webnovel

Tokoh Antagonis

Soa mulai merasakan bagian demi bagian tubuhnya lagi, terutama ketika ada sesuatu yang menarik-narik kakinya. “Soa bangun!” suara panggilan itu terdengar tak asing. Perlahan Soa membuka matanya, lalu baru tersadar bahwa ia telah kembali ke atas tempat tidur. Ia lihat Ken telah berdiri dengan wajah masam. Bocah itu bertolak pinggang, mengomel seperti orang dewasa di dekatnya. “Harusnya kau tidak tidur menggunakan sepatu!”

Soa melirik ke kakinya, bahkan tas di leher tak lepas dari pandangan samarnya. Kini ia ingat, tadi malam pilu telah merundung hingga ia tak memiliki keinginan untuk bersih-bersih diri. “Oh, terima kasih, Ken. Kau sudah melepaskan sepatuku.”

“Gensi bilang, jika orang dewasa sampai lupa membuka sepatu saat mereka pergi tidur, itu tandanya mereka sedang memiliki masalah. Apa kau sedang ada masalah, Soa?”

Tampak jelas kecemasan di wajah Ken yang Soa tangkap. “Hah? Teori macam apa itu,” ujar Soa mencoba menyamarkan kekhawatiran Ken. Ia tidak mau Ken yang masih sangat dini terbebani lagi oleh persoalan di keluarga mereka. “Aku tidak termasuk salah satu dari mereka. Aku tidak membuka sepatu karena aku terlalu lelah dan mengantuk.”

“Benarkah? Kau tidak bohong?”

“Aih, untuk apa aku berbohong hanya karna tidak mencopot sepatu?”

Bola mata Ken berputar, lantas ia mengangguk-angguk mencoba mempercayai ucapan kakaknya. “Hem ... baiklah.”

Di tengah percakapan mereka tiba-tiba saja Gensi muncul dan memasuki kamar Soa. “Ken. Ibu memanggilmu,” ucapnya begitu saja.

Ken langsung menurut dan pergi menemui ibunya. Tinggallah Gensi dan Soa berdua di dalam kamar. Meski kedua mata Soa masih diganjal oleh sisa kantuk. Akan tetapi gadis itu sudah bisa menebak ada hal yang ingin dikatakan kakaknya walau ia tak bisa menerka hal apa yang akan dimaksudkan.

Soa lalu bangun dari rebahnya. Disusul Gensi yang ikutan duduk di tepi tempat tidur.

Begitu cueknya Soa menguap lebar di depan wanita itu. Gensi yang merasa terganggu karena bau mulut Soa mencemari oksigen yang ia hirup, langsung buru-buru menutup hidung. “Ya ampun! Apa tadi malam kau tidak gosok gigi!” keluhnya kesal.

Tanpa ada reaksi berarti, Soa hanya menggeleng sambil menyengir santai.

Tak dapat menahan diri, Gensi memperhatikan Soa penuh teliti. Tas selempangnya belum lepas dari bahu, kaos kaki masih menempel di kaki, baju bepergian terlihat tak diganti, dan sepasang sepatu yang tergeletak begitu saja di atas lantai. “Dasar jorok!” ketus Gensi.

Soa tak semangat membalas, ia hanya diam membuang muka dan lagi-lagi bersikap cuek.

Gensi masih belum ingin lepas dari menyorot adik tirinya itu. Namun sorotan kali ini terkesan berbeda. Ada rasa tak tega yang tanpa ia inginkan menyusup ke dalam hati. Sebetulnya itu bukan kali pertama, rasa itu sudah ada setelah ia tahu apa yang terjadi antara Soa dengan ayah mereka. “Apa... kau sungguh-sungguh akan melakukan itu?” tanyanya meragu namun tak mampu untuk berpura-pura tak tahu. Kerut cemas di dahi Gensi muncul, tegas terlihat mencolok mata.

Pada awalnya Soa sama sekali tak paham apa maksud dari pertanyaan Gensi. Sejenak ia berpikir mencari tahu ke arah mana ia diajak bicara. Hingga akhirnya Soa bisa menangkap dengan cepat, dan senyum sinis pun tersungging menemani balasan. “Kalian menguping dengan sangat hebat,” tembak Soa.

Gensi mendengus tak peduli. Meski ia tahu telah tertangkap basah, tapi bukan berarti ia mundur tak balik menyerang. Ia silangkan tangannya dengan angkuh, seolah sedang bersiap memasang kuda-kuda. Lalu tanpa ragu ia berkata, “kalau aku tidak menguping. Kau sudah kena dipukul Ayah,” ucapnya tak mau kalah. Lupa bahwa semula ia sempat mengkhawatirkan adiknya.

“Haruskah aku berterima kasih?”

“Terserah.”

“Bagiku tak masalah jika aku sampai dipukul Ayah.”

“Sudah kuduga. Aku memang terlalu baik dan kau bukan orang yang tahu berterima kasih.”

“Kau pasti sudah kapok membantuku.”

“Sepertinya begitu.”

“Lalu untuk apa kau bertanya tentang kesungguhanku? Apa kau berencana membantuku lagi?”

“Kau salah mengira. Aku hanya ingin memastikan keberanianmu.”

“Selamat! Kau menemukan adik pemberani. Tentu kau akan semakin kaya setelah adikmu menjadi tumbal.”

“Betulkah? Terima kasih atas pengorbananmu yang tidak pernah aku minta.”

“Kau memang tidak pernah meminta. Tetapi kau akan memanfaatkan kesempatan yang ada.”

“Tepat!” Gensi langsung bangkit berdiri setelah ucapan terakhirnya. Ia memang menjawab dengan santai, akan tetapi bukan berarti hatinya tidak panas oleh timpalan Soa yang tak ada merendahnya.

“Jangan lupa pamerkan pada tetanggamu setelah kau berhasil menjadi miliarder,” serang Soa lagi.

“Oh! Terima kasih sudah mengingatkan.” Gensi lantas beranjak pergi dari kamar Soa, enggan untuk melanjutkan percakapan itu lagi. Hingga ia sampai diambang pintu, ia sempat menoleh kembali lalu berkata, “mulai hari ini kau bisa ke restoran sesuka hatimu. Anggap saja itu tanda terima kasihku. Karena aku orang yang sangat tahu bagaimana caranya berterima kasih.” Dan Gensi pun berlalu tanpa menunggu balasan adiknya.

Dibalik kepergian Gensi, Soa termenung memasuki pikirannya sendiri. Ada satu hal yang menggelitik keingintahuannya dari sikap sang kakak yang tampak berbeda belakangan ini. Dari mulai melindungi saat sang ayah kalap dan akan memukulnya, meminta sahabat-sahabatnya untuk menemani kesendiriannya, bertanya tentang keyakinannya menggantikan perjanjian itu, lalu memberinya keringanan dalam mengurus restoran.

Perlahan namun pasti. Senyum kecil itu pun sesaat kemudian menyusul melingkar di bibir Soa. Pemahaman itu pada akhirnya ia temukan sendiri. “Kau tokoh antagonis yang tak berpendirian, Gensi. Kau orang yang lemah untuk menjadi jahat,” simpulnya berkata seorang diri.

Mendadak perenungan Soa terhenti. Telepon genggamnya berdering kuat, lalu buru-buru ia mengeluarkan handphone itu dari dalam tasnya. Ada nama Hanna yang ia tangkap dari layar. “Halo Hanna”

“Bagaimana kabarmu?”

“Ya, aku baik-baik saja. Maaf tadi malam aku tidak menghubungimu ataupun Dori.”

“Tak masalah Soa, Zoe sudah menjelaskannya pada kami. Apa hari ini kau akan pergi ke restoran?”

“Aku rasa tidak. Gensi memberiku keringanan mengurus restoran. Jadi aku bisa datang kapan pun aku mau.”

“Wah itu bagus. Cuaca mulai hangat. Bagaimana kalau kita bertemu di luar?”

“Hari ini? Hm ... maaf Hanna. Tapi saat ini aku sedang ingin sendiri.”

“Baiklah tak masalah. Bagaimana kalau kita bertemu besok? Besok adalah hari Festival Sungai Arandra.” Hanya dalam sekejap ucapan Hanna mengingatkan Soa pada teman hantunya. Terdorong hatinya ingin bertemu dengan Arandra kembali. “Halo Soa? Apa kau masih mendengarku?”

“Oh, ya Hanna. Aku masih di sini. Festival Sungai Arandra katamu?”

“Ya. Festival Sungai Arandra. Kau tahu, Zoe akan menjadi pembawa acara di panggung musiknya.”

“Waw, dia terdengar keren. Baiklah, besok siang kita bertemu di sana.”

“Oke, biar aku yang mengabari Dori dan Zoe.”