Setelah selesai shalat, mereka berdoa. Dalam setiap detiknya tertambat berbagai harapan dari mereka. Zara melipat mukenanya, ketika ia melihat Zia masih berkutat dengan doa-doa dan harapannya. Zara masih terduduk dalam sejadahnya, ia ragu untuk mengulurkan tangannya. Hingga, Zia berbalik dan mentapnya dengan dalam, membuatnya bingung untuk melakukan apa. Akhirnya dengan berat hati, ia mengulurkan tangannya dan mencium tangan yang akan menanggungnya untuk masa yang akan datang.
"Semoga aku bisa mencintaimu karena Allah, semoga aku mampu membawamu menuju JannahNya Allah." Lirihnya, membuat Zara tertegun di tempat.
Zara terdiam.. Ia dengan mencoba untuk mengusir suasana yang sungguh canggung itu, "Mari keluar, banyak tamu yang masih berdatangan." Ucapnya, ia berdiri dan menyimpan mukenanya di lemari segera. Lalu membuka pintu dan keluar dari kamarnya untuk menyambut tamu.
Zia hanya terdiam dan tersenyum, dalam hatinya 'mungkin memang dia tidak menyukaiku untuk sekarang ini. Aku akan berusaha untuk mencintaiku sebagai seorang yang ke empat. Namun, aku tak akan mengalahkan yang nomor satu di hatinya jika itu Allah, yang ke dua jika itu Orang tuanya, dan yang ke tiga jika itu Abangnya.' Pikirnya. Ia lalu keluar menyusul Zara.
***
Ya, hari ini sangat melelahkan. Mungkin setiap orang yang melangsungkan pernikahan akan mengalami hal yang sama. Begitu pun dengan dengan Zara sendiri. Malam telah menyelimuti beberapa jam yang lalu. Ia merasa bingung untuk melakukan apapun, hadiah dari kerabat dan teman pun belum ia sentuh sama sekali. Dan ja merasa enggan untuk membukanya, entahlah.
"Apa kamu merasa canggung, dengan keberadaanku?" tanya seseorang yang sedari tadi berkutat dengan mushaf Al-qur'annya.
"Ah~ Mungkin." Jawabnya pendek.
"Lakukanlah yang biasa kamu lakukan, jika aku mengganggumu katakanlah. Aku rasa ini hal yang biasa.." Jelasnya, yang hanya diangguki oleh Zara.
Zara memutuskan untuk ke kamar mandi dan berganti baju dengan piyama tidurnya. Akan tetapi selalu saja, ia ragu untuk melangkahkan kaki keluar. Ia menundukan pandangannya, menuju meja rias yang terletak di ujung kamar. Zia yang melihat tingkah istrinya itu terkekeh geli, "Tak apa, kau akan terbiasa.. Aku lebih menyukaimu yang seperti ini ketika berhadapan dengan laki-laki lain." Tepuknya tepat di puncak kepala Zara. Lalu dengan perlahan mencium puncaknya, dan segera untuk pergi ke kamar mandi. Seolah-olah ia tidak mau bertanggung jawab telah membuat bakpau itu terbakar habis.
Setelah melihat zia masuk ke dalam kamar mandi, ia dengan segera mengaplikasikan pelembab dan temannya. Lalu dengan cepat melepas kerudungnya dan pergi ke atas tempat tidur dan menyelimuti seluruh tubuhnya tanpa sisa. Ia berusaha untuk tertidur, namun tak bisa cepat untuk menyelami mimpinya itu.
Terdengar suara pintu kamar mandi yang terbuka, Zara dengan cepat menutup matanya pura-pura sudah terlelap. Zia menatap istrinya dengan senyum, dan ia segera menyusul Zara ke tempat tidur. Menatapnya, mengelus anak rambut yang mulai tak beraturan itu. Dan mencium keningnya dengan sayang, "Aku tau, kamu masih belum menerimaku. Sebenarnya, akupun tak tau dirimu hingga ijab qabul tiba. Aku hanya memanjatkan doa kepadaNya, jika memang seseorang itu pantas untuku. Aku memohon permudahlah.. Aku teramat sakit ketika menghadapimu dulu. Kau memutuskan hubungan secara sepihak tanpa memulainya terlebih dahulu. Tapi aku yakin, di setiap rasa sulit apapun ketika kita meminta pertolongan Allah dan menghambaNya. Maka Ia selalu ada. Terima kasih, untuk bersedia menjadi istriku.. ♡" Ucapnya lembut.
Zara yang saat itu belum sepenuhnya tertidur, merasa hatinya dilimpahi cinta. Seseorang di sampingnya, mengirim ribuan sayang di setiap aliran darahnya. Dan ia tak mampu berkata-kata, ia hanya merasakan pelukan hangat dari sang suami hingga benar-benar terlelap.