webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
93 Chs

Sudah Ingat

Cir... cir... cir....

Suara burung bersahut-sahutan, menandakan jika malam sudah berganti pagi.

Aku menggeliatkan tubuhku di atas tempat tidurku, 'hoam' seketika kututup mulutku yang menguap. Kalau sampai Mama tahu aku menguap tanpa menutup mulut pasti beliau akan mengocehku habis-habisan.

'Mel, anak gadis itu kalau nguap harus ditutup, jangan mangap lebar kayak, Kuda Nil, gak sopan tau!' ocehan itu yang selalu terdengar jika aku menguap di depan Mama tanpa menutup mulut. Huft... untungnya sekarang aku sedang berada di rumah Nenek, jadi untuk sementara waktu aku aman dari ocehan yang memekakkan telingaku, hehe ... maaf ya, Ma ....

Setelah mandi dan sarapan bersama Nenek serta yang lainnya, aku pun kembali menghampiri pohon talok yang kemarin. Aku ingin menikmati udara pagi yang segar khas pedesaan ini.

Lama juga aku tidak berolah raga, aku pun melakukan senam kecil untuk peregangan otot-ototku yang mulai berkarat karna jarang dipakai untuk berolah raga. Aku sedang sibuk melakukan pemanasan, tiba-tiba dikagetkan oleh seekor kucing kampung milik Bagas. Dia berlari dan tak sengaja menabrakku. Untung saja yang menabrak kucingnya, bukan Bagas. Kalau saja yang menabrak Bagas mungkin beda lagi urusannya. Arrrggghhh! Pasti akan kucakar-cakar dia sampai jelek!

"Mel?" Aku menghampiri kucing itu "Pus... Pus... Mel, sini," kupanggil namanya. Dan kucing kampung bertubuh gembul itu menghampiriku.

Aku mengelus bulu-bulunya yang halus dan mengkilat, dia tampak sangat lucu, dan ada kalung yang menghiasi leher kucing berwarna oranye itu. Kalungnya sebuah huruf 'M' yang menandakan inisial namanya. Kucing ini benar-benar sangat menggemaskan, meski hanya kucing kampung, tapi daya keimutannya tak kalah dari kucing ras yang harganya mahal.

Sepertinya Bagas merawat kucing ini dengan baik, sehingga dia terlihat sangat manis, bersih, dan gemuk.

Aku menggendongnya, lalu kuajak duduk dibatas ayunan, kucing itu nyaman dalam pangkuanku.

"Ih, lucu ya kamu, aku sampai pangling sekarang kamu udah gede ya, Mel," bicaraku kepada Mel.

"Mel, kamu ada di sini?" Tanya Bagas yang tiba-tiba mengagetkanku. Aku sampai tersentak, hampir saja aku melemparkan kucing dalam pangkuanku ini.

"Kamu panggil 'Mel' yang mana dulu nih? 'Mel' aku atau 'Mel' dia?" tanyaku dengan wajah bingung. Dan Bagas malah tertawa melihat ekspresiku yang sedang kebingungan ini.

"Ih, kok malah ketawa sih? Aku, 'kan tanya biar gak salah paham lagi?" Aku pun mengerucutkan bibirku.

"Saya panggil, dua-duanya, Mbak!" jawab Bagas dengan santainya.

Lalu dia berdiri tepat di dekatku, tatapannya begitu tengil, entah apa yang sedang ia pikirkan.

"Kamu, ngapain lihat aku begitu?" tanyaku dengan ketus.

"Mbak, ayunannya mau saya bantu dorongin enggak?" tanya Bagas.

Seketika aku teringat pada masa kecilku dulu, saat itu aku selalu menyuruh Bagas untuk mendorong ayunannya, dan setiap giliran Bagas, selalu saja ada alasanku agar aku tetap berada di atas ayunan, dan Bagas yang mendorongku.

"Kamu, mau balas dendam ya sama aku?"

"Hah, balas dendam?" Bagas tampak heran.

"Iya, dulu, 'kan aku selalu kerjain kamu, nyuruh-nyuruh kamu biar mau dorongin ayunan ini!" ujarku dengan pikiran yang seuzon.

"Wah, berarti, Mbak Mel, sekarang udah ingat sama saya ya?" sindir Bagas dengan tatapan meledekku.

"Iya, aku udah inget siapa kamu. Tapi ada banyak hal yang ingin aku tanyakan sama kamu!"

"Mbak Mel, mau tanya apa?"

"Sini ngobrol di bawah!" ajakku.

Lalu aku turun dari atas ayunan, bersama Mel si Kucing Gembul, dalam pelukanku. Aku duduk di bawah pohon talok ini dengan beralaskan sebuah kursi tua, dan Bagas juga duduk di sebelahku.

"Kamu kenapa banyak berubah?" tanyaku.

"Saya banyak berubah?" Bagas bertopang dagu, "perasaan gak ada yang berubah? Mata saya masih dua, kaki dua, hidung juga dua, eh... satu maksudnya, lubangnya yang dua!" ujar Bagas dengan wajah yang serius, tapi aku tahu jika dia hanya pura-pura serius saja.

Dia bertingkah konyol yang hampir membuatku tertawa tapi aku berusaha menahanya. Ini bukan masalah selera humor, tapi masalah harga diri.

"Dulu kamu item banget Bagas! Keling malah, dan kamu juga suka ingusan, udah gitu cengeng banget, masa sekarang enggak?" ujarku dengan jujur. Perkara Bagas tersinggung atau tidak, bodo amat! Karna aku juga sudah terlanjur gemas dengan orang ini.

"Owww," Bagas menganggukan kepalanya, "itu bukan berubah, Mbak, tapi tranformasi," ucap Bagas.

"Astaga! Apa bedanya?!" Aku mengusap wajahku sendiri saking gemasnya.

Tapi Bagas masih terlihat santai, tak ada sedikit pun rasa bersalah, ya memang dia tidak membuat kesalahan, hanya saja aku yang sudah terlanjur sensi kepadanya. habis dia itu sok misterius di hadapanku.

"Mbak, dulu saya, 'kan masih kecil, jadi wajar kalau banyak perubahan. Dulu Mbak Mel, juga gendut, giginya ompong! Sekarang udah gak gendut tuh, giginya juga udah gak ompong lagi, itu artinya Mbak Mel, juga mengalamai perubahan, bukan saya aja yang berubah, dan perubahan dari masa kecil menuju dewasa itu hal yang wajar!" jelas Bagas secara detail, dia sudah mirip guru biologi, entah mirip dari sisi manaya? Pokonya mirip!

Aku pun terdiam sesaat membenarkan ucapannya, hanya saja perubahan yang di alami Bagas ini sangat jauh, sampai aku tak mengenalinya.

Perubahan Bagas itu ibarat seekor katak yang bertranformasi menjadi seekor kelinci, benar-benar tak masuk akal.

"Udah, jangan di pikirin, mending kita ngobrol yang lain aja, gak usah ngobrolin warna kulit, ingus dan lain sebagainya! Itu gak berfaedah banget, Mbak!" ujar Bagas. Tapi jiwa kepo ini kembali meronta-ronta. Dan ada banyak sekali yang ingin aku tanyakan kepada Bagas, mulai dari Mel si Kucing, Nenek-nya, tangganya, sapinya, eh... Bagas, tidak punya sapi! Ah, pokoknya aku masih akan menjadi wartawan dadakan, dan akan melontar pertanyaan beruntun kepada pria ajaib yang ada di sampingku ini.

Aku tidak mau hidup dalam rasa penasaran, aku juga tidak mau mati dan menjadi arwah penasaran. Ah lebai ...!

"Bagas, sebenarya, Mel itu jantan apa betina?" tanyaku sambil menujuk kucing dalam pangkuanku.

"Ke-kenapa, Mbak Mel, tiba-tiba tanya begitu?"

"Ya aku ingin tahu aja, emang kenapa?"

"Ya tapi apa alasannya, Mbak?"

Aku menghela nafas panjang lalu menjelaskan apa alasanku.

"Dulu kamu menamai kucing itu dengan nama 'Mel' Karna kamu bilang kalau dia itu cantik dan imut seperti aku, padahal dulu kita belum tahu dia itu jantan atau betina! Jadi karna hal itulah, aku benar-benar penasaran dan ingin tahu sebenarnya dia itu kucing jantan atau betina!" ucapku dengan tegas.

"Mbak Mel, gak bisa bedain ya, antara kucing jantan sama kucing betina?" tanya balik Bagas.

"Bagas, aku tanya sama kamu, Bagas! kenapa kamu malah tanya balik sama aku?!" Kembali manusia ini membuatku geram, lagi pula salahku juga yang memiliki tingkat ke kepoan yang membagongkan.

Bersambung....