webnovel

Zona Mimpi

“Hai, manusia.” Andel langsung menyambutnya dengan senyum mengembang.

Soa tak paham dengan apa yang terjadi padanya. Ia merasa hanya sekadar membuka mata seperti orang bangun tidur dan ternyata ia sudah berada di tempat yang sekelilingnya gelap gulita. Hanya Andel dan dirinya yang bisa dilihat, seolah penerangan hanya dikhususkan untuk mereka berdua.

“Di mana kita?” tanya Soa terheran-heran.

Andel menjawab dengan santai. “Zona mimpi.”

“Hah?! Zona mimpi?! Mimpi siapa?!”

“Mimpimu.”

“Mimpiku?! Maksudmu... kau ada di dalam tidurku?! Kau bisa masuk ke dalam mimpiku?!”

“Yea, begitulah.”

“Wah! Kau sangat keren.”

“Aku tidak akan bisa melakukan ini kalau bukan Dia yang mengizinkan terjadi.”

Soa mengangguk-angguk. “Tapi kenapa aku tak melihat apa pun? Harusnya kau ikut melihat hal-hal menarik yang terjadi di dalam tidurku.”

“Bukankah kehadiran kita berdua di sini sudah menjadi hal yang menarik?”

“Oh, iya juga. Hm, baru kali ini, aku bermimpi dan sadar kalau aku sedang bermimpi.” Soa mencoba memahami lebih jauh. “Lalu untuk apa kau menemuiku di sini?”

“Aku ingin mengajakmu menonton.”

Soa mengedarkan pandangannya. “Apa ruang gelap ini akan berubah menjadi bioskop besar?” Andel cuma senyum-senyum mendengar terkaannya. “Aku ingin kau memutar film komedi, saat ini aku butuh banyak tertawa,” lanjut gadis itu meminta.

“Oh ya. Sayangnya kau tidak bisa memesan yang kau inginkan. Aku sudah menyiapkan film istimewa untukmu, dan aku juga tidak tahu apa yang kau lihat ini akan membuatmu tertawa atau malah menangis lagi.”

“Ah, kata-katamu lagi-lagi penuh teka-teki. Sudahlah, kita langsung mulai saja sekarang.”

Lalu kemudian Andel mengulurkan tangannya, membuat Soa merasa bingung dengan apa yang malaikat itu akan lakukan.

“Baiklah, kita akan melihat-lihat sebentar,” ujar Andel kemudian.

Meski diliputi tanda tanya, namun Soa tak ingin menunggu lebih lama. Ia ingin tahu apa yang akan terjadi. Melangkah ia menghampiri Andel, lalu memberi tangan kanannya untuk menyambut uluran tangan malaikat itu.

Andel menerima seraya balas tersenyum hangat, lantas ia usap telapak tangan Soa, dan sekejap hal yang di luar nalar pun terjadi.

Bagai api besar yang keluar dari lilin beku. Cahaya putih memancar dari tangan Soa setinggi dahinya. Gadis itu terkejut hingga tak sadar mengangga. Bertambah terkesima karena garis-garis di tangannya bangkit, berubah menjadi kilatan-kilatan kecil menyatu membentuk garis lintang di dalam cahaya.

Soa terus melongo, begitu takjub karena kilat dari garis tangannya memproyeksikan sesuatu yang bisa ia saksikan.

Ialah masa lalunya, yang bermain dengan jelas menunjukkan saat di mana ia pernah tertawa dan juga menangis.

“Astaga! Apa ini bola duniaku?” seru Soa bersemangat. Andel hanya tersenyum mendengarnya. “Hah?! Bayi itu? Apakah itu aku?”

“Ya, itu dirimu.”

“Astaga, ternyata sejak kecil aku sudah menggemaskan.”

Andel geleng-geleng kepala mendengarnya. “Bahkan aku rasa sejak kecil kau sudah penuh percaya diri.”

“Yeah, menurutku juga begitu–oh, lihatlah! Itu, ekspresi Gensi! Dia terlihat sangat menyukaiku di sini.”

“Dia menyayangimu.”

“Ya. Ketika aku masih bayi.”

Soa terus saja menggebu-gebu. Bergantian seperti sebuah iklan di layar televisi masa lalunya satu-persatu ditayangkan.

Andel pun turut merasakan antusiasnya.

“Ya ampun, bahkan aku bisa melihat saat di mana aku mendapat cincin dari Max sewaktu kami masih TK.” Soa terpingkal-pingkal. “Sekarang kulihat ini sangat lucu, tapi waktu itu bagiku sangat menyebalkan.

“Lho! Andel, kenapa dari kepalaku keluar sebuah gambaran tentang diriku juga? Apa! Aku meninju Max?”

“Itu adalah apa yang kau pikirkan saat itu.”

“Astaga!” Soa lagi-lagi tertawa. “Untunglah aku tidak betul-betul melakukannya.”

Andel mengangguk. “Kalau itu terjadi, kau harus menebusnya.”

“Ya ... ya ... ya. Baiklah tukang hitung, aku mengerti,” pungkas Soa. “Ya ampun! itu kan, ulang tahunku yang ke enam. Ibu memberiku gaun seperti seorang putri. Lihatlah apa yang kupikirkan di sana, aku ingin membuangnya karena itu merepotkan,” ceritanya masih bersemangat.

“Aku rasa hidupmu dipenuhi kegembiraan,” sahut Andel.

Belum sempat ia mengimbangi sahutan Andel, tiba-tiba wajahnya berubah murung mengingat kenangan bersamma ayahnya.

“Lihatlah Andel, ini sewaktu aku ingin membongkar celenganku untuk membeli boneka, padahal Ayah sudah melarang karena uang itu akan digunakan untuk membayar biaya melanjutkan sekolahku. Tetapi diam-diam aku tetap memecahkannya, walau kutahu Ayah sudah bersusah payah mengisinya untukku sedikit demi sedikit. Ibu marah besar, tapi Ayah justru tidak tega dan berbalik membelaku.

“Oh dan ini, saat aku merusak lukisan buatan Gensi, dia sangat marah! Lalu Ayah berusaha memberiku pengertian dan berharap aku akan bilang maaf, namun aku tetap tak ingin disalahkan. Akhirnya Gensi harus berlapang dada karena tak ada kata maaf apa lagi tanggung jawab dariku. Ayah mendahulukanku, dan meminta Gensi untuk mengalah saja.”

Soa menghela nafasnya dalam-dalam.

“Dan masih banyak lagi. Sejak kecil Ayah tidak pernah memarahiku, bahkan selalu mendukungku.”

“Ya. Dia selalu membelamu meski kau tidak selalu benar.”

Soa langsung melirik ke arah Andel. Berpikir sejenak, merasa ucapan itu adalah sebuah sindiran karena berhasil menusuk perasaannya.

Hingga kemudian Soa pun akhirnya mau mengakui. “Kau benar. Dulu aku selalu mendapat pembelaan darinya meski aku salah. Aku juga lebih sering membangkang dari pada menuruti, tetapi pada akhirnya ia tetap mendukungku.”

Andel ingin rekaman itu berhenti. Kilat itu kembali menjadi goresan-goresan di atas tangan dan cahaya putih pun kembali meredup seperti api lilin yang tertiup angin.

“Dan sekarang kau masih membangkang baginya, dan ia sudah tak lagi berpihak kepadamu dalam hal ini,” ucap Andel seraya melepas tangan Soa.

Soa mengangguk lesu. “Ya. Itu menyakitkan buatku. Aku merasa, ini adalah saat di mana Ayah menuntutku membayar semua tindakan manja yang telah kulakukan. Dari mulai mengurus restoran bersama Gensi, hingga harus mendukung keinginannya mengambil jalan pintas memperoleh kekayaan.”

“Kau pasti sangat kecewa.”

“Tentu. Selama ini aku terbiasa melihatnya sebagai sosok ayah yang sempurna. Hingga aku lupa, kesempurnaan yang kulihat bukanlah hal yang mutlak.”

Andel tahu betul, apa yang sedang dirasakan Soa. Duka sedang membelenggunya, bahkan kebencian pun telah menjadi bibit yang memiliki kesempatan tumbuh subur di lahan hati Soa. Andel tidak ingin hal itu terjadi, ia tidak mau Soa kalah oleh kebenciannya.

“Jangan kau balas membencinya, ayahmu sedang terluka,” nasehat Andel.

Soa terheran-heran, sama sekali tak menyadari rasa terselubung di hatinya sendiri. “Terluka? Bahkan dia yang melukai anak-anaknya, Andel. Ayahku sudah berubah!”

Andel tersenyum simpul. “Kepadamu ia berbagi luka, karena ia tak sanggup menanggung luka miliknya yang begitu besar.”

“Maksudmu?”

“Putus asa dan keserakahan adalah luka yang membuatnya mengambil jalan pintas dengan menjual jiwanya. Ia tak bisa melihat robekan di dalam hatinya sendiri, karena kasih sayang yang menjadi sinar sekaligus penyembuh telah ia tutup.

“Kini ia menjadi orang yang paling mengenaskan, penuh ambisi terhadap dunia ini hingga mengorbankan orang yang dicintainya. Membencinya menandakan kau memiliki luka yang sama dengannya, itu berarti kau juga turut menyakiti dirimu sendiri, bahkan berpeluang menyakiti orang lain.

“Jangan tutup sinar itu juga di hatimu, Soa. Meski itu sulit. Bila menuruti amarah dan kebencianmu, bisa saja kau melakukan hal yang sama persis dengannya.”

Soa mengatup mulutnya. Dalam hati gadis itu merasa sendu, dan batu besar bernama amarah dan benci masih sulit ia hancurkan meski Andel dengan kelembutan telah mengingatkannya

“Aku rasa sudah cukup,” pungkas Andel mematahkan lamunan Soa. “Ken sudah tak sabar membangunkanmu.”

“Apa lagi sih maksudmu?” tanpa ada kata untuk membalas. Andel menghilang begitu saja dari pandangan Soa. Pun menyusul cahaya kecil yang menjadi penerang di antara mereka ikut lenyap. “Hei, jangan pergi!”