Aku sangat terkejut ketika melihat seorang wanita yang amat sangat kukenali berdiri berdampingan bersama Al di balkon ku, hal pertama yang kulakukan adalah memanggilnya tanpa sadar. "Apa yang kau lakukan disini, Charlotte?" wanita yang kupanggil Charlotte itu menoleh dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya, aku merasa muak melihat topeng itu. Tanpa merasa perlu bersopan santun aku memintanya untuk segera keluar dari kamar dengan kasar, "Keluar sekarang juga dari kamarku, aku tidak menerima penipu ditempatku!" sejenak ia terdiam dan tidak membalas, tetapi hal tersebut tidak bertahan lama karena sekarang ia sedang memasang kembali senyum palsunya. Charlotte berjalan mendekatiku setelah meletakkan asal tas tangannya di ranjang ku dan Albert, ia berhenti beberapa langkah dihadapanku sambil menyilangkan tangan di dadanya. "Wah...wah....ternyata kakak ku ini tidak berubah sedikitpun justru kau semakin kasar padaku. Kudengar kau akan segera menikah dengan wanita pilihan kakek, hm...pasti dia wanita yang luar biasa. Pertama untuk membuat kakek kita tersayang terpukau, dan kedua karena membuatmu jatuh cinta."
Segera saja aku menyela kalimat melanturnya, "Aku memintamu untuk keluar bukan mengatakan omong kosong seperti sekarang, jika kau tidak segera meninggalkan tempat ini dengan kakimu maka akan kulempar sekarang juga dari ketinggian." Nada bicaraku masih datar dan dingin kepadanya, meskipun sedikit kegeraman terdengar didalamnya dengan sangat jelas. Charlotte tertawa dan menyentuh bahuku yang tertutup bathrobe, dia mengelusnya beberapa kali lantas meninggalkan kecupan singkat di pipi kananku. Dengan berbisik wanita itu benar benar meninggalkan ruangan ku setelah membuatku kesal, Albert yang tidak tahu harus berbuat apa hanya menatapku dari meja kerjaku. Aku menatapnya nyalang, kenapa Albert membiarkan wanita itu masuk dan membuatku menemuinya. " Kenapa kau membiarkan dia masuk, Albert!? Kau tahu semual apa aku melihat wajahnya!" marahku padanya, Albert menghela napas singkat lalu melemparkan dasi padaku. "Bersiaplah segera, aku menunggumu dibawah" pintanya lantas ia langsung keluar dari kamar, tidak ada yang bisa kulakukan selain melakukan sesuatu sesuai petunjuknya.
Setelah memakai setelan lengkap dan menata rambut, aku menatap pantulan diriku di cermin dengan saksama. Ini adalah wajah yang sama, orang yang sama, Charles yang sama seperti yang ditolak oleh Jane dua puluh tahun yang lalu. Aku bergumam pelan, "Pasti ia menyesali penolakannya dulu, dan sekarang ia pasti bersyukur karena mengira aku masih mencintainya" setelahnya aku langsung turun menemui Albert yang kuyakini sudah siap dengan mobilnya, entah kenapa setelah memikirkan Jane perasaanku sedikit membaik.
"Hm? Sepertinya suasana hatimu sudah normal lagi, ada apa?" tanya Albert setelah aku duduk di dalam mobil, aku hanya menggeleng lalu memfokuskan pikiranku pada ponsel di genggaman tangan. "Apa kau mendapatkan pesan dari ayahku atau kakek tentang acara ini?" tanyaku padanya untuk memastikan sesuatu sekali lagi, "Sudah kukatakan kalau Kakekmu mengirimkan undangannya. Yah..meskipun melalui email perusahaan," jawabnya yang membuatku memukul kursinya. Apa dia gila!? Kakek tidak pernah mengirimkan undangannya seperti itu, "Kau bercanda!? Kakek selalu mengirim undangan secara resmi bukan lewat email, atau dia akan menghubungi secara langsung. Dan apa, email perusahaan? Tahukah kau siapa yang saat ini memegangnya? Itu adalah Charlotte!" Kali ini Albert pun nampak terkejut dengan hal tersebut, sudah seharusnya ia menyadari hal itu. "Astaga....bodoh sekali, maafkan aku Charles. Apa kau ingin kita berputar sekarang?" aku menggeleng menjawab pertanyaannya tersebut. Dasar wanita ular, mari kita lihat apa yang kau siapkan di acara 'makan malam' ini. "Kita harus lihat dulu 'pestanya' sebelum menghancurkannya Albert, kecepatan penuh sekarang juga."
.
.
.
.
Jane's PoV
.
.
.
.
Kepalaku berdenyut dengan kuat saat ini, terutama setelah membahas banyak hal perihal pernikahan mendadak ku dan Charles. Aku ingin sekali tertawa bahagia ketika Charles justru menyatakan perasaannya di pertemuan pertama kita setelah dua puluh tahun berpisah, dia benar benar seseorang yang mencintaiku rupanya. Bahkan perasaannya tidak berubah setalah dimakan oleh waktu yang lama, apakah aku mencintainya? Entahlah, ini terlalu rumit untuk dijelaskan. Perasaanku padanya tidak menentu, Charles adalah satu satunya orang yang tidak pergi meninggalkanku di masa lalu. Ketika teman temanku memilih menjauh dan acuh, ketika mantan kekasihku pun tidak jelas lagi keberadaannya. Apakah rasa nyaman ini adalah cinta? Jika memang benar begitu, pastilah aku telah mencintainya terlalu dalam setiap harinya selama dua puluh tahun. Pekikan dari kamar sebelah membuatku tersadar dari lamunan, "Apa yang kau lakukan, Jessie!?" balasku tak kalah kerasnya pada Jessie kakak Perempuanku.
Jessie dengan heboh memasuki kamar ku, ia menenteng sebuah paper bag yang entahlah berisi apa. Ia langsung memelukku begitu sampai, "Kau tahu, Jane!? Seseorang mengirimkannya untukmu, ini adalah perhiasan, Jane! Perhiasan!"
"Kita juga bisa membeli perhiasan sendiri, Jess. Kau heboh sekali hanya karena hadiah yang tidak jelas asal usulnya ini,"
"Kau pikir aku akan sebahagia ini jika hanya mendapatkan perhiasan? Yang membuatku senang adalah seseorang yang mengirimkannya. Ini dari, Charles. Charles Fitzwiliam calon suamimu, Jane."
Buat apa lelaki itu memberiku hadiah seperti ini, tanpa sadar aku tersenyum lebar menatap paper bag ditanganku. Haruskah aku mengucapakan terimakasih sekarang juga padanya, atau sebaiknya aku menunggu Charles pulang dari perjalanan bisnisnya. Semua keraguanku tergantikan oleh kebahagiaan yang membuncah, "Jessie, kurasa aku benar benar mencintai Charles ku." Jawaban untuk segala pertanyaanku hanya lah karena aku terlalu mencintai sosoknya.