat senyaman mungkin untuk menikmati waktu yang akan dilalui mereka berdua.

Zara mengunci bibirnya rapat, setelah pengungkapan itu ia tidak menunjukan emosi hatinya saat ini. Ia berusaha untuk menutupinya, masih terasa sungkan untuk berbagi cerita hatinya. Mereka berjalan beriringan yang sesekali tangan satu sama lain merasakan setiap sentuhan yang tak terencana.

"Apa kau tidak lelah?" Tanya Zia akhirnya. Mereka sudah berjalan sangat jauh, namun tak ada tanda-tanda Zara akan berhenti. Bukan maksudnya ia lelah karena berjalan jauh, sebaliknya ia berbunga-bunga bisa menghabiskan waktu bersama Zara. Ia mendapatkan banyak plus plus nya. Ia dapat melihat senyum Zara, mampu lebih memahami lagi karakter Zara, dan yang paling penting menghabiskan waktu bersama seseorang yang dicintai itu sungguh luar biasa.

Zara yang disampingnya menengok ke atas, ia tersenyum baru menggelengkan kepala menandakan ia tidak setuju dengan pertanyaan itu. "Enggak, tenang aja. Kan jadi tour guide mu hari ini." Ucapnya.

Ia berhenti melangkah dan menatap lekat gadis itu, "Pulang yuk.." Ajaknya, lalu menarik tangan sang istri menyusuri emperan jalan menuju parkiran mobil. "Apa kau haus?" Tanyanya lagi.

Sekali lagi gadis berkerudung hitam itu menggelengkan kepalanya, " Aku sudah terbiasa. Tenanglah.." Ucapnya lagi. Ia memutuskan untuk tidak mengusut lagi hal itu, dan memasuki mobil yang berada tak jauh darinya.

***

Sepulang dari kencan bareng, terdengar suara Adzan tepat ketika mereka turun. Mereka memutuskan untuk shalat berjamaah di rumah. Tidak ada kegiatan yang penting lagi, karena mereka sama-sama mengambil cuti untuk tiga hari ke depan.

Zara mendudukan diri di depan televisi, mencari tayangan yang menarik. Seorang laki-laki keluar dari kamarnya, dan mendudukan diri di samping kirinya. Tak ada suara yang tercipta diantara mereka, sama-sama saling menikmati kebersamaan ini. Mereka tengah membiasakan diri atas kehadiran seseorang yang akan menjadi penting dalam kehidupannya.

Sesekali Zara mengintip wajah yang tampan itu, ia menghembuskan nafas perlahan dan kembali menonton setiap adegan yang disajikan televisi. Tak lama setelah itu, terdengar suara dari perut seseorang. Zara dengan cepat menatap suaminya, dan air mukanya langsung berubah. "Astagfirullah.. Kejamnya aku." Ucapnya.

Dia memutuskan untuk berdiri dan melangkahkan kakinya ke dapur diikuti Zia. "Kenapa kau tidak bilang kalau lapar." Protes Zara dengan tangan yang begitu terampil mengeluarkan sayuran dan bumbu lainnya, dan kemudian dipotongnya.

Zia dengan sweater hitam dan celana bahannya menatap seseorang yang tengah sibuk itu sambil bertengger dikusen pintu. "Tak ada yang berarti." Ucapnya.

Kata-kata tersebut memancing amarah yang lebih besar lagi dari Zara, "Kau membuatku menjadi istri yang sangat buruk." Desisnya. Ia masih sibuk dengan bahan-bahan yang ada di hadapannya. Ia mulai memasak dan mempersiapkan alat makan beserta nasi di atas meja. Sedangkan Zia masih tak menggeserkan badannya barang sesenti pun.

Gadis bercelemek biru muda itu membereskan alat masak dan mencucinya, "Cepat makan, jangan buat aku semakin buruk." Perintahnya, tanpa menoleh sedikitpun. Tak ada jawaban sama sekali dari sang lawan. Setelah selesai, ia mengeringkan tangan dan melepaskan kain yang melindunginya dari minyak dan sabun.

Zara membalikan badannya, ia melihat pria itu masih dalam posisi yang sama. Tak bisa menerka apa yang dipikirkannya saat ini, ia hanya mampu berkacak pinggang. "Kau menyebutmu sebagai seorang istri?" Tanyanya tak percaya. Dan ia melenggangkan kakinya menuju meja makan lalu mendudukan diri.

Zara juga mendudukan diri, "Ku kira, butuh beberapa waktu untuk membuatmu mengucapkan istri. Ah~ Begitu menyenangkannya.." Ungkapnya jujur, membuat wajah gadis itu tertegun.

Zia dengan semangat membuka piring dan memasukan nasi serta beberapa lauk, ia tertahan ketika ia hendak memasukan sesendok makanan pada mulutnya. "Kau tidak makan?" Tanyanya.

"Aku tidak lapar.." Balas Zara.

"Kau tak perlu repot-repot untuk melakukan diet. Aku suka tubuhmu.." Ucapnya lagi, lalu memasukan sesendok makanan yang tertahan tadi. Benar, ucapan itu membuat jantung Zara berdetak tak karuan.

"Aish.." Zara menggeleng-gelengkan kepalanya. Namun, ia menyadari bahwa pipi yang menggelembung itu mulai panas. Sedangkan si pelaku hanya tersenyum puas. "Makanlah dengan tenang. Itu tak seburuk yang kau kira, mungkin masih cukup layak masuk ke dalam perutmu." Ucapnya.

Zia terdiam, dengan ekspresi yang sulit dibaca, "Aku tidak menambahkan racun di dalamnya." Tambahnya lagi.

"Aku tau, kau tak mungkin menginginkanku mati secepat itu kan? Kita bahkan belum melakukannya.." Balasnya menggantung.

"Aish, diamlah.." Ia kesal ketika Zia mengangkat tema kematian dalam pembicaraan mereka. Bagaimana bisa di saat mereka baru saja meresmikan menikah, sudah berencana untuk kematian?

Zia kembali makan dengan tenang. Setelah selesai, ia meminum air mineralnya. Zara dengan sigap mengambil piring-piring kotor itu menuju wastafel. "Ada sesuatu yang perlu kita bicarakan" Ucap Zia.

"Nanti.." Balas Zara, yang masih sibuk merapikan dapur.

Zia mendekati Zara, lalu ia memeluknya " Terima kasih, makanan enaknya. Ini pertama kalinya dimasakan oleh seseorang selain Mama dan Bundamu. Aku bahagia.." Gadis yang tengah berdiri itu membeku, tak bergerak sedikitpun. Ia tau hatinya sekarang berada dalam tegangan tinggi, membakar seluruh tubuhnya dengan perlakuan manis sang suami. Lalu Zia mengecup pipi kanan Zara dan pergi meninggalkannya begitu saja.