"Kami pulang ya? Nggak usah dianterin. Aku naik angkot."
"Kamu saja yang pulang, Ica tetap di sini."
Nayna berdecak, "Ibu pasti nyariin."
Arkan bergeming.
"Mas!"
"Diam Nay."
"Aku mau pulang!!"
"Pulang saja."
"Mas!!!"
Cup.
Arkan tersenyum melihat wajah bersemu Nayna.
"Ishhh!!" Nayna mengusap bibirnya dengan lengan. Lantas, ia meninggalkan Arkan. Tidak baik terlalu dekat dengan pria itu. Terutama jantungnya.
"Ingat nggak Nay?." tiba-tiba Arkan sudah duduk di sampingnya. Membuat Nayna bergeser menjauh.
"Saat kita kenalan dulu?."
Nayna tidak menjawab, ia menyoroti pria yang duduk dengan jarak setengah meter dan Ica di tengah mereka.
"Kamu memanggilku Mas ganteng." Arkan terkekeh, ketika mengenang saat itu.
Flash back.
"Mas ganteng, kenalan dong!." seorang gadis dengan rambut panjangnya, menyenggol lengan Arkan.
Arkan terkesima, cewek berparas cantik dengan tinggi hanya sebatas dadanya, mengulurkan tangannya.
"Nayna."
Arkan menyambut tangan tersebut. "Arkan."
"Mas praktek di lahan pak Tomo?."
Arkan tersenyum, ketika pertanyaan Nayna diterjemahkan dalam artian logis. Praktek di lahan pak Tomo, seolah ia sedang mengolah lahan untuk bercocok tanam.
"Saya sedang uji kasus, bukan praktek."
Mulut Nayna berbentuk huruf O. Ia sendiri tidak tahu uji kasus yang dimaksud pria yang sudah satu bulan itu menetap di kota Bantul.
Selain seorang pelajar yang baru naik kelas 3 SMA, Nayna tidak punya kegiatan lain. Sepulang sekolah, gadis 17 tahun itu sering duduk di alun-alun kota Bantul.
Teman-temannya rata-rata jomblo, sama sepertinya. Ketika keluar dari kelas saat jam pelajaran habis, mereka akan mencari tempat tongkrongan yang asyik. Dan kebetulan sudah satu bulan ini ia melihat pria dewasa sedikit datar dan cuek.
Tapi, dia tampan. Mirip seseorang di masa lalunya. Marlio Hartawan. Pria dewasa, yang menjanjikan manis namun tak kunjung kembali.
Nayna, suka pria dewasa.
Bukan tanpa sebab, semua itu karena masa lalunya.
Hubungan mereka terus berlanjut hingga Arkan mengajaknya pacaran setelah satu bulan saling mengenal.
"Ini tidak terlalu cepat kan Nay?." tanya Arkan ketika dua hari status mereka sudah berubah.
Nayna tersenyum memikat hati sang pujangga.
"Nggak Mas, kita pacaran bukan karena apa. Mas bantuin aku lupakan masa lalu dan aku bantu Mas ngisi kekosongan. Deal, kan?"
Arkan mengerjap, ini tidak adil. Tentu untuk Nayna.
"Tapi kamu cewek Nay!"
"Kenapa kalau aku cewek? Mas nggak bakalan grepe-grepe aku, kan?"
Arkan tergagap dengan wajah memerah. Umurnya sudah dewasa, apa bisa ia hanya melihat wanita itu setiap kali mereka bertemu?.
"Bahasamu Nay!." Arkan mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Semoga ia tidak khilaf.
Senyum Nayna merekah. "Kita jalanin aja. Kalau perlu nggak usah ketemu di luar. Kita pacaran di rumah saja. Ada bapak juga ibu."
Arkan setuju, paling kalau lagi kepengen bakso ia akan mengajak wanita itu keluar.
"Oke, jadi ini mau ke rumah?."
"Yap."
Dua sejoli yang merakit hubungan berazaskan timbal balik, tidak memikirkan kelanjutan hati salah satu dari keduanya.
Cukup, jalani saja.
Begitu pemikiran keduanya.
Dua bulan hubungan keduanya baik- baik saja. Mereka terlihat seperti berteman, bukan pasangan. Terlebih Nayna, gadis itu menceritakan bagaimana hubungannya dengan Lio, pacar yang meninggalkannya hanya dengan sebuah ucapan. "Tunggu aku, aku akan kembali."
Lima tahun, apakah itu waktu yang singkat?
Apa kabar pria yang tidak diketahui keberadaannya itu? Masih hidupkah? Atau sedang bahagia dengan keluarga kecilnya?
"Sudah dua bulan, Nay. Masih belum bisa?."
Nayna menatap sang pacar, di bawah sinar rembulan di bawah pohon rambutan depan rumahnya.
Arkan meraih tangan wanita itu, hanya ] wilayah itu yang diizinkan Nayna.
"Hampir Mas," sahut Nayna.
Arkan mendesah, ditatapnya kedua bola mata Nayna. "Saat aku tanya, jawabannya selalu hampir Nay. Persennya saja, kamu tidak tahu!."
Nayna mengusap tangan kekasihnya. Kepalanya tertunduk. Memperhatikan tangan calon pengacara asal Jambi. "Kalau Mas selalu di samping aku, prosesnya lebih cepat."
Arkan mengeratkan remasan tangannya. "Kalau begitu, menikahlah denganku. Aku janji buat kamu bahagia."
Nayna terkejut, namun tidak berkomentar apapun. Karena, ada sesuatu yang lembut yang menyentuh bibirnya dan memagut dengan penuh tuntutan.
"Dua bulan, aku bertahan Nay." Arkan mengusap bibir wanita tersebut. Matanya menatap lekat. "Sekarang, aku mau kamu. Menikahlah denganku."
Jiwa remaja yang sedang merangkak dewasa itu bereuforia dengan hebatnya. Bahagia, haru, dan bingung menyatu dalam gelombang pikirnya.
"Nay!!"
Nayna menunduk, ia tidak tahu harus menjawab apa. Rasa nano-nano tak terkendalikan menyerap habis logikanya.
"Kamu menolak ku?." tanya Arkan, lelaki itu sudah melepaskan tautan tangan mereka, dan hendak bangun. "Baiklah."
posisi Arkan sudah berdiri dan membelakangi Nayna. "Maaf dan---"
"Aku mau!!"
Kalimat Arkan terputus mendegar ucapan Nayna. Namun lelaki itu tidak berbalik, masih membelakangi Nayna. Hingga wanita itu memeluknya dari arah belakang.
"Janji, jangan tinggalkan aku. Janji, buat aku bahagia. Dan, melupakannya selamanya." Nayna terisak, keputusannya bukan tak berdasar.
Dua bulan yang ia jalani bersama Arkan cukup berkesan. Arkan yang sabar dan dewasa menyikapinya. Tidak pernah marah ketika ia menceritakan Lio, pacar pertamanya. Dan, terlebih ia nyaman dengan lelaki itu.
Pernikahan diadakan sangat sederhana tanpa lamaran resmi dan juga pesta. Alasan yang klise, Nayna belum lulus dan Arkan sedang menjalani sidang kasus pertamanya.
Arkan berjanji, ia akan membawa orang tuanya begitu sidangnya selesai. Dan membuat pesta meriah setelah kelulusan Nayna.
Namun, harapan tinggallah harapan. Nayna hamil ketika ia akan mengikuti ujian akhir. Perut yang belum membesar itu, membantunya sedikit. Ia berhasil menyelesaikan ujian nasional dan mendapatkan ijazah.
Hubungannya dengan Arkan, pun tidak berjalan mulus. Arkan sering mendiamkannya karena kerap kali Nayna mengigau nama pria masa lalunya.
Keadaan tersebut terus berlanjut, Nayna harus LDRan dengan Arkan karena pria itu harus mengikuti masa orientasi di Jakarta.
Cukup berat, menjalani masa kehamilan tanpa suami. Nayna merasa bersalah, namun Arkan tidak bisa lagi mentolerir.
Orang tua Nayna, kerap mengajak putrinya ke Jakarta tempat orientasi Arkan. Namun, Nayna menolak dengan alasan, Arkan tidak menetap karena pria itu masih berstatus asisten.
Hingga tepatnya hari jumat, akhir tahun 2017. Seorang bayi perempuan lahir.
Bayi Arkan dan Nayna.
Sayang, Nayna dan Arkan loss kontak. Mereka tidak bisa saling menghubungi sekedar menanya kabar masing-masing.
Hingga Nayna, menerima ajakan sahabatnya ke Jambi. Ketika itu usia Faradhilla Afdholunisa atau Ica, putrinya masuk empat bulan. Nayna nekat meninggalkan putrinya pada orang tuanya.
Bukan tanpa alasan, ia mencari Arkan. Pria yang masih berstatus suaminya.Walau kecil kemungkinan, namun sejak memiliki Ica semangat seorang ibu muncul begitu saja.
Takdir sudah menggariskan nasib seorang hamba. Setelah sahabatnya menikah dan harus mengikut suaminya ke Bali, Nayna mengontrak di salah satu rumah milik kepala Desa Sungai Buluh. Karena pembawaannya yang ramah, ia cepat akrab dengan beberapa ibu di Desa tersebut, termasuk bu Wati.
Hingga ia membawa Ica, bu Wati lah orang pertama yang menyambut hangat kehadiran putrinya sementara banyak ibu-ibu yang lain nyinyir dengan statusnya yang seorang janda.
Satu minggu kehadiran Ica, ia bertemu kembali dengan Arkan. Yang tak lain adalah putra semata wayang bu Wati.
Sempitkah dunia ini?
Bukankah seharusnya, ia bahagia? Karena sudah menemukan ayah putrinya?
Kenyataannya tidak.
Ada satu fakta yang menghantam harapannya.
Lelaki yang masih berstatus suaminya, sudah memiliki wanita lain. Dan beberapa bulan kedepan akan bertunangan.
Wanita itu cantik, seorang dokter.
"Kamu mencari ku? Aku akan bertunangan." ucapan pertama Arkan setelah hampir dua tahun tidak bertemu.
"Maaf. Aku tidak akan merepotkan Mas." jawaban karena harga dirinya tidak seagung ketika pria itu melamarnya.
"Dia anakku, dan tidak akan kurang satu apapun.
Nyatanya, Ica, putri mereka harus kehilangan kasih sayang ayahnya.
Hati Nayna teriris, ketika pertama kali Arkan menggendong putrinya dan menyebutkan dirinya sebagai 'Om'.
Obrolan keduanya biasa saja, mereka tidak terlibat hubungan lebih. Sekedar kenal karena bu Wati yang begitu sayang pada Ica.
Flash back off.
***