webnovel

Hari itu datang...

Seseorang tengah menatap jendela ke arah luar. Hari itu datang.. Hari dimana ia akan berpisah dengan sang Bunda, hari dimana ia akan meninggalkan tempat ini segera, hari dimana ia bukan lagi tanggung jawab Ayahanda, hari dimana ia tak lagi sendiri, hari dimana ia menjadi seorang istri.

Ya, sampai detik ini pun Zara masih belum mengetahui sosok calon suaminya itu. Ia hanya mampu berserah diri, tak mungkin Ayah dan Bundanya memberikan ia kepada seseorang yang brengsek misal. Yah.. ia hanya mampu untuk terus meyakinkan diri untuk percaya dan terus membangun kepercayaan dalam dirinya kepada sang Bunda dan Ayah.

Wajahnya sangat cantik, ia sudah menggunakan semua yang biasa pengantin gunakan. Ia menggunakan gaun pengantin yang katanya rancangan khusus, entahlah. Zara hanya bertugas untuk mengenakan ini sampai acara berakhir nanti.

"Kau berdebar tidak?" Tanya Nifa yang sedari tadi terus saja memotret dirinya.

"Kan hidup." Jawabnya cuek. Matanya tetap tak berpindah sama sekali, ia menatap ratusan tamu yang hadir hari ini.

"Aish.. kau ini. Kasihan sekali aku pada calon suamimu, Ra." Ucapnya. "Akadnya baru mau mulai.. Kau tidak deg-degan sama sekali?" tanyanya lagi.

Zara mendudukan diri, ia melepas sepatunya yang cukup tinggi itu. "Aish.. kau ini mengerjaiku ya? Tersiksa tau pake sepatu kayak gituan, dan ternyata akadnya akan dimulai?" Dengusnya. Ia menghela nafas, dan merebahkan diri di atas kasur empuknya. Lalu ia menutup matanya, berusaha untuk tidak menyesali keputusannya.

"Hey kau harus membiasakan diri untuk dipelaminan nanti.. kau.. Aduh pengantin satu ini. Kau jangan tidur, nanti riasanmu rusak, dan pakaiamu juga rusak." Gertaknya yang tidak ditanggapi sama sekali. "Zara iihh.. ayoo bangun." Bujuknya.

Sedangkan di luar ruangan, keluarga Zara sedang menyambut tamu terhormat itu. Calon besan dengan calon mantu yang mengenakan pakaian pengantinnya, sungguh sangat tampan. Dilihat dari perilakunya sedari tadi, ia lemah lembut dan penurut.

Zia hanya menunduk, tak mampu mengatakan sepatah katapun. Ia tak habis pikir akan rencana Mama dan Papanya. Sampai saat inipun, di saat mereka sudah sampai di rumah calonnya. Ia tak tau siapa yang akan ia nikahi. Sungguh pernikahan bukanlah lelucon.

Ia menepuk Mamanya yang ada di sebelah kanannya, "Ma.. kasih tau dong siapa namanya. Masa udah mau ijab qobul, aku belum tahu namanya.. Yang nikah tuh kan aku bukan Mama." Protesnya. Mamanya menatap anak sulungnya itu. Ia hanya tersenyum, lalu kembali fokus pada acara.

"Ma.. ih Mama.." Bujuknya. Ia lalu berbalik ke belakang, "Dek.. siapa sih namanya? Liat undangannya aja gak boleh. Ayo dek kasih tau Kakak." Desaknya pada sang adik yang tengah memainkan ponselnya.

"Apaan sih Kak, kan Kakak yang mau nikah bukan Adek. Sana tanya aja sendiri sama Mama atau Papa." Ketus Adiknya tanpa menatap sang Kakak sama sekali.

"Aiiish.. kalian bersekongkol satu sama lain ya." Desisnya. Ia hanya menghembuskan nafasnya kasar.

"Mari kita mulai ijab qabulnya, silahkan kepada pengantin pria untuk menempati tempat duduk ini. Kepada Ayah dari pengantin pria, silahkan berada di sebelahnya sebagai saksi. Dan kami undang Ayah dari pengantin perempuan untuk menjadi wali, serta saudara kandungnya untuk menjadi saksi dari pihak perempuan." Sambut sang pembawa acara sambil menunjukkan tempat duduknya satu-satu. "Insya Allah mempelai perempuan akan diundang, ketika ijab qabul sudah terlaksana."

Lalu datanglah pihak dari Kementerian Agama duduk bersama mereka. "Ananda Zia, apakah anda siap?" tanya sang menteri.

"Ah.. insya Allah." Ucapnya bingung. Karena sampai saat ini ia masih belum tau nama dari pengantin perempuannya. Bagaimana ini?

"Mari langsung saja.." Ucap menteri, lalu menjabatkan tangan Ayah pengantin perempuan dengan tangan pengantin laki-laki. "Siap, langsung ya.."

"Saya nikahkan dan kawinkan ananda Zia dengan anak saya yang bernama Zara Naura binti Humam dengan maskawin perhiasan seberat 25 gram dibayar tunai." Kata-kata itu meluncur begitu saja dengan lembutnya dari pria setengah baya itu, hingga membuat Zia tercengang.

Lalu ia tersadar setelah mendapat tepukan dari sang menteri, "Saya terima nikah dan kawinnya Zara Naura binti Humam dengan maskawin tersebut dibayar tunai." Ucapnya dalam satu tarikan nafas, yang kemudian semua orang berseru 'SAH'. Serta disambung dengan doa yang dipimpin oleh menteri.

'Zara Naura binti Humam... Apakah itu nama istriku? Ya, tentu saja bodoh. Kau sendirikan yang menyebutkannya dalam Qabul tadi. Serasa tidak asing.. tapi entahlah.' pikirnya.