Cintia menghela napas kasar sambil mengalihkan pandangannya dari Adiyaksa. Ingin sekali dia mencakar wajah penuh rasa bersalah milik Adiyaksa. Tapi melihat respon yang begitu lembutnya dari Adiyaksa, sedikit membuat Cintia goyah juga sebenarnya. Terlebih beberapa kecupan yang diberikan Adiyaksa pada punggung tangannya.
Cintia menggigit bibir bawahnya karena terlampau bingung dalam menghadapi perlakuan Adiyaksa. Siapa yang tidak akan merasa lelah kalau lelaki yang mulai disukai melakukan banyak hal manis, tapi disisi lain Cintia juga masih merasa kesal saat Adiyaksa jauh lebih memilih wanita lain dibandingkan dirinya.
"Lepas mas." Cintia melepas tangannya yang di genggam Adiyaksa dengan susah payah. Pasalnya dia merasa tidak bisa lagi mengatasi jantungnya yang terus berdebar.
Cintia juga masih sangat sadar untuk tidak membuat dirinya sendiri malu karena tertangkap basah kembali terpikat oleh Adiyaksa. Rasa gengsi juga masih menutupi hati Cintia, meski tidak sepenuhnya.
Cintia cukup sadar kalau gengsinya yang begitu besar itu bisa membuat Adiyaksa pergi dari dirinya. Tapi untuk membiarkan Adiyaksa melihatnya terlalu luluh juga … sedikit tidak mungkin kalau menurut Cintia. Karena Cintia benar-benar belajar tentang tarik-ulur perasaan dari mantan kekasihnya dulu.
Sedangkan Adiyaksa masih terus merayu Cintia. Seperti mengusap pipi wanita itu dan mengarahkan kepala Cintia untuk menatapnya. Seperti saat ini, dimana keduanya saling menatap dengan kepala yang bersandar pada punggung sofa.
"Makan ya, sudah sore loh. Kalau mau ngambek lagi gak apa-apa, tapi makan dulu ya, ini sudah jam berapa," rayu Adiyaksa sekali lagi. Kali ini bukan hanya rayuan demi mendapat perhatian dari Cintia saja, melainkan tulus dari dalam hatinya karena mencemaskan kondisi kesehatan Cintia.
"Sayang, adik manis, Tia … makan yuk, mas suapin, mas juga akan ikut makan sama kamu, ya dek." Adiyaksa yang semakin tidak memedulikan tentang panggilan sayang untuk Cintia itu akhirnya terus-menerus mengucapkan panggilan sayang. Karena bagi Adiyaksa, Cintia yang terlihat cemburu dan mendiaminya ini juga salah satu dari bukti bahwa Cintia sudah mulai membuka hati untuknya.
"Iya makan," jawab Cintia singkat. Kali ini Cintia juga sudah tak bisa lagi menahan rasa laparnya, Cintia juga tak ingin membuat dirinya sendiri malu karena perutnya yang akan meraung keras karena lapar
Adiyaksa dengan cepat mengubah posisi duduknya menjadi lebih nyaman, dan meraih kotak makan yang dibawa Cintia. Kali pertama yang laki-laki itu lakukan adalah mencoba makanan buatan Cintia yang diberikan dengan banyak kasih sayang di dalamnya. Anggaplah Adiyaksa bersikap berlebihan, tapi memang nyatanya makanan buatan adik manisnya itu memang sangat enak. Jadi tidak salah wanita pujaanya itu membuka kafe.
Suapan pertama yang sangat laki-laki itu nikmati. Bahkan mengunyah makanan sambil menutup matanya. Lalu suapan kedua yang dia ambil lebih banyak dari sebelumnya, menikmati setiap tekstur dari makanan itu, bagaimana ayam krispi yang dibalur tepung itu sangat renyah dan kaya akan rasa rempah, belum lagi saus yang begitu nikmat. Bukan bermaksud berlebihan lagi, tapi saus kali ini juga belum pernah Adiyaksa makan. Wanitanya ini memanglah spesial.
Untuk suapan ketiga dan keempat bahkan laki-laki itu melupakan Cintia yang tengah kelaparan, juga perut laki-laki itu yang seharusnya merasa kenyang. Bahkan Cintia menatap ngeri ke arah Adiyaksa saat laki-laki itu terus menyuap makanan dan mengunyah begitu lahap.
"Enak ya mas," sindir Cintia yang semakin merasa lapar. Ingin rasanya dia memakan makanan buatannya sendiri demi mengganjal rasa lapar. Setidaknya hanya dua suap Cintia pikir tidak akan masalah.
Adiyaksa hanya menjawab dengan gumaman lalu kembali menyuap makanan itu. Cintia sendiri sudah tidak peduli sudah berapa kali Adiyaksa menyuap, karena Cintia semakin ingin merebut sendok yang Adiyaksa genggam itu.
Terlebih perut Cintia sudah mulai meronta dan sudah ia dengar suaranya. Begitu keras dan beruntungnya Adiyaksa sedang tidak sadar bahwa perut Cintia sudah berbunyi keras.
"Mas lapar," rengek Cintia sambil bergelayut di lengan Adiyaksa. Wanita itu melupakan urat malunya yang masih tersambung demi sesuap makanan.
Adiyaksa yang mendengar rengekan Cintia pun akhirnya tersadar. Laki-laki itu menghentikan suapan sendoknya yang sedikit lagi akan masuk ke dalam mulut Adiyaksa. "Hehe … maaf, habis enak banget. Gimana kalau kita makan di kafe depan aja? Yang ini buat mas, ya dek," ucap Adiyaksa sambil menampilkan wajah sedih penuh rayuan.
Cintia hanya memejamkan matanya sambil menarik napas dalam demi meredakan kekesalannya. "Tarik napas … buang … tenang, Tia tenang," batin Cintia terus menahan diri.
Cintia hanya bisa menipiskan bibirnya sambil menatap Adiyaksa dengan wajah menahan kesal yang begitu kentara. "Ya Sudah, habisin itu makannya, aku tunggu sampai habis. Mas gak mau kan aku pingsan karena kelaparan?" sinis Cintia sambil melepas tangannya yang sejak tadi bergelayut di lengan Adiyaksa.
Adiyaksa tidak kunjung menjawab, melainkan mengalihkan tatapannya dari Cintia ke arah kotak makanan, lalu mengalihkan lagi tatapannya pada Cintia seolah sedang berpikir sangat berat. "Kenapa?" tanya Cintia penasaran. Pasalnya dia juga ingin tahu apa yang sedang dipikirkan oleh laki-laki yang mengaku kenyang tapi makan dengan lahap itu.
"Gak kok dek. Tunggu ya, bentar aja," jawab Adiyaksa lalu kembali fokus pada kotak makannya. Laki-laki itu tidak akan mengaku kalau dia sempat dilema, akan menyuapkan makanan itu pada Cintia atau tidak, dan jawabannya adalah tidak. Karena Adiyaksa tidak rela makanan yang dia suka di makan oleh Cintia, meski wanita itu yang membuatnya sendiri.
***
Dua sejoli itu akhirnya mulai memasuki kafe di seberang kantor Adiyaksa. Cintia dengan cepat mencari tempat yang menurutnya nyaman dan tidak dikelilingi banyak orang. Wanita itu segera menentukan pilihannya dan menunggu dengan gelisah.
Bukan gelisah karena menahan lapar, tapi gelisah karena wanita yang beberapa saat lalu melakukan rapat dengan Adiyaksa, masih ada di dalam kafe. Bahkan keduanya sedang bertegur sapa dengan begitu ramah. Sungguh memuakkan, pikir Cintia.
"Saya pikir pak Adi sudah pulang, ternyata masih mau makan lagi," ucap wanita itu ramah.
Cintia juga dengan reflek merotasikan matanya saat melihat Adiyaksa justru menjawab dengan senyum di wajahnya. "Sialan! Emang aku tembus pandang apa?!" umpet Cintia di dalam hati.
Beruntung Cintia masih sadar bahwa kesopanan adalah hal utama yang harus dijunjung tinggi.
Cintia membulatkan matanya saat melihat wanita itu justru mengusap lengan Adiyaksa dengan begitu lembut. Benar-benar tidak bisa Cintia biarkan. Apalagi wanita itu mulai melirik ke arah Cintia sambil menatap Cintia dengan pandangan remeh.
"Begitu rupanya … oke, aku akan bertindak kalau kamu sudah begitu ya, wanita gak tahu diri," batin Cintia licik.