webnovel

MONDELLA

Ini semua bukan kesalahan Ayah, wanita-wanita yang menjual dirinya itu atau anak hasil dari hubungan mereka. Tapi ini kesalahan waktu. Aku hanya belajar untuk bisa bertanggung jawab dan mengikhlaskan. Mungkin mereka sudah ditakdirkan untuk aku jaga dan rawat. Aku belajar untuk bisa bertanggung jawab dan berpikir dewasa.

Dwi_Nur_Anisa · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
6 Chs

BAB 2

Aku sudah siap dengan memakai gaun berwarna hitam dan putih, lalu memakai high hils berwarna hitam. Aku menggerai rambutku lalu memoleskan make up natural ke wajahku.

Setelah selesai aku langsung ke bawah untuk menuju ke sekolah Revan dan Rifqi. Salah satu sekolah terkenal di Jakarta.

Aku mengendarai mobil Mercedes Benz berwarna hitam membelah jalanan kota yang padat. Aku mendapatkan mobil ini dengan hasil keringatku sendiri.

Aku melanjutkan usaha butik milik Bundaku, aku juga menjalankan perusahaan milik keluarga Bunda.

Bunda itu anak tunggal di keluarga Kakek. Kakek memiliki sebuah perusahaan yang bergerak di bidang entertainment dan cukup terkenal. Nama perusahaannya Golden globe.

Kenapa aku sudah bekerja sedangkan aku masih sekolah? Setelah Bunda meninggal, tidak ada lagi yang mau membiayai hidupku, Ayah? Dia tidak mau memberiku bahkan sepeserpun. Maka sejak saat itu aku belajar tentang bisnis. Apapun yang akan terjadi, meski umurku masih sepuluh tahun, aku belajar dengan giat. Apalagi setelah kehadiran Revan dan Rifqi, Ayah tidak menganggap mereka. Uang Ayah hanya dia gunakan untuk bersenang-senang dengan wanita jalan di luaran sana.

Aku memarkirkan mobilku di tempat parkir, aku langsung keluar dari mobil tanpa melihat ada mobil di belakangku yang sedang memarkirkan mobilnya juga. Spion mobilnya mengenai siku lenganku.

"Au."

Seseorang keluar dari mobil, dia menatapku dengan tajam. "Lo! Ck! Mobil gue lecet, kan? Gue nggak mau tau pokoknya Lo harus ganti rugi," ucapnya. Aku mengerutkan keningku.

"Bukankah harusnya gue yang minta buat Lo tanggung jawab? Siku gue sakit," ucapku. Dia tak menghiraukanku dan langsung pergi.

Aku terperangah melihat dia pergi begitu saja. Dasar cowok nggak bertanggung jawab. Aku mengembuskan nafas lalu melangkah masuk.

Aku duduk di barisan paling belakang. Acaranya sudah di mulai sedari tadi, aku terlambat, Revan dan Rifqi sedang mengambil gambar di sana. Dengan piala besar yang mereka berdua pegang dengan bangga.

Aku tersenyum tipis, bukankah membanggakan mempunyai Adik seperti mereka? Keduanya sama-sama cerdas.

Aku mendekati mereka setelah acara fotonya selesai. "Kakak!" Teriak Revan dan Rifqi bersamaan. Aku tersenyum.

"Congratulations on your getting champion, my brother."

Aku langsung memeluk mereka berdua. "Yah ... Kakak kenapa datangnya telat?" Tanya Rifqi.

"Kakak tadi kejebak macet, jadi datangnya telat," ucapku. Revan dan Rifqi hanya menghela nafas sambil mengangguk.

"Maafin, Kakak. Jangan murung gitu dong, em ... Sebagai gantinya Kakak kasih apapun yang kalian mau," bujuk ku. Mereka berdua langsung bersemangat.

"Beneran?" Tanya Revan. Aku mengangguk. "Kalau gitu Rifqi mau pesawat terbang yang di kontrol," ucap Rifqi. Aku tersenyum. "Okey, kalau Revan mau apa?" Tanyaku. Revan tampak berpikir dengan keras.

"Revan mau PS terbaik keluaran terbaru," ucap Revan. Aku mengangguk. "Okey, tapi kalian harus janji, kalau Kakak udah beliin apa yang kalian mau. Kalian nggak boleh lalai buat ibadah dan belajar, gimana?"

Revan dan Rifqi saling tatap sebelum kemudian mengangguk. "Okey, janji." Aku menunjukkan kedua jari kelingkingku. Revan dan Rifqi menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingkingku sebagai janji mereka padaku.

"Ingat, kalau kalian udah berjanji harus?"

"Di tepati," ucap mereka berdua bersamaan. Aku tersenyum. Aku beruntung memiliki mereka dalam hidupku.

"Permisi, apakah anda wali murid dari Revan dan Rifqi?"

Aku menatap wanita di depanku yang sepertinya dia seorang guru. Aku mengangguk.

"Kepala sekolah ingin bertemu anda, bisa anda ikut saya sebentar?" Tanyanya. Aku kembali mengangguk. "Baiklah, mari ikuti saya."

Sebelum aku pergi, aku menatap kedua Adikku. "Tunggu bentar, Kakak ada urusan." Aku lihat Revan dan Rifqi mengangguk.

Aku langsung mengikuti guru itu menuju ke ruang kepala sekolah. Dia mengetuk pintu, setelah mendapat jawaban, aku dipersilahkan untuk masuk.

"Apakah ini orang tua dari Revan dan Rifqi?" Tanya kepala sekolah. Aku menggeleng. "Bukan, saya bukan orang tuanya. Tapi saya Kakaknya," ucapku. Kepala sekolah itu mengangguk.

"Baiklah, silahkan duduk. Ada hal penting yang ingin saya sampaikan," ucap kepala sekolah. Aku langsung duduk di kursi yang sudah di sediakan.

"Seseorang ingin bertemu dengan anda." Aku mengerutkan keningku. Dia menatap ke belakangku. Aku menoleh ke belakang.

"Lo!"

"Lo!"

Aku menunjuk jari telunjukku ke arah wajahnya, begitupun sebaliknya.

"Kenapa dia ada di sini?" Tanya cowok itu bertanya pada kepala sekolah. Aku membuang muka ke samping. Kenapa aku harus kembali bertemu dengannya. Laki-laki tidak bertanggung jawab yang aku temui tadi pagi.

"Maaf, Tuan Muda. Dia adalah Kakak dari Rifqi," ucap kepala sekolah. Dia menatap ke arahku dengan tatapan seakan tak percaya.

"Bisa langsung ke intinya? Kenapa anda memanggil saya kemari?" Tanyaku. Kepala sekolah mengangguk.

"Perkenalkan, dia adalah putra dari pemilik sekolah, Tuan Muda Edmond."

Aku mengangkat sebelah alisku. "Lalu? Apa hubungannya denganku?" Tanyaku. Kepala sekolah itu terdiam menatap laki-laki yang aku kenal namanya adalah Edmond.

"Rifqi adalah Adikku dan aku ingin dia bergabung dengan keluargaku." Aku tersenyum sinis. "Adik? Apa hakmu menganggapnya sebagai Adik?" Tanyaku.

"Rifqi itu putra dari Ibuku. Otomatis dia adalah Adikku," ucapnya dengan tegas. Aku mengerutkan keningku. Rifqi? Kenapa tiba-tiba dia menginginkan Rifqi?

"Jadi wanita jalang itu Ibumu?" Tanyaku. Dia langsung menatapku dengan datar dan dingin. "Jangan pernah sebut Ibuku dengan sebutan itu," ucapnya dengan tegas. Aku mendengus.

"Lalu aku harus menyebutnya apa? Malaikat? Atau peri?" Tanyaku. Dia terdiam.

"Kamu pikir aku akan dengan mudah menyerahkan Rifqi begitu saja setelah Ibumu menelantarkannya?" Tanyaku.

"Kenapa? Ini semua hanya omong kosong, bukan? Aku ingat, kau adalah Edmond William Ribery? Aku mendapatkan informasi kalau Ibumu pemilik perusahaan besar itu berselingkuh dengan seorang rekan bisnisnya, bukan begitu?" Tanyaku dengan nada sinis.

Dia mengepalkan kedua tangannya. "Ini semua hanya pencitraan, bukan? Tuan Muda Edmond?"

"Diam! Kau terlalu banyak bicara!"

"Apakah aku salah jika aku mengatakan yang sebenarnya? Kenapa tiba-tiba keluargamu menginginkan Rifqi kembali setelah tujuh tahun?!" Teriakku. Aku tidak bisa lagi menahan amarahku. Kenapa orang-orang itu begitu munafik?

"Aku akan mengambil Rifqi dengan paksa, itu mudah mengingat Rifqi tidak mendapat kasih sayang dari keluargamu yang hancur itu," ucapnya dengan nada sinis. Aku tersenyum sinis.

"Kau pikir keluargamu tidak hancur Edmond? Berita terkait keluargamu sudah di ketahui semua orang," ucapku dengan tak kalah sinis. Dia kembali diam.

Aku melangkah keluar dari ruangan. Saat sampai di pintu keluar, aku berhenti.

"Sampai kapanpun aku akan memperjuangkan Rifqi."

Aku langsung pergi. Aku benar-benar kesal dengan kelakuan orang-orang itu. Mereka menganggap Rifqi sebagai apa? Sebagai barang yang bisa dibuang dan dipungut lagi kapan saja? Huh! Aku tidak akan membiarkannya. Aku akan berusaha agar Rifqi tetap bersamaku.

Tujuh tahun aku menjaga dan merawat mereka. Apakah aku akan melepaskan Rifqi begitu saja? Tidak akan semudah itu. 

~oOo~

Bella, you are my idol.

Gimana bisa Lo sesabar itu, kalau gue jadi Bella mending ...

Mending apa?

Jangan lupa buat vote dan komennya guys

Bye bye👋👋