webnovel

Dalam keheningan, kita merajut kenangan

Terdengar pintu di ketuk beberapa kali, Zara dengan cepat berlari menengok seseorang lewat kaca di dekat ruang tamu. Ketika ia mengenali punggung yang menghadapnya itu, ia memutar knop pintu setelah membuka kuncinya.

Seseorang itu berbalik dan tersenyum, Zara mengulurkan tangannya untuk mencium tangan yang selalu berusaha menuntunya menuju JannahNya. "Assalamualaikum.." Sapanya ramah.

"Waalaikumussalam, yaa habibi." Jawabnya, lalu ia mempersilahkan laki-laki itu masuk ke dalam rumah. Lalu menguncinya kembali, takut-takut kelupaan dan seseorang masuk tanpa permisi.

Ia dengan cepat pergi ke dapur, menyiapkan air teh manis dengan sedikit perasan lemon di dalamnya. Lalu, ia berjalan dengan hati-hati menuju kamarnya yang sudah ditunggu oleh seseorang. Zia telah mengganti pakaiannya dengan piyama hitam. Zara meletakan minuman itu di nakas samping tempat tidur.

"Minumlah selagi hangat. Di luar cuaca cukup dingin." Ucapnya sembari Zara yang sibuk melepaskan mukena yang ia kenakan tadi.

Ia lalu mendudukan diri di meja rias berwarna abu-abu itu, mengaplikasikan beberapa pelembab yang biasa ia kenakan saat akan pergi tidur. "Kamu sudah merapikan semuanya?" Tanya laki-laki itu setelah ia mencari batang-barangnya ke sana kemari.

Zara menganggukan kepala, menatap laki-laki itu dari bayangan cermin di hadapannya. "Kamu mencari apa?" Tanya Zara dengan lembut.

"Emm.. Laptop." Ucapnya singkat sambil membuka satu persatu lemari yang ada di dalam ruangan itu.

"Di ruang sebelah. Ruangan yang kita sepakati untuk dirimu yang bekerja, aku yang belajar dan semua buku yang kita miliki." Ucapnya singkat, masih fokus dengan kegiatannya di depan kaca yang menampilkan wajah dan tubuhnya. Laki-laki itu pergi dari hadapan Zia secepat kilat, sedangkan perempuan yang masih sibuk itu hanya menghela nafasnya, sabar.

Setelah ia menyelesaikan kegiatannya itu, ia melangkahkan kaki menuju ruangan yang sama. Ia membuka sedikit pintu, membuat dirinya mampu melihat sebagian yang ada di dalamnya. Ia juga melihat Zia yang tengah terduduk manis dengan laptop yang menyala di hadapannya.

"Kau sudah meminum habis teh nya?" Tanya Zara dengan suara yang pelan. Laki-laki itu tak bergeming dekit pun. Zara hanya tersenyum maklum. Ia sudah menjadi istrinya, ia siap mendampinginya hingga masa yang akan datang. Istri bukan hanya pajangan, yang hadir ketika tamu datang, atau menjadi pendamping di pelaminan orang.

Memang benar istri adalah seorang perempuan yang telah bersuami, namun ia harus mampu menempatkan kata istri lebih dari sekedar itu. Menurutnya istri adalah seseorang yang harus mampu memahami dan melayani luar dalamnya suami. Ia telah berjanji dengan pelakasanaan Ijab Qobul beberapa waktu yang lalu, meskipun memang pada saat itu belum ada sayang yang menyelinap masuk ke dalam hatinya yang begitu merindu.

Ia terduduk di kursi dekat rak buku. Ia membaca beberapa judul yang menarik perhatiannya, ia memutuskan untuk menemani Zia yang masih tak bergeming dengan laptopnya. Ia meraih benda pipih yang mirip komputer, tergeletak di atas meja belajarnya.

Gadis yang menggulung rambutnya dengan asal itu berusaha untuk memfokuskan diri melakukan beberapa kerjaan yang tidak terlalu urgent sebenarnya. Tapi, kegiatan ini membuatnya bahagia. Biasanya ia mengerjakan semua laporan pemenuhan kuliah dan organisasinya ketika tenggat waktu sudah menyapa. Mungkin karena ada seseorang yang menemaninya, kini ia tak sendiri lagi menghadapi sepinya waktu malam kala datang.

Sungguh tak ada yang mengeluarkan suara sedikitpun dari dua insan yang berada dalam satu ruangan itu. Hanya suara cicit keyboard yang ditekan sesekali, membangun suasana romantis diantara mereka. Tak terasa waktu menunjukan pukul sepuluh malam, namun mereka masih tak bergerak sedikitpun dari pekerjaannya.

"Apa yang kau lakukan?" Tanya seseorang dengan suara beratnya yang khas, membuat seseorang yang lain menghentikan kegiatannya. Ia membalikan badan dan menatap dengan senyum simetris tampak di wajahnya.

"Aku?" Tanyanya.

"Kau kembali bergadang lagi?" Telisik laki-laki itu dengan suara yang sedikit tajam. Ia melepaskan kacamata yang bertengger sejak dua jam lalu di atas tulang hidungnya. "Aku sudah katakan padamu untuk tidak melakukan hal itu." Ucapnya geram.

Zara merasakan suasana yang berubah menjadi mencekam, ada kemarahan yang muncul dari suara dan kilatan matanya. Ia mendekati laki-laki yang menekuk wajahnya itu. Ia tahu Zia pasti merasa tidak dihargai atas perbuatan yang membangkang keputusannya.

Ia menyentuh tangan yang tergeletak diatas meja dan masih menggenggam mousenya itu. "Aku hanya ingin menemanimu. Aku menyukai kegiatan kecil ini.. Sangat bahagia ketika kita bisa menghabiskan waktu bersama, meskipun dalam kesibukannya masing-masing. Hal kecil ini tak mungkin aku lewatkan, karena aku terlalu takut kesempatan itu tak akan pernah kembali." Jelasnya. Ia menatap manik mata hitam milik lelaki di depannya.

"Hal ini tidak masalah bagiku Zi.. Percayalah, aku menyukainya." Zara berusaha meyakinkan pasangannya. Ia tak berbohong, tak ada niatan sedikitpun untuk berbohong.

Zia terdiam tampak berpikir. Sorot matanya mulai melembut, "Aku khawatir kesehatanmu." Ucapnya.

"Aku tahu, kamu tak akan membiarkanku jatuh sakit atau membiarkan siapa pun menyakitiku. Namun ini masih siang Zi, aku masih belum mengantuk. Dan ini pun hanya terjadi sesekali.. tidak sering." Jawabnya lagi.

Zia menghembuskan nafasnya, ia hanya mengangguk-anggukan kepalanya. "Jangan marah lagi ya.." Bujuk Zara. Tak ada jawaban sama sekali. Zara mengerucutkan bibirnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membuat suaminya tersenyum.

Membiarkan suaminya cemberut sampai pagi? Oh tidak bisa. Dia tidak akan memberikan celah sedikitpun untuk durhaka pada suaminya. Ia tak mau dilaknat oleh malaikat, karena tingkah konyolnya hari ini.

Laki-laki itu menutupkan laptopnya, ia berdiri dan melangkahkan kaki meninggalkan Zara yang mematung. "Zi.. Zi, ya kok gitu sih.. Sayang.." Ucapnya. Sontak saja ungkapan itu membuat Zia terhenti dadi langkahnya. Gadis itu bergegas mendekati pria di hadapannya. "Ayolah, jangan marah ya.." Harapnya cemas, dengan wajah yang sudah tak karuan. Sungguh ini sangat membuatnya berdebar.

Zia mengangkat tangannya, mengusap wajah gadis di hadapannya itu dengan lembut. Menariknya untuk menempelkan bibirnya pada bibir merah milik gadis itu. Ia mencium bibirnya, kemudian ciuman itu bertambah cepat, menuntut. Ia kemudian melepaskannya setelah merasakan pukulan kecil yang Zara berikan sebagai pertanda ia memerlukan oksigen untuk bernafas.

"Aku tak akan berhenti, bisakah?"