Cintia beberapa kali mengubah posisi duduknya yang sejak tadi merasa tidak nyaman. Hanya saja kali ini bukan karena tempat duduknya yang keras jadi dia tidak nyaman. Bukan itu. Tapi diamnya Adiyaksa lah yang membuat Cintia merasa aneh. Setelah mengucapkan pengakuan rasa cemburunya itu, Adiyaksa hanya fokus pada makanan yang ada di hadapannya. Bahkan setelah memberikan suapan nasi goreng ke arah Cintia, Adiyaksa kembali mengabaikan wanita itu.
"Ck! Kenapa aku kaya gini sih! Kenapa juga jadi ngerasa bersalah! Padahal aku sendiri gak ngapa-ngapain! " batin Cintia terus menggerutu.
Cintia kembali melirik Adiyaksa tapi laki-laki yang duduk di hadapannya itu justru tidak peduli meski sedang ditatap oleh Cintia. Wanita itu ingin sekali berteriak di depan wajah Adiyaksa, mengungkapkan rasa kesalnya pada laki-laki itu. Cintia merasa bahwa Adiyaksa suka sekali mempermainkan perasaannya. Beberapa saat berbuat romantis, tapi beberapa saat kemudian bersikap mengesalkan. Bahkan secara tak sadar Cintia mengeluarkan dengusan kesal dari bibirnya hingga membuat Adiyaksa menatap sekilas ke arah Cintia.
Cintia sudah seperti memiliki harapan saat Adiyaksa menatap ke arahnya. Bahkan dia mengubah raut mukanya menjadi lebih bersahabat. Tapi sayangnya, senyum tipis yang baru saja Cintia tunjukan, luntur seketika saat Adiyaksa justru menunduk dan fokus pada ponselnya.
"Sialan!" maki Cintia dalam hati.
"Mas kenapa sih?! Diam terus dari tadi. Memang aku ada salah? Atau mas sendiri lagi sibuk sama yang lain ya?!" desak Cintia sambil menatap penuh curiga ke arah adiyksa. Sudah pasti Cintia tidak akan terima saat laki-laki yang mengaku mencintainya justru sibuk bersama wanita lain. Dihadapannya pula.
Cintia berulang kali mengatur napasnya agar tak terlalu kentara bahwa dia sedang merasa kesal pada Adiyaksa. Karena jujur saja, rasa gengsi di dalam diri Cintia masih sangat besar, bahkan mengalahkan rasa pedulinya pada Adiyaksa.
"Curiga terus ya kamu sama mas. Kaya gak pernah sedikit aja percaya sama mas."
"Apa memang kamu gak pernah percaya sama perkataan mas yang menyukai jamu? Yang jatuh cinta sama kamu?" lanjut Adiyaksa sambil meletakkan sendok beserta garpu ke atas piring. Bahkan dentingan yang tercipta dari benturan sendok garpu dengan piring pun membuat telinga Cintia merasa sakit. Lebih tepatnya, suara dentingan yang diimbangi dengan amarah Adiyaksa benar-benar membuat Cintia menciut.
Cintia merasa dia sudah seperti plastik berharga murah yang berkerut saat terkena air panas. Benar-benar gila. Tapi kalau mendengar balasan dari Adiyaksa seperti itu, Cintia jadi menyesal sudah mengungkapkan rasa gelisahnya pada Adiyaksa.
"B-bukan gitu mas maksudku!" sanggah Cintia lirih. Wanita itu pun menundukan kepalanya, mencoba menghindari tatapan Adiyaksa yang terus mengarah padanya.
"Mas kembali ke kantor saja sekarang. Kamu pikirkan dulu apa yang terjadi hari ini. Apa bisa kamu percaya sama mas? Jangan tempatkan mas pada posisi yang sulit. Mas memang mencintai kamu, tapi kamu juga harus mulai berpikir mengenai hubungan kita, karena gak bisa kalau kita terus menerus seperti ini." Adiyaksa segera beranjak dari duduknya, melangkah pergi dari hadapan Cintia. Meski dengan hati terpaksa dia meninggalkan Cintia yang sedang tertunduk menyesal.
Sedangkan Cintia sendiri, sudah pasti ingin menangis keras, meraung keras di hadapan Adiyaksa. Sayangnya sangat tidak mungkin Cintia melakukan hal gila seperti itu, karena nama baiknya di hadapan Adiyaksa jelas harus dijaga dengan baik.
Perlahan Cintia mendongakan kepalanya untuk menatap ke sekeliling kafe. Raut muka masam yang terpatri pada wajah Cintia membuat beberapa pekerjanya menatap penuh tanya ke arahnya. Memang tidak se-terus terang itu, tapi Cintia jelas tahu bahwa mereka pasti sangat ingin tahu dengan apa yang terjadi. Terlebih tidak ada lagi perpisahan manis yang biasa Adiyaksa lakukan.
Setelah memasuki ruangannya, Cintia terus memeriksa ponselnya hingga beberapa kali. Mencoba peruntungan, siapa tahu dia menemukan panggilan telepon dari Adiyaksa, atau bahkan panggilan video dimana laki-laki itu meminta maaf padanya. Cintia bahkan secara tidak sadar sedang membohongi dirinya sendiri serta mempersulit hatinya sendiri.
"Dibilang suka … belum sih. Tapi dibilang sayang, juga apalagi, pasti belum! Tapi … kalau terpesona ya memang sudah jelas!"
"Siapa yang tahan sama pesona duda manis itu! Apalagi bentuk badannya bagus, gak terlalu kekar, gak terlalu kurus juga, pas banget lah. Ya meskipun gak bisa diem, bikin ilfeel kadang. Tapi kan … ganteng." gumam Cintia dengan bibir yang ia cebikkan.
Bahkan Cintia hanya memutar-mutar posisi kursinya sejak tadi. Sesekali meneguk air dingin di hadapannya, tapi sedetik kemudian kembali memutar kursi empuk-nya, begitu seterusnya sampai ia tak tahu harus melakukan apalagi. Sedangkan Cintia sebenarnya merasa tersiksa dengan buku keuangan kafe yang belum selesai dia periksa, tapi pikirannya justru terus mengarah pada Adiyaksa.
"Sungguh gila, tapi tidak tahu apa yang gila! Argh!" geram Cintia frustasi. Wanita itu juga menjambak pelan rambutnya, berharap dengan begitu, Adiyaksa bisa menyingkir dari dalam pikirannya.
***
Cintia memilih pulang setelah jam yang melingkar pada pergelangan tangannya menunjukan pukul lima sore. Memang tergolong lebih awal dibanding setiap hari saat dia pulang, tapi Cintia meyakinkan dirinya bahwa kafe akan tetap terkendali meskipun ia pulang lebih dulu.
Pasalnya Cintia benar-benar tidak bisa mengatur pikirannya lagi. Dia terlalu lelah berpikir.
"Kenapa kamu dek?" Cinta terperanjat kaget saat suara sang kakak berada di belakangnya. Hanya tersisa beberapa senti saja lebih tepatnya.
"Gak apa-apa!" ketus Cintia.
Sedangkan Bagas sendiri semakin merasa aneh saat menatap adiknya yang begitu lemah, letih, lesu dan tak bertenaga. Ungkapan yang sangat berlebihan, tapi memang begitu adanya. Meski hanya sekedar menuangkan air ke dalam gelas pun, tenaga Cintia seolah tidak ada. Sungguh menggelikan, pikir Bagas.
"Heh." Bagas menggoyangkan lengan Cintia yang sedang duduk bersandar pada kursi di meja makan.
"Dek! Astaga! Kaya kenapa aja kamu ini lo." Bagas menggoda adiknya sambil terus menatap remeh ke arah Cintia. Bagi Bagas, ekspresi adiknya saat ini adalah ekspresi yang begitu mengenaskan. Mengingatkan Bagas saat adiknya mengalami putus Cinta.
"Kamu patah hati kenapa?!" tanya Bagas keras. Wajah Bagas pun sudah mendekat ke arah Cintia, menatap penuh tuntutan ke arah sang adik. Dia hanya takut saja kalau ternyata sang adik memiliki laki-laki lain selain Adiyaksa.
"Iya! Aku patah hati ini lo mas!" jawab Cintia ketus.
Bagas membulatkan matanya saat melihat mata Cintia sudah memerah karena menahan tangis. "Kamu kenapa? Siapa yang buat kamu kaya gini?!" Raut muka remeh yang sejak tadi Bagas tunjukan, dalam sekejap tergantikan dengan wajah cemas serta tegang. Laki-laki itu takut bahwa memang ada laki-laki lain yang menyakiti adiknya. Karena Bagas tahu dengan benar, seorang Adiyaksa memiliki kemungkinan kecil untuk menyakiti hati adiknya.
"Hey," panggil Bagas. Laki-laki itu pun meraih tangan sang adik untuk dia genggam. Lalu memeluk Cintia dari samping, mencoba menenangkan sang adik yang sudah menangis. Bahkan isakan yang keluar dari bibir Cintia terdengar menyakitkan di telinga Bagas.