webnovel

Cemburu

Rasa cemburu akan terus ada saat mendengarnya bersama orang lain.

***

"Kalau sudah putus gini, Kak Prima mau gimana?"

"Ngelupain Karin mungkin?" jawab Prima dengan balik bertanya. "Setiap orang harus melangkah maju dan menjadikan kejadian lama sebagai pengalaman kan?"

Ratu seketika tertawa dengan nada mengejek. "Kakak kira ngelupain cinta pertama itu gampang ya? Saya aja udah bertahun-tahun masih belum bisa lupa."

"Kenapa lo bisa bilang begitu?"

"Kata orang, cinta pertama itu yang paling berkesan. Orang yang hadir setelahnya cuma dilihat sebagai bayangan cinta pertama."

"Lo juga lagi mau ngelupain seseorang ya?" Prima menoleh pada cewek yang duduk di sebelahnya ini.

Ratu diam saja. Dia sudah banyak bicara soal dirinya pada Prima. Kalau terus dilanjutkan mungkin saja dia bisa kelepasan mengatakan siapa cinta pertamanya. Tentu saja rahasia itu hanya Ratu yang bisa mengetahuinya.

"Kalo iya, gimana kalau kita taruhan buat ngelupain cinta pertama masing-masing?"

"Eh, tunggu." Ratu segera memotong omongan Prima. "Jangan bilang Kak Prima mau kita pacaran dan taruhannya siapa yang jatuh cinta duluan bakalan kalah? Aduh, itu terlalu klise."

Kini giliran Prima yang tertawa karena perkataan Ratu. "Lo terlalu banyak baca novel romance. Tapi idenya bagus juga. Kalo gitu, kita pacaran mulai sekarang."

"Hah?" Mulut Ratu ternganga lebar mendengar apa yang baru saja dikatakan Prima. "Kita pacaran? Jangan becanda Kak."

Prima tidak lagi menggubris ucapan Ratu. Dia menatap ke arah jalan lagi dan menurunkan kecepatan mobilnya"Rumah lo di mana nih? Kata Kenzi searah sama rumah gue."

Ratu pun menunjukkan arah jalan  ke rumahnya, untungnya saja belum terlewat. "Berhenti di depan pagar cokelat."

Mobil milik Prima berhenti di depan rumah yang pagarnya berwarna coklat. Setelah itu dia mematikan mesin dan membuka sabuk pengamannya.

"Kak Prima mau ngapain?"

Prima membuka jaketnya dan memberikan pada Ratu. "Di luar hujan masih deras. Gue enggak mau pacar gue ini sakit."

Ratu mengembuskan napas panjang. Dia membuka sabuk pengaman dan menerima jaket yang diberikan Prima padanya. "Please lah Kak, jangan dianggap serius soal yang tadi. Saya cuma asal ngomong."

Prima hanya menaikan kedua bahunya sambil tersenyum. "Udah sana masuk."

"Makasih Kak sudah ngantar," kata Ratu sambil melambaikan tangannya. Dia pun turun dari mobil dan menggunakan jaket milik Prima untuk menutupi kepalanya.

Setelah membuka pagar rumahnya dan menginjakkan kaki di depan teras Sagita berbalik badan. Ternyata mobil Prima sudah pergi, menyisakan hujan yang semakin deras. Ratu pun mengambil kunci rumah yang diselipkan di bawah pot bunga, tempat biasa mereka menyimpan.

Ratu masuk ke kamarnya, jaket milik Sandi dan juga tasnya dia taruh di lantai dekat pintu. Lalu dia melepaskan pakaiannya satu per satu, mengganti dengan pakaian yang panjang agar lebih hangat.

"Ratuuuu!"

Ratu mendengar seseorang memanggil namanya. Awalnya dia tidak yakin karena suara itu seakan beradu keras dengan suara derasnya hujan. Namun kemudian Ratu teringat dengan Athalla. Dia segera ke luar dari kamarnya dan benar saja, dia mendapati Athalla ada di luar rumahnya dengan keadaan yang basah kuyup.

"Thal, lo nerobos hujan?"

"Gara-gara lo nih," ucap Athalla yang terlihat kesal.

"Lo duluan yang ninggalin gue," kata Ratu yang tidak mau disalahkan.

"Udah cepat, ambilkan gue handuk." Athalla sedang tidak ingin berdebat, tubuhnya sudah kedinginan terkena air hujan dan derasnya angin.

Ratu kembali ke dalam rumah dan mengambilkan handuk untuk Athalla. Dia melihat Athalla mengelap rambutnya dan setelahnya cowok itu melepaskan kemeja yang dia kenakan.

"Gue pikir lo enggak balik jemput gue," kata Ratu kembali berbicara.

"Kalo gue enggak balik ke kampus yang ada gue bakalan kena marah sama mama," balas Athalla. "Sudah pasti lo bakalan ngelaporin gue. Iya kan?"

Athalla lalu membuka celana jinsnya, mengisahkan celana pendek. Ratu otomatis berbalik badan karena tidak mau melihat Athalla yang hampir tanpa pakaian.

"Kenapa lo milih hujan-hujanan, bukannya meneduh dulu."

"Gue juga maunya gitu tapi gue mikirin lo, gue enggak mau lo nunggu."

Tanpa sadar Ratu tersenyum karena Athalla berkata seperti itu. Dia merasa menjadi orang yang paling istimewa bagi Athalla.

"Apa lo senyum-senyum," kata Athalla yang kini sudah berada di samping Ratu.

Senyum Ratu seketika memudar dan menyangkal ucapan Athalla."Enggak, siapa yang senyum-senyum?"

Dengan dagunya Athalla menunjuk pakaiannya yang tergeletak di depan pintu. "Tuh, lo bawa baju gue ke tempat cucian. Gara-gara lo tuh gue basah begini."

"Iya, iya." Ratu ke dapur untuk mengambil ember agar bisa dipakai menampung pakaian Athalla yang basah. Dia tidak mau tetesan air dari pakaian itu membasahi lantai rumahnya sebab itu akan membuatnya semakin repot.

Sampainya di dapur, Ratu meletakan pakaian basah itu di keranjang pakaian kotor. Kemudian dia menyeduhnya teh hangat untuk Athalla. Bagaimana pun juga, Athalla kehujanan itu karena dirinya. Cowok itu mau repot-repot kembali ke kampus untuk menjemputnya.

Selain itu, ratujuga senang kalau harus merawat Athalla seperti ini. Dia merasa kalau dirinya sangat berguna untuk Athalla.

"Thal, gue boleh masuk?" teriak Ratu dari luar kamar Athalla.

"Ya," jawab Athalla singkat dari dalam kamar.

Ratu membuka kamar Athalla perlahan dan tidak menemukan sosok cowok itu. Dari arah kamar mandi Ratu bisa mendengar suara air yang mengalir.

"Thal, gue siapkan teh hangat buat lo."

"Iya," jawab Athalla.

Beberapa menit kemudian Athalla ke luar dari kamar mandi. Kali ini wajahnya terlihat lebih segar dari pada saat dia pertama kali datang tadi.

"Lo mandi air panas kan?"

"Mandi air panas pun masih berasa  dinginnya."

Athalla mengambil gelas yang ada di tangan Ratu. Dia mengabiskan teh hangatnya hanya dengan beberapa kali tegukan. Air hangat yang mengalir di tenggorokannya membuat dia merasa lebih nyaman.

Ratu tidak bisa menahan dirinya lagi. Dia memeluk Athalla begitu cowok itu selesai meminum tehnya. "Thal, maafin gue. Harusnya tadi gue nungguin lo di kampus."

Athalla diam beberapa saat waktu Ratu memeluknya. Setelah itu dia berkata, "Udah enggak apa-apa, lagian salah gue juga yang langsung pergi gitu aja."

Kalau sedang berada dalam keadaan seperti ini, Athalla dan Ratu seakan bisa saling memahami. Mereka meminta maaf dan juga memaafkan dengan cepat. Walaupun sering berdebat, mereka tidak pernah marahan dengan waktu yang lama.

"Eh, tapi bukan salah gue juga sih," kata Athalla yang tiba-tiba mengubah ucapannya.

Ratu melepaskan pelukannya dan dia melihat Athalla dengan menyipitkan mata. "Bukan salah lo, jadi lo mau bilang ini salah gue?"