webnovel

Bagian 7

Setibanya dirumah, Ratih telah disambut dengan kedatangan anak sulungnya beserta menantu dan cucu yang lagi gemas-gemasnya itu. Mereka sedang duduk di meja makan yang sudah tertata rapi dengan sate ayam. Ratih begitu gembira saat Hani, cucunya itu di gendong oleh suaminya. Balita yang sedang menjadi pusat perhatian di seluruh keluarga ini juga langsung di serbu oleh Odelia dengan ciuman gemasnya.

"Selalu deh kalau datang kesini nggak pernah bilang-bilang dulu" ujar Ratih yang kini telah menggendong cucu pertamanya itu.

"Kalau kita kesini pakai bilang-bilang nanti Ibu jadi nggak sabaran, mending di buat kejutan kayak gini hehehe" jawab Carla si anak sulung Ratih.

"Ini kalian bawa apa kok repot-repot banget?" Ratih kembali melanjutkan omongannya sambil melihat ke arah meja.

"Ini cuma sate ayam aja, bu. Mas Adit kepingin makan bersama disini."

"Iya, Bu. Saya jadi merasa bersalah karena jarang kesini, jadi sekalian saja kita makan malam bersama." Adit suami Carla ikutan menjawab.

"Kebetulan juga kak, adek laper banget di jalan tadi macet parah" Odelia yang sudah duduk di sebelah bapaknya langsung menggulung lengan kemejanya dan mulai menyendok nasi yang ada di hadapannya.

"Cuci tangan dulu, dek" perintah dari Carla yang melihat adiknya langsung menyendok nasi.

"Aku makan pakai sendok. Aku sudah lapar banget, kak" Odelia tetap tidak mendengarkan Carla dan kini mulai mengambil beberapa tusuk sate.

Melihat Odelia yang memulai duluan untuk makan, mereka semua akhirnya menyusul Odelia untuk sekalian makan. Ratih langsung meletakan cucunya di kursi bayi yang sudah Carla siapkan di sebelahnya, lalu Ratih duduk di sebelah kiri suaminya.

Makan malam saat itu benar-benar tak terencana dan saat itu suami Ratih langsung menyeletuk jika ia merindukan anak keduanya yang sedang hamil. Kakak kedua Odelia yang bernama Tamara, semenjak hamil jarang datang ke rumah dan biasanya memang Ratih yang kesana.

"Eh.. Bu, gimana tadi ketemuan sama temennya?" tanya Herman beberapa saat setelah keheningan di meja makan.

"Seru.. Dia makin cantik, Pak."

"Teman Ibu yang mana?" Carla juga ikutan bertanya

"Teman sekolah Ibu kalian kayaknya nggak pernah tahu. Pas nikahnya kamu sama Tamara dia nggak datang karena masih di Eropa."

Carla hanya berdehem karena di mulutnya masih penuh dengan nasi serta daging ayam. "Terus kok pulang sama adek?"

"Tadi kan Pak Wardi di pakai sama Bapak, jadi Ibu bareng sama adek aja."

"Ohh.. Dan kayaknya tumben juga, ya, adek pulang cepet"

"Mau lanjut kerja dirumah dengan suasana yang beda, suntuk banget kerja di ruangan" jawab Odelia langsung tanpa menunggu lama.

"Hmm.. mau sampai kapan, dek?"

"Mau sampai kapan apanya?"

"Ya, kamu kayak gitu sampai kapan. Aku sama Tamara udah punya anak, masa kamu nggak pengen kasih Ibu cucu" Carla sedikit menyinggung Odelia

"Yaudah, Ibu sama Bapak kan sudah ada cucu dari kamu sama Kak Tamara. Kenapa harus minta lagi dari aku? Lagian, ya, kerja itu lebih enak dan aku juga belum mantap buat berumah tangga"

"Tapi, dek. Nggak baik kalau perempuan nggak buru nikah nanti aura nya itu udah nggak bisa nampak lagi" Carla tetap memaksa Odelia

"Aura apaan? Emang aku nyai apa siluman gitu? Kak, semakin aku mencari itu pasti bakal susah ketemunya biarin aja nanti juga bakal datang-datang sendiri."

Mendengar hal itu Ratih hanya menghela nafas panjang sambil terus melahap makanannya itu. Memang tidak bisa dibiarkan Odelia begitu santainya dengan kehidupannya yang sekarang. Ia harus segera merencanakan pertemuan dengan anaknya Vivi.

Makan malam itu pun berlangsung tidak lama. Setelah semua merasa kenyang mereka berkumpul di ruang keluarga sambil melakukan panggilan video bersama Tamara. Anak kedua Ratih itu merengek karena nggak bisa ikutan kumpul, malah ia ingin besok berkumpul lagi sekaligus ia mau membawakan masakan hasil buatannya sendiri. Selama hamil, Tamara memang berusaha untuk tetap produktif.

Karena sudah begitu malam, Carla dengan keluarga kecilnya memutuskan untuk pulang karena besok Adit masih harus bekerja lagi. Ratih, Odelia dan Herman melepas Hani dengan sedikit kesedihan karena mereka masih ingin berlama-lama dengan balita yang menggemaskan itu. Dan kini rumah kembali sepi, Odelia langsung segera kembali ke kamarnya begitu juga dengan Ratih dan Herman.

Masalah pembicaraan di meja makan tadi, Odelia sedikit keheranan karena Ratih tidak ikutan berkomentar sedikitpun. Ia berpikir sambil duduk di depan meja riasnya, buat Odelia itu aneh banget biasanya ngomel nggak ada ujungnya, tapi tadi malah diam seribu bahasa. Odelia kemudian berlalu dan tak begitu memikirkan sikapnya Ratih. Ia lebih memikirkan bagaimana pekerjaan selesai dalam semalam saja karena besok harus presentasi dengan beberapa client.

***

Deru suara dari salah satu pengguna motor membuat halaman kantor yang tak begitu besar itu terasa bising sekali. Motor yang baru dua hari datang ke kantor itu langsung memarkirkan dengan benar di depan pintu masuk kantor. Disana adalah parkiran khusus orang-orang yang punya jabatan tinggi di kantor itu.

Setelah memarkirkan dengan benar, pemilik motor itu melepaskan helmnya dan membuat beberapa karyawan yang baru datang langsung terpana padanya. Pemilik motor itu sedikit tebar pesona dan makin di buat-buat ketika ia merasa di perhatikan oleh karyawannya.

Karyawannya?

Benar, dia adalah Ardino yang kini telah sukses menjadi anak bos pendiri bengkel otomotif. Setelah lulus kuliah, Ardino mulai bantu-bantu ayah tirinya yang merintis bisnis saat mereka masih di Eropa. Bisnis yang ada di Indonesia ini sementara diserahkan kepada adik ayah tirinya dan ketika keluarga Ardino pulang sudah saatnya mereka yang melanjutkan.

Pagi itu hari kedua satpam kantor memberi salam yang hangat untuk Ardino, satpam itu sedikit membungkukkan badan dan mengucapkan selamat pagi kepada Ardino. Buat lelaki yang baru saja datang ke kantornya itu sedikit merasa aneh, pasalnya selama di Eropa ia dan ayah tirinya hanya bekerja melalui gadget dan melakukan meeting bersama pamannya melalui daring.

Masalah yang pernah dulu ada hilang dan sirna karena ia mendapatkan amanah dari ayah kandungnya. Ayah kandung Ardino telah dipanggil yang maha kuasa beberapa tahun yang lalu sebelum Ardino memutuskan untuk tinggal beberapa saat di Eropa. Amanah yang kini telah ia jalankan adalah ia harus membuat orang tuanya bahagia dan menerima keadaan adalah kunci kebahagiaan hidupnya. Ayah kandung Ardino tidak ingin anak laki-lakinya menjadi beban orang tua, beliau ingin ia menjadi anak laki-laki yang penuh tanggung jawab dan menjadi lelaki yang mampu membahagiakan setiap orang.

Memang terkadang menerima itu tak semudah apa yang orang katakan. Menerima di mulut itu memang akan jauh berbeda jika ia benar-benar menerima dari hatinya yang paling dalam. Dan setelah semua akhirnya menerima itu di pahami betul-betul, kebahagiaan yang nggak akan pernah terduga akan dirasakan dengan yang tak terduga juga.

Kini hubungan Ardino dengan ayah tirinya begitu sangat baik, ayah tiri Ardino begitu sabar dan benar-benar mengajarkan Ardino untuk menjadi lelaki yang benar-benar tanggung jawab. Seperti sekarang ini, Ardino sudah ditugaskan oleh Ayahnya untuk datang terlebih dahulu ke kantor untuk belajar bagaimana bekerja dan bagaimana caranya memimpin.

Setelah tadi ia diberi salam hangat oleh satpam kantor, kini ia diberi salam dengan karyawan yang bertugas di bagian depan. Salam hangat itu malah membuat karyawannya salah tingkah sendiri. Ardino hanya menggelengkan kepala saat mengetahui hal itu. Ia tahu kalau ketampanannya itu membuat karyawannya tersipu dan ia juga harus berterima kasih kepada pamannya yang sudah merekrut karyawan yang berpenampilan profesional.

Untuk berjalan menuju ruangannya tidak memerlukan langkah yang panjang dan kini sekarang Ardino telah tiba di ruangannya yang bersih dan dingin. Kantor yang berdiri belum setahun ini selalu di jaga dan di rawat oleh cleaning service disini. Paman Ardino selalu menekankan kebersihan dan kenyamanan karena ia begitu merasakan sendiri ketika bekerja di area yang kotor.

Di sudut ruangan itu telah disiapkan semacam gantungan untuk menggantungkan jaketnya dan ia mulai membiasakan setelah tiba di ruangan ia langsung meletakkan jaketnya disana. Di hari kedua Ardino bekerja di sana ia masih harus disibukkan dengan rapat bersama karyawan yang punya jabatannya masing-masing. Sebelum rapat itu dilaksanakan ia harus menyiapkan beberapa catatan yang sudah disiapkan semalam dan yang sudah ia diskusikan bersama Ayahnya. Rencananya kantor itu tak hanya di buat kantor bengkel otomotif, Ardino punya rencana untuk memiliki anak perusahaan yang masih berhubungan dengan otomotif.

Ketika Ardino sibuk dengan laptop dan catatan yang ada di dalamnya, ia dikejutkan dengan ketukan pintu yang cukup terdengar keras. Ardino hampir terjungkal karena saking kencangnya ketukan itu, oh tidak mungkin ia terlalu fokus dengan catatan yang ada di laptopnya.

"Hehehe permisi, pak, saya ganggu nggak?" dia adalah office boy di kantor itu namanya Dadang. Tanpa persetujuan dari Ardino ia langsung masuk dan berjalan ke arah meja kerja Ardino.

"Ada apa, pak?" untungnya Ardino sudah bisa berhasil meredam dirinya yang terkejut.

"Pagi ini bapak mau minum kopi atau teh?" tanya Dadang tanpa bertele-tele lagi.

"Ketukan yang keras tadi hanya ingin bertanya pagi ini saya mau minum apa?"

"Memangnya tadi keras banget ya, pak. Hehehe maaf, pak. Saya takut bapak nggak dengar"

"Saya belum tuli banget pasti dengar ketukan pintu yang sewajarnya."

"Jadi, hari ini bapak mau saya mengetuk pintu yang keras atau bisa aja?"

Ardino menghela nafas dan bingung mau menjawab apa. "Ng.. Pertanyaannya bisa balik ke pertanyaan yang awal aja nggak?"

"Pertanyaan yang 'pagi ini bapak mau minum kopi atau teh'?"

"Itu pertanyaan yang pertama, kan?"

"Saya rasa begitu, pak. Ng.. Saya jadi bingung sendiri" dengan polosnya Dadang menggaruk kepala bagian kepala belakang sambil sedikit nyengir dihadapan Ardino. Dan hal itu semakin membuat helaan nafas Ardino terdengar kencang.

"Pagi ini saya mau minum kopi panas gulanya dipisah." Ardino menyegerakan memberi jawaban kepada Dadang.

"Memangnya bapak nggak kasihan kalau kopi sama gula dipisah? Kalau mereka kangen gimana? Kangen itu berat, pak"

Kini Ardino memutar bola matanya dan memutuskan untuk bersandar di kursinya. Pagi-pagi seperti ini ia harus bertemu dengan orang yang nggak tahu baiknya diapain. "Perkara kangen itu urusan mereka dan urusan saya itu cuma minum kopi. Sama satu lagi, urusan kamu bikinin saya kopi dan siapkan minum juga untuk rapat pagi ini."

"Tapi, sepertinya saya ingin ikut urusan kopi sama gula yang dipisah itu. Jujur, saya orangnya nggak bisa menjalani hubungan jarak jauh, pak."

"Lalu?" Ardino menikah alisnya untuk mengikuti skenario dari Dadang.

"Saya tidak akan biarkan kopi dan gula berjauhan. Nanti saya letakkan di samping kopi. Nggak papa kan, pak?"

"Nggak papa, terserah kamu saja. Pokoknya dalam sepuluh menit dari sekarang saya ingin meneguk kopi itu."

Mendengar hal itu, Dadang langsung menegakkan tubuhnya dan mengambil pose siap lalu hormat kepada Ardino. "Siap, segera saya laksanakan, pak"

Sesaat setelah Dadang keluar dari ruangannya ada seorang perempuan yang bertubuh tinggi dan berpenampilan cukup menarik mengetuk pintunya dengan wajar seperti yang Ardino maksud tadi. Perempuan itu masuk ke dalam ruangan Ardino dengan langkah yang begitu anggun dan suara heelsnya meramaikan ruangan Ardino.

"Selamat pagi, pak. Mohon maaf kemarin saya belum bisa bergabung di kantor ini dan saya tidak bisa menyambut kedatangan bapak." perempuan itu langsung membungkukkan badannya dan berbicara dengan begitu lancarnya.

"Ahh.. Tidak masalah, hari ini juga masih akan dilanjut rapat dan kamu bisa ikutan bergabung." jawab Ardino dengan tegas.

"Baik, pak. Maaf sebelumnya jika bapak berkenan saya ingin memperkenalkan diri."

"Benar, seharusnya kamu memperkenalkan diri dahulu."

"Nama saya Tasya disini saya akan membantu bapak dalam mengurus beberapa dokumen selama rapat, data yang masuk dari bengkel dan beberapa keperluan lainnya untuk mempermudah pekerjaan bapak."

"Lebih tepatnya kamu asisten saya?"

"Tepat sekali" Tasya tersenyum kepada Ardino.

"Kalau begitu.. Saya mau catatan yang sudah saya buat ini dicetak dan di siapkan untuk rapat pagi ini." Ardino menggeser laptopnya untuk menunjukan kepada Tasya.

"Baik, pak. Ini saya kirim melalui e-mail saya dan saya akan segera mengerjakannya" jawab Tasya sambil mengoperasikan laptop milik bosnya itu. "Ada yang perlu saya bantu lagi, pak?" imbuh Tasya setelah ia selesai mengirim catatan milik Ardino ke e-mailnya.

"Sementara hanya itu saja dan nanti kamu bisa bantu saja selama rapat."

"Baik kalau begitu saya permisi dulu, pak."

Tasya meninggalkan ruangan itu dan Ardino kembali menyandarkan kepalanya ke kursi. Ia sedikit terkejut saat ia merasakan punya asisten. Tak pernah terbayang sebelumnya jika keadaan seperti ini berpihak kepada Ardino. Tak pakai lama lagi Ardino bersiap untuk masuk ke ruang rapat dan ia juga segera memulai harinya dengan bersemangat.