Aeden berlarian menuju ke arah pintu utama rumahnya. Pelayan di kediamannya telah memberitahukan padanya bahwa Dealova kembali.
Melihat Dealova lagi setelah 4 hari membuat dunia kembali berwarna untuk Aeden. Ia sudah kembali tahu caranya berrnafas dengan baik lagi.
"Love, kemana saja kau, Sayang." Aeden memeluk Lova erat.
Lova membalas pelukan Aeden, "Hampir saja aku tak mengenalimu, Aeden. Ada apa dengan penampilanmu sekarang?"
Aeden melepaskan pelukannya, memperhatikan wajah Lova dengan seksama. Lalu mengecup setiap permukaan wajah Lova.
"Jangan pergi lagi dariku. Jangan pernah meninggalkan aku lagi." Mata Aeden menatap memohon.
Lova tak pernah melihat mata Aeden sesedih ini. Ia memeluk Aeden, mengusap punggung Aeden dengan lembut.
"Aku sudah disini. Tidak akan pergi lagi." Suaranya terdengar sangat menenangkan. Beberapa saat menenangkan Aeden dengan pelukannya, Lova melepaskan pelukan itu. Ia menyentuh permukaan wajah Aeden, "Kenapa wajahmu kusam seperti ini?"
"Aku tak bisa menemukanmu. Tak ada yang bisa aku lakukan saat pikiranku fokus padamu."
Lova tersenyum kecil, "Kau harusnya memikirkan dirimu dulu baru aku. Jika kau kehilangan kendali atas dirimu bagaimana kau mau mencariku."
"Karena itu jangan menghilang lagi."
Lova menatap lembut mata Aeden, "Tidak akan menghilang lagi." Setelahnya ia memberikan kecupan di bibir Aeden. Kecupan yang kini berganti dengan lumatan lembut.
"Kita ke kamar ya." Ajak Lova.
Aeden menggenggam tangan Lova, ia tak akan membiarkan Lova menghilang dari pandangannya lagi.
Sampai di kamar, Lova dan Aeden duduk di sofa. Mata mereka kembali bertemu. Dusta jika mereka mengatakan tak saling cinta dengan tatapan mata seperti itu.
"Apa yang terjadi padamu? Kemana saja kau?"
"Aku pergi ke tempat lahir ibuku. Sebelum pergi aku kehilangan ponselku. Tiga hari lalu adalah hari peringatan kematian ibuku. Aku selalu pergi tanpa mengatakan apapun jika hari itu tiba." Lova mencari alasan yang masuk akal. Ia tidak bisa mengatakan ia diculik, ia tidak ingin Aeden cemas dan memikirkannya.
"Kenapa kau seperti itu, Love? Aku hampir gila mencarimu. Aku takut terjadi sesuatu padamu. Ak-" kata-kata Aeden terhenti saat bibir Lova membekap bibirnya.
"Maaf." Lova meminta maaf.
Setelah mendengar kata maaf itu Aeden diam.
"Jangan ulangi lagi, Love. Demi Tuhan, aku tak akan melarangmu pergi kemanapun asalkan kau memberitahuku."
"Aku tahu. Aku tahu kau pasti akan mengizinkanku." Lova cukup mengenal Aeden. Pria ini tak akan mengekangnya lagi. "Apa aku pernah mengatakan kalau aku tidak suka pria yang berantakan?"
Aeden menggeleng.
"Ayo aku cukur kumis dan bulu-bulu halus di sekitar rahangmu." Lova menggenggam tangan Aeden, mengajak pria itu ke kamar mandi.
Lova menyemprotkan foam ke bagian leher dan rahang Aeden. Lalu mencukur di bagian itu.
Mata Aeden hanya memandang ke satu arah, hanya ke Lova.
"Aku merindukanmu, Love." Seruan Aeden membuat Lova berhenti mencukur.
Lova tersenyum manis, "Aku juga merindukanmu."
"Kau mau tahu apa yang kemarin aku pikirkan?"
"Katakan."
"Aku berpikir bahwa kau benar-benar pergi dariku dan tak akan kembali seperti yang Lovita katakan."
"Kau lebih percaya ucapannya daripada aku. Sudah aku katakan, aku tidak akan pergi jika kau tidak mengusirku."
"Maaf. Aku benar-benar kacau."
Lova kembali mencukur, "Kau hanya harus percaya padaku. Lovita, dia mengatakan itu untuk memanasimu." Lova tahu akal-akalan Lovita. Kakaknya itu benar-benar penyihir jahat.
Aeden menganggukan kepalanya paham. Benar, ia hanya harus percaya pada Lova seorang.
Mencukur selesai. Melihat Aeden, Lova yakin jika pria itu tak banyak makan dan kurang tidur, karena itu ia memasak untuk Aeden dan kemudian menemani Aeden makan. Seperti anak kecil yang mengikuti ibunya, Aeden selalu mengikuti Lova kemanapun.
Selesia makan, Lova mengajak Aeden ke kamar kembali.
"Tidurlah, kau harus cukup tidur agar kembali segar." Lova membaringkan Aeden.
"Temani aku."
Lova naik ke atas ranjang, ia masuk ke dalam pelukan Aeden.
Selalu terasa nyaman. Ia merindukan pelukan yang 4 hari tak ia dapatkan. Jauh dari Aeden membuat Lova menyadari satu hal, dunianya telah berubah karena Aeden. Sudah tak se datar dulu. Ia bahkan merindukan ketika bercanda dengan Aeden, ketika makan bersama dan ia rindu gombalan Aeden yang sering ia katakan membuatnya mual.
Mata Aeden terpejam. Begitu juga dengan Lova.
Setelah berjam-jam terlelap, Lova terjaga dari tidurnya. Ternyata senja sudah datang. Ia bergerak pelan melepaskan pelukan Aeden dari tubuhnya, namun sekeras apapun usahanya, Aeden tetap terbangun.
"Mau kemana?" Tanya Aeden sambil menggenggam tangan Lova.
"Mandi."
"Aku temani."
"Baiklah." Lova menuruti semua kata-kata Aeden.
Lova masuk ke jacuzzi mewah berwarna cream, aroma mawar merah menguar di ruangan itu. Aeden tak ikut mandi, ia duduk di sebelah jacuzzi dengan mata yang terus memandangi Lova. Kehilangan Lova menjadi trauma tersendiri untuknya.
"Benar-benar tidak ingin mandi?" Lova menatap Aeden bertanya.
"Tidak.. Aku hanya ingin melihatmu."
"Aku tidak akan pergi, Aeden. Jangan memikirkan apapun lagi." Lova terbebani. Tatapan sedih Aeden membuat hatinya terasa sesak.
"Aku tidak memikirkannya, Love. Aku percaya padamu. Aku hanya menebus waktu 4 hari ketika aku tak melihatmu."
Lova benar-benar tersentuh karena kalimat itu, karena nada lembut penuh rasa yang Aeden keluarkan dan karena tatapan hangat yang menyejukan hatinya. Lova menarik kaos yang Aeden kenakan, melumat bibir pria itu dengan lembut, sebagai hadiah balasan dari kalimat manis Aeden.
"Lakukan apapun yang membuatmu nyaman." Tangan basah Lova mengelus wajah Aeden.
♥♥
Pagi ini suasana mansion itu kembali hidup. Aura mencekam telah hilang. Para pelayan, pengawal dan pekerja lainnya merasa tenang karena kembalinya Dealova. Mereka tak harus menghadapi kegilaan Aeden.
"Love, ikut aku ke perusahaan. Aku ada sedikit pekerjaan."
"Baik. Setelah itu kita ke taman. Kencan." Lova mengedipkan sebelah matanya menggoda Aeden.
"Baik. Sekarang ganti pakaianmu."
"Hm, hanya 20 menit." Lova kembali ke kamar dan mengganti pakaiannya. Merias sedikit wajahnya dan turun kembali.
"Ayo kita pergi."
♥♥
Setelah berkencan di taman, Aeden membawa Lova ke restoran. Mereka belum makan siang dan hari sudah pukul 1 siang.
"Lova!"
Dealova mendengus, dari sekian banyak restoran kenapa ia harus bertemu dengan Lovita. Lova benar-benar benci melihat wajah Lovita.
"Aeden, kenapa kau tak mengabariku jika Lova telah kembali." Lovita mengeluh pada Aeden.
Aeden menyadari kelicikan Lovita dengan baik, "Kau sudah melihatnya. Menyingkirlah, kami mau lewat." Nada dingin itu membuat Lovita menahan marah.
"Aeden, duduk duluan. Ada yang harus aku bicarakan dengan Lovita."
Aeden menatap Lova sejenak lalu akhirnya ia melangkah pergi.
"Kau tak berhasil menghasutnya, Lovita. Kali ini kau tidak bisa dapatkan apa yang kau mau." Lova tersenyum mengejek.
"Aku akan merebutnya darimu."
"Kau tak akan bisa merebutnya, Lovita. Aku tak mengizinkan kau mendapatkan apa yang aku inginkan. Aeden, dia milikku. Jangan pernah bermimpi untuk memilikinya lagi." Lova tak akan tinggal diam. Kali ini ia harus memperjuangkan apa yang ia sayangi. Tak ada yang boleh mengambil Aeden darinya.
"Anak pelayan sepertimu tak cocok dengan pria seperti Aeden."
"Kecocokan kami tak ditentukan oleh status sosial, Lovita. Berusahalah sekeras mungkin. Aku sangat senang melihat kau gagal setelah usaha kerasmu." Lova menantang Lovita. Ia benar-benar yakin bahwa Aeden tak akan tergoda lagi oleh Lovita. "Ah, berhenti mengurusi aku dan Aeden, urus saja Jayden yang terancam dipenjara." Lova memberikan senyuman dingin lalu segera melangkah ke Aeden.
"Brengsek!" Lovita menggeram pelan.
Lova menang. Ia menang kali ini. Ia tak bermaksud menggunakan Aeden sebagai alat untuk menyakiti Lovita, hanya saja Aeden adalah hal yang paling bisa membuat Lovita meradang.
"Apa yang terjadi?" Tanya Aeden.
Lova duduk di depan kursi Aeden, "Tidak ada, hanya pembicaraan kecil."
tbc