Cintia sontak menerbitkan senyum manis bahagia dibibirnya saat menemui ayahnya yang berada di kolam pemancingan. Tidak lupa mengganti alas kaki mahalnya dengan alas kaki yang ibunya belikan di pasar. Anti licin tapi tidak anti hilang. Banyak yang berkata begitu karena nyatanya Cintia sering kehilangan alas kaki yang dibelikan ibunya. Entah apa yang orang-orang incar dari alas kaki yang murah ini dibanding sepatu mahalnya.
"Ayah!" teriak Cintia lalu berjalan cepat ke arah ayahnya.
Mengabaikan tatapan para pengunjung laki-laki yang menatapnya marah, pasalnya fokus mereka terganggu karena teriakan membahana milik putri dari Sanjaya Kristian, pemilik kolam pemancingan yang telah sukses meramaikan hidup bapak-bapak di Yogyakarta.
Sanjaya sontak menutup telinganya saat anak perempuannya itu berteriak. Memang buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Istrinya senang sekali berteriak, jadilah anak perempuan yang dia bayangkan akan menjadi wanita anggun, lemah lembut dan tidak suka berteriak pun hilang sudah. Hanya ada anak perempuan yang dingin tapi suka berteriak seperti istrinya. Sanjaya pun hanya meringis malu pada setiap pengunjung kolam pemancingannya.
"Kenapa? " Sanjaya menatap heran anaknya. Kalau dia tidak salah ingat tadi pagi, anaknya sudah berpamitan untuk pergi ke kafe miliknya. Dan memang terbukti dari pakaian mahal yang dipakai.
"Tia gak mau menikah!"
"Hah?!" Apa ini? Dia tidak sedang mengalami gangguan telinga kan? Atau parahnya dia mengalami gangguan penglihatan?!
Sanjaya sontak berdiri lalu memukul kepala anaknya pelan. Dia hanya memastikan bahwa orang yang berdiri di hadapannya ini memang benar anak perempuannya. Bukan orang lain apalagi penunggu kolam pemancingan ini. Bisa bahaya kalau ada yang menyamar menjadi anaknya lalu mengatakan tidak ingin menikah.
"Aw! Apa sih yah! Sakit tahu," gerutu Cintia dengan tangan mengusap kepalanya.
Ayahnya ini memang suka keterlaluan. Kalau hanya memukul saja Cintia juga tidak akan masalah, tapi ini rambut berkilaunya menjadi korban tangan kotor ayahnya. Cintia sontak bergidik geli saat membayangkan bagaimana tangan ayahnya menggenggam umpan cacing lalu menyentuh rambutnya.
"Heh!" Cintia menatap sengit ayahnya yang sedang menenggerkan kedua tangan di pinggang.
"Cintia gak mau nikah sama sahabatnya mas Bagas!" sungut Cintia dengan tangan dilipat didepan dada seolah menantang ayahnya.
Sanjaya sendiri hanya mengerutkan dahinya bingung. Anaknya ini berpamitan pergi bekerja tapi justru sekarang menemuinya lalu berkata tidak ingin menikah dengan sahabat kakaknya. Sanjaya bukannya sedang berpikir macam-macam, tapi dia hanya berpikir, dia akan dijadikan apa oleh istrinya nanti kalau tiba-tiba anaknya tidak ingin menikah.
"Gak! Kamu menikah saja sana, terserah dengan siapa! Ayah masih sayang nyawa."
"Tahu sendiri kan kamu kalau ibu kamu itu suka KDRT sama ayah, apalagi kalau ayah setuju kamu gak boleh menikah. Habis ayahmu ini! Dasar nakal!" gerutu Sanjaya lalau mendudukan diri didepan alat pancing mahalnya.
"Gawat, gawat!" batin Cintia waspada.
Sekutunya saat ini hanya ayahnya saja, kalau sampai dia tidak berhasil membujuk ayahnya, habislah sudah dia. Adiyaksa pasti akan semakin besar kepala dan akan menikahinya dalam waktu dekat. Apalagi menerima sogokan berupa rumah mewah dan hidup bahagia, pasti ibunya akan menyerahkan dia begitu saja pada laki-laki itu.
"Gak! Gak boleh terjadi!" Cintia menggelengkan kepalanya cepat.
"Ayolah yah...sahabat mas itu duda loh. Memangnya ayah mau, anak ayah yang cantik, seksi, baik hati dan mapan ini nikah sama duda."
"Ya kalau dudanya karena istrinya meninggal sih masih bisa dipikirkan lah yah, tapi ini mereka cerai yah. Bisa ayah bayangkan dong, pasti mereka cerai karena suatu hal yang buruk."
"Gimana kalau mereka cerai karena cowoknya suka main tangan, KDRT, siksa istrinya, punya kelainan, terus si cowok tukang main perempuan, suka selingkuh." Cintia masih terus berusaha memprovokasi ayahnya.
Cintia semakin menatap ayahnya dengan senyum penuh kemenangan. Dia yakin dia akan menang kali ini.
"Adiyaksa! Kamu akan kalah dan kita gak akan menikah!" batin Cintia tertawa bahagia.
Sanjaya sendiri hanya terdiam mendengar sang anak. Benar juga apa yang diucapkan anaknya. Akan lebih bahaya kalau apa yang dikatakan anaknya itu benar. Dia sebagai ayah tentu saja ingin yang terbaik untuk anak perempuannya. Kali ini dia harus berperan sebagai ayah yang baik untuk anak gadisnya ini.
Kepala Sanjaya mengangguk saja, berbagai penolakan keras akan dia utarakan pada sahabat anak laki-lakinya. Dia memang tidak tahu siapa laki-laki yang dimaksud, tapi kalau memang duda karena cerai pastilah ada sesuatu yang buruk.
"Oke! Ayah akan bantu kamu menggagalkan pernikahan kalian! Kamu jangan cemas, ayah akan membela kamu! Kamu gak boleh menikah dengan duda yang seperti itu!" tekan Sanjaya dengan tangan kanan mengusap rambut anaknya.
"I-iya yah, i-iya. M-makasih y-ya yah," jawab Cintia terbata. Lagi-lagi dia merelakan rambutnya yang telah ia cuci bersih di salon kemarin malam berakhir dengan sia-sia. Rambut bersih dan berkilaunya telah bercampur dengan bau cacing serta campuran lain yang menjadi umpan.
"Gak apa-apa, nanti bisa ke salon lagi. Salon dan rambut wangi bisa ditunda, yang gak bisa ditunda adalah menolak rencana pernikahan ini!" tekad Cintia dalam hati.
"Gak pulang kamu? Atau balik ke kafe lagi?" tanya Sanjaya sambil menarik alat pancing mahalnya.
Cintia hanya menggelengkan kepala, meski dia tahu ayahnya tak akan melihatnya karena lebih fokus pada ikan yang baru saja ia masukkan kedalam wadah. Dia tidak memiliki tenaga untuk menemui ibunya jika pulang lebih dulu tanpa ayahnya.
"Nunggu ayah," jawab Cintia saat melihat ayahnya ingin bertanya sekali lagi.
"Ya sudah, ayo pulang. Ikannya juga sudah dapat." Sanjaya beranjak berdiri sambil membawa wadah dan alat pancingnya. Melihat ayahnya yang seperti itu, Cintia hanya bisa mendengus.
"Baiklah. Terima saja ayahmu begitu Tia, yang penting ayah mau belain kamu," lirih Cintia.
Tapi satu hal lagi yang Cintia ingin tahu. Ayahnya itu sudah mendapat berapa ikan hingga bersedia untuk ia ajak pulang. "Dapat berapa yah?"
"Apanya?" Cintia hanya bisa menghela napas sabara menghadapi ayahnya yang suka sekali bersikap tidak peka.
"Ikannya dong, bapak Sanjaya Kristian," jawab Cintia menahan gemas.
"Oh. Satu." Cintia dengan reflek membuka mulutnya sebagai respon. Satu? Setelah berjam-jam memancing ikan dan hanya mendapat satu?
"Ayah yang luar biasa."
***
"Ewhh... Gak Cuma rambut yang harus ke salon, mobil pun juga harus ke salon," keluh Cintia sambil membawa wadah berisi ikan dari dalam mobilnya.
Tapi langkah anak dan ayah itu harus terhenti saat melihat sebuah mobil yang mengangkut mobil mewah di atasnya.
"Punya siapa bu?" tanya Cintia saat tak merasa sedang membeli mobil mewah.
"Punya mas-"
"Buat ibu sama ayah, dari calon mantu." sela ibunya dengan santai.
"Oh calon mantu? Kaya juga ya? Ya sudah ayah gak jadi nolak. Ayah setuju kamu menikah sama dia. Duda juga gak masalah, pasti yang buat masalah mantan istrinya, makanya mereka cerai," ucap sanjaya pada Cintia dengan lirih. Wajah paruh baya itu masih terpukau dengan mewahnya mobil yang ada di hadapannya, mengabaikan Cintia yang kaget hingga membiarkan mulutnya terbuka tanpa sadar.