webnovel

Mustika Shaleha

Bimasena Satria, seorang polisi yang sedang menangani kasus bunuh diri siswi SMA, tidak pernah menyangka jika kasus yang dia hadapi, justru mempertemukannya dengan cinta masa lalunya yang bernama Reina. Bima mencoba kembali menjalin komunikasi dengan Reina demi mencari informasi mengenai kasus tersebut sekaligus memperbaiki hubungan mereka. Pada akhirnya, informasi yang Reina berikan, membuka fakta mencengangkan di balik kasus tersebut. Mulai dari praktik perundungan di sekolah, konflik keluarga, permasalahan ekonomi, premanisme, hingga prostitusi anak di bawah umur. Namun, saat penyelidikan semakin mendekati titik terang, Bima justru dibuat terombang-ambing oleh semua yang terjadi. Sebuah fakta yang mengejutkan mengenai siapa Reina justru terungkap dan menjatuhkan Bima hingga ke dasar.

mustikashaleha · Hiện thực
Không đủ số lượng người đọc
6 Chs

Step Away

Bima melangkah menyusuri koridor sekolah, menuju tempat Reina berdiri tadi, tetapi gadis itu sudah tidak terlihat di sana. Sejujurnya, Bima juga bingung harus memulai pembicaraan apa jika benar-benar berada dalam satu ruang dan waktu bersama Reina lagi, tetapi kesempatan yang diberikan oleh Tuhan ini tidak boleh dia sia-siakan. Reina dan dirinya kembali bertemu, secara kebetulan, di saat bertahun-tahun mereka terpisah karena keadaan.

"Hei, kenal Bu Reina, nggak?" Bima menghentikan langkah seorang siswi berkacamata. Siswi itu terlihat agak kaget karena ditanyai orang asing.

"Saya polisi. Cuma mau nanya sedikit. Mau ada perlu sama Bu Reina. Kamu kenal nggak?"

"Kenal, Pak," jawabnya ragu.

"Dia ngajar apa?"

"Bahasa Inggris."

Bima tersenyum. Dari waktu SMA dulu, penguasaan bahasa asing Reina memang yang terbaik.

"Kamu tahu nggak, Bu Reina di mana sekarang?"

Siswi itu menggeleng. "Tadi sih di sini sama Pak Rendra. Terus dia angkat telepon, terus pergi nggak tahu ke mana."

"Kalau nomer hape Bu Reina, punya?" Ini konyol. Bima seperti anak ABG yang sedang berburu nomor ponsel.

Siswi itu menggeleng. "Coba tanya TU."

Bima tersenyum garing. Bagaimana dia bisa tidak kepikiran untuk tanya langsung ke kantor tata usaha? Sial! Rasa gugup karena bertemu Reina, membuat otaknya melambat.

"Ya sudah. Terima kasih," ucap Bima kemudian berlalu dari siswi itu.

Reina Suci Melati, nama indah itu yang terus Bima pikirkan sepanjang langkah kaki yang mengantarkannya menuju sebuah ruangan tempat segala informasi soal sekolah berada—ruang tata usaha.

"Permisi," sapa Bima dengan senyum tipis kepada seorang petugas TU wanita yang terlihat masih mudah. Sekilas, ada raut terkejut diikuti dengan binar mata yang menunjukkan ekspresi terpesona dari petugas itu. Ya, sepertinya penampilan Bima mampu membuat kesan baik dan memikat petugas itu.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya petugas itu dengan ramah.

"Iya, saya dari kepolisian, boleh minta daftar nomor ponsel dan alamat guru di sini? Sekaligus saya juga mau minta daftar nama ekstrakurikuler beserta pembinanya,"tanya Bima dengan perasaan harap-harap cemas. Baru kali ini dia melakukan hal konyol dengan mencampur-adukkan urusan pribadi dan pekerjaan.

"Oh iya bisa," kata petugas itu ramah.

Sebenarnya, Bima tahu rumah Reina. Meskipun sudah bertahun-tahun pergi dari kota ini, Bima tetap ingat alamatnya. Apalagi rumah itu dulu bertetangga dengan rumahnya. Namun, butuh nyali lebih untuk kembali menjalin hubungan yang sudah jauh. Setidaknya Bima ingin menghubungi Reina dulu melalui chat, memastikan bahwa gadis itu tidak lupa padanya, dan Bima tidak tahu nomor ponsel Reina sekarang.

Petugas TU tadi menuju sebuah lemari penyimpanan dan kembali dengan beberapa lembar kertas print out. Namun, sesaat sebelum petugas itu menyerahkan kertas itu pada Bima, telepon di ruang TU berdering.

"Sebentar ya, Pak," kata petugas itu mohon ijin mengangkat telepon. Bima hanya tersenyum mengiyakan. Selanjutnya, ada keanehan pada si petugas TU. Dia melihat kearah Bima sekilas dengan tatapan aneh sembari bertelepon kemudian menutupnya setelah beberapa saat. Seketika raut ramahnya hilang berubah menjadi tatapan sinis.

"Bisa saya terima daftarnya?"tanya Bima yang jelas menangkap tatapan aneh.

"Maaf. Kepala sekolah tidak mengijinkan kami memberikan dokumen dalam bentuk apa pun kepada polisi,"jawabnya membuat Bima tercengang.

"Apa? Tapi ini untuk keperluan penyelidikan," sanggahnya.

"Maaf. Kepala sekolah bilang, kalau beliau ingin menjaga privasi sekolah, guru, siswa, dan semua jajaran."

Bima tidak percaya dengan alasan itu. Alasan yang sangat konyol.

"Tapi ini penting, Mbak. Untuk kepentingan investigasi juga," kata Bima berusaha tetap kalem.

"Tapi kami punya hak untuk tetap diam, kata kepala sekolah begitu."

Bima menggeleng tidak percaya dengan keputusan yang diambil oleh sekolah.Dia hampir saja membuka mulut untuk kembali berargumen dengan petugas TU itu, tetapi urung dia lakukan karena di saat bersamaan, ponsel di sakunya bergetar.

Farhan: Bim, sekolah menolak segala bentuk pemberian informasi. Alasannya privasi dan psikologis siswa.

"Sial!" maki Bima lirih sambil meremas ponselnya. Sesaat tatapan tajam dia berikan pada petugas TU tadi sebelum akhirnya dia pergi keluar ruangan itu.

"Kamu di mana?"tanya Bima yang langsung menyambar setelah panggilan teleponnya pada Farhan diangkat.

"Jalan ke pintu keluar. Gila! Aku habis adu mulut sama kepala sekolah."

"Dia beneran nggak mau kasih informasi? Mau dituntut pasal menghalangi penyelidikan apa gimana?"

"Nggak tahu lagi lah, Bim! Itu kepala sekolah emak-emak super ngeyel. Aku kalah adu mulut."

"Biar aku yang hadapi. Sekarang kamu balik lagi ke ruang kepala sekolah, temui aku di sana."

Farhan mendengus malas, tapi akhirnya dia setuju. " Oke, tapi aku minum bentar ya. Energiku habis."

"Oke." Bima pun menutup sambungan teleponnya kemudian melangkahkan kakinya lebar-lebar menuju ruang kepala sekolah.

Ini tidak bisa dibiarkan. Yang dilakukan kepala sekolah sudah tidak benar dan sama saja menghalangi penyelidikan. Bagaimana bisa polisi mengungkap kasus ini dengan sebenar-benarnya jika tidak mendapatkan informasi secara mendetail dari sekolah? Alasan privasi? Memangnya polisi mau menyebarkan informasi terkait sekolah ini ke khalayak? Informasi itu jelas hanya untuk keperluan penyelidikan. Alasan psikologis siswa? Astaga! Makin konyol saja! Dia pikir polisi tidak tahu aturan bagaimana cara mewawancarai anak-anak di bawah umur?

Dengan segala argumen di kepala yang sudah dia siapkan sepanjang perjalanannya dari ruang TU menuju ruang kepala sekolah, Bima sudah mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu tertutup yang ada di hadapannya. Dia sudah siap untuk bernegosiasi dengan kepala sekolah itu baik secara halus maupun paksa. Ibu-ibu zaman sekarang kadang memang suka ngeyel dan butuh taktik untuk menaklukannya.

Namun, saat tangannya baru akan menyentuh pintu, pintu di hadapannya justru terbuka. Seseorang keluar dari dalam yang mau tidak mau langsung beradu tatap dengannya secara tidak sengaja. Seseorang yang tadi Bima cari.

Jika dalam kondisi normal, Bima pasti langsung mengenyahkan pandangan dan pergi, dia malas terbawa perasaan dengan seseorang, tapi ini bukan situasi biasa. Mata berbingkai bulu mata lentik itu menguncinya. Jangankan untuk memalingkan pandangan. Berkedip saja Bima tidak mampu. Seluruh sarafnya tiba-tiba membeku. Dia tidak percaya bisa bertemu mata lagi dengan sosok ini. Dia merindukan tatapan mata ini.

"Maaf, permisi," ucap seseorang yang sejak tadi saling bertatap dengannya.

"Reina, tunggu!" cegah Bima sembari menarik lembut pergelangan tangan Reina. "Kamu nggak lagi pura-pura nggak kenal aku kan?"tanya Bima kemudian sambil menatap manik mata Reina.

"Maaf." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Reina sebagai jawaban sembari melepaskan tarikan dari Bima. Tanpa kalimat apa pun lagi, Reina pergi meninggalkan Bima di depan ruang kepala sekolah.

Sementara Bima, dia hanya bisa terdiam, membeku di tempat sambil melihat langkah Reina yang semakin menjauhinya. Tidakkah Reina punya rindu yang sama sepertinya?

"Bim," suara panggilan Farhan, membuat Bima tersadar dari kebekuannya.

"Hei. Udah minum?" Farhan mengangguk sebagai jawaban.

"Itu tadi siapa, Bim?" tanya Farhan.

"Guru sini aja. Bukan siapa-siapa."