webnovel

MENGEJAR CINTA MAS-MAS

Gladys Mariana Pradito "Sudah deh mi... aku tuh bosen dengar itu lagi itu lagi yang mami omongin." "'Makanya biar mami nggak bahas masalah itu melulu, kamu buruan cari jodoh." "Santai ajalah. Aku kan baru 24 tahun. Masih panjang waktuku." "Mami kasih waktu sebulan, kalau kamu nggak bisa bawa calon, mami akan jodohkan kamu dengan anak om Alex." "Si Calvin? Dih ogah, mendingan jadian sama tukang sayur daripada sama playboy model dia." **** Banyu Bumi Nusantara "Bu, Banyu berangkat dulu ya. Takut kesiangan." "Iya. Hati-hati lé. Jangan sampai lengah saat menyeberang jalan. Pilih yang bagus, biar pelangganmu nggak kecewa." "Insya Allah bu. Doain hari ini laku dan penuh keberkahan ya bu." "Insya Allah ibu akan selalu mendoakanmu lé. Jangan lupa shodaqohnya ya. Biar lebih berkah lagi." "Siap, ibuku sayang." **** Tak ada yang tahu bahwa kadang ucapan adalah doa. Demikian pula yang terjadi pada Gladys, gadis cantik berusia 24 tahun. Anak perempuan satu-satunya dari pengusaha batik terkenal. Karena menolak perjodohan yang akan maminya lakukan, dengan perasaan kesal dan asal bicara, ia mengucapkan kalimat yang ternyata dikabulkan oleh Nya.

Moci_phoenix · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
108 Chs

MCMM 25

"Aku akan belajar mencintaimu dan membuatmu mencintaiku," Tiba-tiba Gladys mengecup pipi Banyu dengan cepat dan berlari kembali ke arah rumah. Meninggalkan Banyu yang terbengong-bengong tak menyangka hal itu akan terjadi.

⭐⭐⭐⭐

Happy Reading ❤

"Semalam kamu kemana, dek? Pulang jam berapa?" Pagi itu Gibran mendatangi Gladys di kamarnya. "Kata pak Gito kamu diantar pulang oleh laki-laki, tapi nggak bilang siapa. Kamu diantar siapa sih?"

"Abang nggak usah kepo deh." jawab Gladys kembali bergelung nyaman di dalam selimutnya. "Adek lagi mengerjakan sebuah misi nih."

"Misi apaan?"

"Adek mau jadi istri yang baik." jawab Gladys singkat dari balik selimut.

"Kalau mau jadi istri yang baik, jam segini jangan masih di tempat tidur. Bangun, sana bantuin mbok Siti di dapur." Gibran menarik selimut yang dipakai Gladys. "Astaga dek, kamu kalau tidur pakai baju yang benar kenapa sih?!"

"Apaan sih Bang? Perasaan bajuku biasa aja."

"Celana pendek dan singlet kamu bilang biasa aja? Baju tidurmu ini lebih mirip pakaian dalam. Saru," omel Gibran.

"Cerewet ah." Gladys kembali menarik selimutnya. "Sekarang abang mendingan keluar deh."

"Ada eyang tuh di luar. Beliau nyariin kamu, dek." Gibran kembali menarik selimut.

"Abaaaang...!!" Teriak Gladys kesal

"Kalau kamu nggak mau abang angkat ke kamar mandi, bangun sekarang juga. Abang hitung ya. Satuuu... duaaa..."

"Iya.. iyaaaa.. nih adek sudah bangun." Sambil bersungut-sungut Gladys bangkit dari tidurnya, tapi ia tak langsung ke kamar mandi. Ia malah mengambil air minum dan pindah rebahan di sofa. Tanpa banyak komentar Gibran mengangkat tubuh Gladys dan membawanya ke kamar mandi, lalu menaruhnya di bath up. Sebelum Gladys sempat kabur, Gibran langsung menyalakan shower.

"Abaaaang...." Gladys berteriak kaget karena kedinginan. Gibran meninggalkan adik semata wayangnya yang masih ngomel-ngomel di kamar mandi. "Dasar abang terkutuuuuK!!"

"Kamu apain adekmu bang?" Tanya Praditho yang sedang asyik membaca majalah ekonomi. "Jangan dijahili terus dong."

"Nggak dijahili kok, Pih. Gibran cuma nyuruh dia bangun."

"Kok sampai teriak-teriak begitu? Kamu kerjain ya?"

"Cuma disuruh mandi kok." jawab Gibran sambil terkekeh.

"Bang, semalam siapa yang antar adekmu pulang. Tumben dia pergi malam-malam nggak bawa pak Dudung."

"Nggak tahu tuh, Pih. Pak Gito cuma bilang Adek diantar sama cowok, tapi nggak tau siapa. Karena pas mereka sampai, pak Gito lagi ke kamar mandi. Pak Gito juga dengar suara mereka ngobrol."

"Apa adekmu punya pacar?"

"Nggak tau deh. Adek kan nggak pernah cerita apa-apa ke abang. Takut diledekin katanya."

"Mami tetap kekeuh mau menjodohkan dia dengan pria pilihannya?" Gibran hanya mengangkat bahunya. "Coba aja nanti papi tanya sendiri sama anaknya. Tadi dia cuma bilang kalau dia lagi ada misi untuk menjadi istri yang baik."

"Hah?! Misi menjadi istri yang baik? Apa itu? Ada-ada saja." Praditho geleng-geleng kepala tak mengerti.

"Coba nanti kamu tanyakan ke adekmu ya. Dengarkan dia bicara."

Tak lama Gladys datang memakai celana selutut, kaos ketat dan jaket pendek diluarnya. Gibran memperhatikan style Gladys yang terlihat casual. Gladys berjalan menghampiri Praditbo dan mencium pipinya sebagai ucapan selamat pagi.

"Morning Pih... Mami mana? Katanya ada eyang Tari."

"Tuh mereka lagi ngobrol di taman. Kayaknya mereka ngomongin soal pernikahan elo dengan cowok pilihan mami." sahut Gibran yang sedang asyik mengunyah sandwich.

"Bagi Bang," Tiba-tiba Gladys merebut sandwich yang baru digigit sedikit oleh Gibran. Setelah itu Gladys langsung kabur ke taman belakang.

"Dasar adek jeleeeek!!"

"Astaghfirullah... kalian tuh kenapa sih dari tadi teriak-teriak aja kayak di hutan," tegur Eyang Tari yang pagi itu terlihat segar.

"Pagi eyang." Gladys memeluk neneknya dari belakang dan menghadiahi kecupan hangat di pipi tua Eyang Tari.

"Pagi sayang. Kamu kok baru bangun?"

"Hehehe.. semalam nggak bisa tidur, Eyang."

"Cah wedhok ojo tangi awan (anak perempuan jangan bangun siang)." Tegur Eyang Tari. "Dulu waktu eyang lebih muda dari kamu, sebelum subuh eyang sudah sibuk bantuin ibunya eyang di dapur."

"Kalau disini kan sudah ada yang urusin semua itu, yang."

"Walaupun ada pembantu atau simbok yang bantu-bantu di rumah, kamu tetap harus bisa urus rumah. Tuh liat mami kamu, sejak muda mami kamu sudah bisa masak dan urus rumah. Walaupun papi kamu menyediakan pembantu, tapi mamimu tetap memasakkan untuk papimu." Gladys hanya manggut-manggut mendengar ucapan Eyang Tari.

"Kalau kata orang-orang tua dulu, kalau mau bikin suami betah itu dari perutnya." ucap Eyang Tari.

"Maksudnya?" tanya Gladys tak mengerti.

"Ya kayak mami kamu itu. Selalu rajin memanjakan papi kamu dengan masakan yang enak. Itu sebabnya papi kamu selalu setia sama mamimu."

"Ah, itu mah kebetulan aja papi memang setia orangnya, Eyang." elak Gladys. "Eyang cocoklogi nih."

"Maksudmu gimana, Ndhuk?" Kali ini gantian Eyang Tari yang balik bertanya. "Istilah opo kuwi? Kok eyang baru dengar ya."

"Ah, eyang mah kuno." sahut Gladys. "Itu lho eyang, dicocok-cocokin walau kadang belum tentu cocok." Gantian kali ini Eyang Tari yang manggut-manggut.

"Oh iya, Cah Ayu...." Hmm mulai ada hawa-hawa bakalan serius nih kalau eyang manggil gue pakai Cah Ayu, batin Gladys.

"Kenapa eyangku sayang?"

"ini sudah sebulan lewat lho. Dua minggu lagi kakakmu akan menikah dengan sahabatmu. Jadi waktu kamu juga semakin dekat. Sudah dapat?" tanya Eyang Tari tanpa basa-basi. Gladys hanya bisa nyengir ditanya seperti itu oleh eyang Tari.

"Ditanya sama eyang bukannya dijawab kok malah cengar-cengir Dys?" tegur Cecile yang datang membawa sepiring buah dan segelas juice sayuran.

"Mi, juicenya buat Adis ya," pinta Gladys sambil memeluk maminya.

"Ini juice buat eyang. Obat darah tinggi. Kamu mau?" Cecile balik bertanya. Gladys langsung menjauh.

"Yang, kriteria calon suami buat Gladys yang eyang mau kayak apa sih?" Kali ini Gladys bersandar manja kepada sang eyang.

"Bibit, bebet, bobot." jawab Eyang Tari singkat. Wajah Gladys langsung berubah saat mendengar jawaban eyang Tari. "Buat eyang itu nggak terlalu penting lagi. Karena eyang tahu anak muda jaman sekarang paling nggak suka dengan hal tersebut." Wajah Gladys kembali cerah.

"Kenapa nanya-nanya kayak gitu, Dys? Sudah dapat calon?" tanya Cecile sambil memberikan potongan mangga kepada Gladys. "Kenalin ke mami dong."

"Mami kenapa nggak kayak eyang sih? Tuh eyang aja nggak terlalu peduli dengan urusan bibit bebet bobot."

"Kalau memang ada yang sesuai kriteria dan berasa dari keluarga baik-baik, buat eyang itu akan lebih baik. Kalau buat Eyang, karena eyang sudah semakin tua, sekarang eyang lebih suka kalau kamu memilih calon yang akhlaknya baik. Tapi nggak ada salahnya juga 3 hal tersebut tetap kamu jadian acuan dalam memilih suami."

"Eyang, bagaimana kalau seandainya ada pria yang akhlaknya baik, agamanya bagus, tapi secara strata sosial dan ekonomi jauh di bawah keluarga kita?"

"Kamu suka sama dia?" Gladys hanya mengangkat bahunya. Eyang Tari tersenyum bijak melihat reaksi cucu kesayangannya.

"Tidak suka atau belum suka?"

"Nggak tau, eyang. Gladys sendiri masih belum yakin."

"Dia suka sama kamu?" Kembali Gladys angkat bahu.

"Kalau semua serba nggak jelas, ngapain dibahas Dys. Mendingan kamu sama pria pilihan mami." celeteuk Cecile.

"Eyang, Adis nggak mau dijodohin. Adis mau pilih sendiri calon pendamping hidup." rengek Gladys.

"Memangnya kamu bisa cari sendiri? Memangnya ada yang mau sama cewek manja dan pemalas kayak kamu, dek?" Tanya Gibran yang tiba-tiba ikut nimbrung. Ditangannya terlihat mug berisi teh hangat.

"Abang ganteng sini deh, duduk sebelah adek," panggil Gladys sambil menepuk tempat kosong di sampingnya.

"Nggak mau. Kamu pasti mau minta tehnya abang, kan?" Tolak Gibran yang lebih memilih berdiri.

"Bang, kalau makan minum itu nggak boleh berdiri. Harus duduk. Percuma sering datang kajian di masjid kalau begitu aja nggak tau." sindir Gladys.

"Benar kata adikmu, Bang. Sini duduk di samping mami," panggil Cecile yang langsung dituruti oleh Gibran.

"Ih, abang pelit!" omel Gladys.

"Katanya mau jadi istri yang baik. Harusnya justru kamu yang belajar bikinin minuman buat kita sekeluarga. Bukan malah nebeng minum abang. Ini aja abang bikin minum sendiri lho." Gladys memutar bola matanya malas mendengar ceramah Gibran.

"Endaaaaah...!!" Gladys memanggil asistennya sambil berteriak.

"Gladys, kamu lupa ada eyang disini? Kok teriak-teriak kayak di hutan. Kamu tahu kan kalau eyang punya penyakit jantung. Kamu mau bikin eyang sakit lagi?" omel Cecile.

"Eh, maaf Mi. Maaf eyang. Kebiasaan." Gladys hanya nyengir diomeli oleh Cecile. Eyang Tari hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan cucu kesayangannya.

Tak lama Endah datang membawa minuman untuk Gladys. Wajahnya terlihat pucat dan lemah. "Kak, ini tehnya."

"Ndah, kamu sakit? Kok wajah kamu pucat?" tanya Gladys khawatir. Ia berdiri dan mendekati Endah. Dipegangnya kening Endah. Panas. "Badan kamu panas banget. Sana kamu berbaring saja di kamar. Biar nanti aku panggilin dokter."

"Nggak usah panggil dokter, kak. Cuma demam biasa kok," Tolak Endah. "Minum paracetamol nanti juga turun panasnya."

"Ya sudah, kamu minta obat sama mbok Parmi." perintah Gladys.

"Tapi jadwal kak Gladys hari ini cukup padat. Nanti siapa yang dampingin kak Gladys?" tanya Endah dengan suara lemah.

"Nggak usah dipikirin. Mulai hari ini aku mau belajar mandiri tanpa asisten." Jawaban yang membuat mata Endah berkaca-kaca. "Lho, kamu kenapa nangis?"

"Apa itu artinya kak Gladys sudah nggak butuh asisten lagi? Kalau kakak nggak pakai tenaga Endah lagi, berarti Endah sudah nggak dibutuhkan lagi. Itu sama artinya Endah akan dipecat." Tiba-tiba Endah menangis terisak. Membuat yang lain menatapnya dengan heran sekaligus ingin tertawa melihat kepolosan Endah.

"Kata siapa kamu akan dipecat?" tanya Gladys sambil memeluk bahu Endah. "Aku lagi ingin mandiri bukan berarti aku nggak butuh kamu sama sekali."

"Gladys lagi mau belajar jadi istri yang baik, Ndah." celetuk Gibran sambil terkekeh. "Biarin aja. Biar dia tau bagaimana rasanya mengerjakan semuanya sendiri."

"Ya nggak gitu juga, Bang." sahut Gladys dengan wajah cemberut. "Abang nggak usah ikut-ikutan deh. Ya sudah Ndah, sekarang kamu istirahat saja ya. Nggak usah pikiran pekerjaan kamu dan jangan berpikir kamu akan dipecat. Oke?!"

"Iya, makasih kak. Endah balik ke kamar dulu ya. Permisi nyonya eyang, nyonya mami, den Gibran."

"Kamu beneran bisa dek nggak pakai asisten?"

"Ya, harus bisalah. Tapi kalau urusan masak dan beresin kamar biar aja mbok Parmi dan mbok Siti yang kerjain."

"Lho, katanya mau belajar jadi istri yang baik."

"Belajarnya nanti aja kalau sudah ada calonnya."

"Memangnya sampai sekarang belum dapat, dek?" Tanya Gibran penasaran.

"Ada sih yang sudah jadi target, tapi adek masih ragu."

"Kenapa? Jelek ya?"

"Nggak. Ganteng banget malah. Orangnya juga baik." sahut Gladys. "Tapi....."

"Tapi kenapa? Dia nggak suka sama kamu?" Gladys hanya angkat bahu membuat yang lain semakin penasaran.

"Dia belum suka sama adek. Tapi adek akan bikin dia jatuh cinta sama aku."

"Aaah.. cinta bertepuk sebelah tangan ya dek?"

"Nggak juga. Karena adek juga belum cinta sama dia."

"Lah, terus gimana?" Gibran bingung.

"Itu masalah gampang, Bang."

"Waktu kamu tinggal sebulan lagi ya Dys. Kalau dalam waktu sebulan kamu belum bawa calon, mami akan jodohkan kamu sama salah satu anak kolega papi." ucap Cecile. "Kemarin tante Karin sempat bilang mau menjodohkan Lukas dengan kamu."

"Lukas yang teman bang Ghiffari?"

"Iya, sekarang Lukas kan sudah menjadi dokter spesialis jantung. Orang tuanya juga punya rumah sakit yang dikelola oleh dia."

"Wuiiih.. tangkapan bagus tuh dek," komentar Gibran.

"Dulu dia kan sering kesini, sayang. Waktu itu kamu masih SMP kalau nggak salah. Itu lho yang sering ikut Ghiffari jemput kamu pulang bimbel. Ingat nggak?"

"Iya ingat. Sampai sekarang juga dia masih suka komen postingan IG Adis."

"Nah, pas kan. Gimana menurut kamu? Ganteng nggak?" desak Cecile. Gladys mengangguk. "Ya sudah, kamu sama dia saja ya sayang."

"Nggak mau. Gladys mau cari sendiri."

"Oke silahkan. Tapi kalau sampai akhir bulan depan kamu nggak dapat juga, kamu harus mencoba jalan sama Lukas," Cecile tetap pada keinginannya.

"Cil, biarkan Gladys memilih sendiri calon suaminya." ucap Eyang Tari.

"Cecile takut dia salah pilih, Mi."

"Waktu yang kamu berikan terlalu sebentar, Cil."

"Kalau nggak digituin, dia akan terus mengulur waktu, Mi. Malah Cecile khawatir dia batal menikah."

"Mami nih nggak percayaan sama Adis." Gladys mulai merajuk. "Sudah ah, Adis mau ke butik."

⭐⭐⭐⭐