webnovel

Kiki Mulai Curiga

Tiba-tiba tenggorokanku kembali kering. “Mbak! Es susunya satu gelas lagi, ya!”

“Ye, bukannya jawab, dia lanjut penuhi perut.”

“Sudahlah, berisik!”

Suara azan berkumandang dari musala kampus. Beberapa orang datang ke sana. Aku jadi ingat pesan Mas Hada, kalau tidak salat, siapa tahu ajal sudah dekat. Segera aku mendekati penjual dan meng-cancel pesanan barusan, dan segera membayar tagihan kami semua. Setelahnya berjalan cepat ke arah musala, membuat ketiga sahabatku bengong sampai mulutnya mengaga lebar.

“Han, mau ke mana?”

“Musala!” teriakku tanpa menoleh ke arah mereka.

“Ngapain?”

“Enggak mungkinlah makan. Ya salat, lah!”

Satu persatu mereka mengekori. Bisik-bisik dan berbagai pertanyaan terlontar. Aku hanya diam, enggan menjawab. Ada yang bilang mimpi apa aku semalam? Ada yang tanya, sejak kapan tobatnya? Satu lagi, ada yang mengucap alhamdulillah karena aku sudah mendapat hidayah. Bersyukurnya, mereka mengikutiku menjalankan salat. Aku melepas kaus kaki dan masuk ke toilet khusus wanita, lalu melepas hijab dan segera mengambil wudu. Kiki, Maria, dan Isna masih saja meragukan pertobatanku. Kata mereka, pasti aku menjadi seperti ini karena ingin sesuatu. Ah, dasar mereka suuzan terus. Biarkan saja, toh nyatanya dulu aku memang seperti itu. Kadang malu, lebih taat hanya karena sedang ‘butuh’ kepada Allah. Hiks, maafkan hamba, ya Allah.

Sampai di dalam musala, aku tertegun. Tampak Mas Hada dan beberapa temannya sedang membentang ambal di dalam. Sesaat, pandangan kami bertemu ketika berpapasan, lalu sama-sama mengalihkan wajah dan berjalan ke arah yang berlawanan saat sadar sedang ada di tengah keramaian. Aku berjalan ke arah sudut ruangan, menuju lemari penyimpanan mukena, lalu mengambil satu dan memakainya. Setelahnya berbaris di saf perempuan beserta ketiga temanku. Sambil menunggu salah satu dosen yang biasa menjadi imam di musala, kami bersila sambil mengobrol dengan suara kecil. Hanya aku yang diam, memperhatikan Mas Hada yang sedang khusyuk menjalankan salat sunah.Aku belum sempat menjadi makmumnya. Mengingat, dia sangat rajin pergi ke musala yang ada di dekat rumah.

“Eh, Han! Kamu lihat pria yang pake hoodie warna cream itu?” Kiki tiba-tiba berbisik di telingaku.

“Ke-kenapa memang?” tanyaku gagap.

“Dia itu yang kataku mirip sama pria yang menikahimu kemarin? Eh, dia, kan petugas kebersihan di sini juga, ya? Sekalian kuliah katanya. Dia anak kelas C, ambil kelas malam.”

“Oh, ya?” tanyaku pura-pura tidak tahu.

“Iya. Beda sama kita yang ambil kelas A. Jadi masuk pagi.”

“Bunyinya saja kelas pagi, kadang ada dosen-dosen tertentu yang malas masuk pagi, terus seenaknya minta kita masuk malam. Kayak Bu Rona tuh!” sambung Maria tiba-tiba.

Dari sini, terlihat seorang pria mendekati Mas Hada dan membisikkan sesuatu. Temannya segera mengumandangkan ikamah, disusul langkah kaki suamiku yang memosisikan diri menjadi imam. Melihat itu, waktu seolah melambat, demikian dengan degup jantungku yang kian melemah. Fokusku pada posisi berdiri kami. Aku merasa, hanya ada aku dan dia.

“Allahu Akbar!”

Aku tersadar, kemudian menggelengkan kepala dan berusaha khusyuk untuk salat.

Selesai salat, aku langsung pergi. Sementara Mas Hada dan teman-temannya kembali khusyuk menjalankan salat sunah. Aku dan Kiki menuju kelas, sementara Maria dan Isna memutuskan untuk ke ruangan dosen terlebih dahulu.

“Bagaimana menurut kamu, Han?” tanya Kiki, saat kami menuruni anak tangga menuju ke gedung ekonomi.“Soal cleaning servise tadi. Mirip enggak sama suami kamu?”

“Ngaco, mana ada mirip. Suami aku itu lebih tinggi.”

“Masa, sih?”

“Enggak percaya? Ya sudah!” Aku meninggalkannya begitu saja yang masih mencoba mengingat-ingat dan berpikir keras.

“Han, tunggu! Aku kok ditinggal, sih?”

***

Aku sedang berkunjung ke restoran Ibu. Suasana lumayan ramai hari ini. Beberapa pelayan terlihat sibuk ke sana kemari melayani pelanggan, sementara Ibu sibuk di meja kasir. Sesekali aku menoleh ke arahnya yang tidak bisa diganggu sama sekali. Dari pagi sampai malam, itulah yang dilakukan oleh Ibu. Bokongnya seakan tertempel lem di kursi kasir, sampai tak bisa lagi bergerak barang sedikit saja. Jam menunjukkan pukul 14.30. Sejak aku datang, bahkan belum disapa.

“Bu, aku pulang, ya!”

“Sama siapa, Nak?” tanyanya sambil sibuk menghitung lembaran uang di tangan.

“Naik taksi OL saja, Bu. Aku masih ada kelas, tapi malam.”

“Ya sudah, nanti saja pulangnya.”

“Enggak enak sama Mas Hada, Bu. Besok saja aku ke sini lagi.”

“Enggak apa-apa,Nak, pulang sendiri?”

“Iya, enggak apa-apa.”

“Hati-hati, ya, Nak,” pesan Ibu yang tangannya kini beralih pada kalkulator berukuran jumbo. Saat dia sedang fokus—entah menghitung apa, aku mendekat.

“Bu.”

“Iya, Nak?” tanyanya, tapi mata masih fokus pada alat tersebut.

Aku diam, dan dia baru menoleh. “Kenapa, Sayang?”

“Aku pamit pulang, ya.”Aku mengambil punggung tangan Ibu dan menciumnya. “Ibu, ojo lali salat.”

Ibu tertegun menatapku lama, lalu tersenyum kecil dan mengatakan. “Suwun , loh, ya, sudah diingetin ibunya,” sahutnya sambil membelai lembut pipiku seraya tersenyum.

“Sama-sama ibuku. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

Kami sama-sama melempar senyum. Aku berbalik dan pergi dari sana, sementara tatapan mata Ibu masih tak berkedip mengantar kepergianku. Mungkin ibu heran, mengapa aku berbeda dari biasanya. Sebelumnya, aku cuek saja soal ini semua. Ibu mau salat ataupun tidak dulu itu bukan urusanku, tapi sekarang, aku harus mengingatkan orang-orang yang kusayang, supaya kelak, kami bisa bertemu di surga Allah.

***

Baru saja turun dari taksi OL, aku dikejutkan dengan ketinggalannya kotak makanku di kampus. Duh, diambil orang enggak, ya? Mau pergi lagi, tapi Mas Suhada keburu memergokiku.

“Han, mau ke mana?” teriaknya yang memaksa tubuhku berputar arah, berbalik dan melangkah ke arah rumah.

“Ada yang ketinggalan di kampus, Mas,” kataku tersenyum tidak enak padanya, mengingat kotak makanan itu pemberian dia.

“Apa?”

Aku sudah ada di depan pintu, lalu berusaha menjelaskan kejadian saat makan di kantin tadi siang.

“Oh, enggak apa-apa. Nanti malam kita cari sama-sama, ya, di kampus.”

Aku diam saja, masuk dan menemui Ibu yang sedang ada di kamar. Sampai di kamar Ibu, ternyata ada Bik Romlah.

“Ya ampun, jadi ini menantu kita, Mbak?” tanyanya saat aku menyalami mereka.

“Hehe. Iya, Bik.”

“Ayu to?”tanya Ibu tak mau kalah.

“Namanya siapa, Cah Ayu?”

Sedikit tersipu aku menjawab,“Hana.”

“Kok, pas banget. Hana, dan Hada.”

Semua orang tertawa, termasuk Mas Hada yang berdiri di ambang pintu.

“Karena itu jodoh. Lusa kita mau ketemu sama keluarganya. Kamu pakai baju yang apik, ya!” pinta Ibu pada Bik Romlah.

“Jelas. Nanti aku pilih baju paling indah untuk bertemu pihak besan.”

Kami bicara banyak hal. Puas berbincang, Mas Hada mengekorku masuk ke kamar, lalu menyerahkan amplop berwarna cokelat.

“Apa ini, Mas?”

“Buka saja.”

Aku duduk di ujung ranjang seraya membuka isinya. Ternyata di dalam amplop tersebut berisi beberapa lembar uang berwarna merah.

“Tolong diatur keuangan keluarga kita. Terimakasih sebelumnya.”

Aku tertegun, lama. Menatap lembaran uang di tangan. Ya Allah ... jumlah uang ini bahkan tak ada seperempatnya dari yang biasa ditransfer Mas Irwan kepadaku, itu pun hanya untuk aku sendiri. Sedangkan ini? Aku harus mengatur keuangan rumah tangga selama satu bulan dengan uang yang hanya segini. Apa cukup?