webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
93 Chs

Sudah Dewasa

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Kini tiba saatnya libur kenaikan kelas.

Aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan hanya berdiam diri di rumah saja. Aku pergi ke Semarang untuk menengok Nenek dan Kakek.

Tujuanku bukan hanya itu, aku berharap ada keajaiban di sana, dan aku bisa bertemu dengan Dion.

Aku datang ke Semarang sendrian, Papa dan Mama masih sibuk dengan pekerjaannya di Jakarta, sedangkan Tante Diani juga tidak dapat cuti bulan ini.

Aku sekarang sudah dewasa, kalau hanya ke Semarang seorang diri tidak masalah. Lagi pula aku berangkat naik mobil travel, tinggal duduk manis nanti juga sampai ke tujuan ups! Hehe ....

**********

Kuhabiskan waktu di perjalanan dengan terlelap hingga aku tak sadar sudah hampir sampai di rumah Nenek, jarum jam seakan berputar begitu cepat.

Pemandangan asri has perkampungan menyambutku.

Tak sampai 10 menit mobil berhenti tepat di depan rumah Nenek.

"Udah sampai, Ndok!" tukas si Pakde Sopir travel.

"Makasi, Pakde!" ucapku seraya menuruni mobil, dan pria paruh baya itu menurunkan barang-barangku, kemudian kuberikan ongkosnya dan mobil kembali melaju mengantarkan penumpang lain.

"Mel!" panggil Nenek yang sudah menyambutku di depan pintu.

Kubalas panggilan itu dengan senyuman, dan berjalan dengan langkah tertatih membawa koper.

Pandanganku tertuju kearah Nenek, hingga tak sadar koper yang awalnya terasa berat itu mendadak enteng.

Aku sedikit merasa aneh lalu aku menengok ke belakang, dan ternyata aku hanya membawa gagang kopernya saja, sedang bagian koper yang berisi berang-berang masih tertinggal ... dan sekarang sudah dipanggul oleh Bagas. Entah Bagas muncul dari sisi mana? Pria itu memang seperti makhluk astral yang terkadang menampakkan dirinya secara tidak terduga.

"Lah, kok bisa ya? Perasaan kopernya baru beli deh?" gumamku yang keheranan, karna ini momen yang sangat langka, bisa-bisanya gagang koper terlepas saat dibawa?

Nenek dan Kakek pun menertawakanku.

"Lain kali yang teliti dong, Mbak! Masih mending ini koper ketinggalan di halaman rumah, coba kalau ketinggalan di stasiun atau di bandara? Kan bisa hilang barang-barangnya!" oceh Bagas.

"Duh, Nak Bagas, ini peria yang sigap banget ya! Sangat cocok dijadikan suami siaga buat, Mel!" ujar Nenek.

"Hah?!" Aku mengernyitkan dahiku dengan mulut menganga, sementara Bagas masih sibuk membawa koperku, nampaknya dia tak mendengar ucapan Nenek.

Syukurlah ... karna kalau Bagas sampai dengar, dia bisa besar kepala.

Setelah itu kami duduk di meja makan, kebetulan Nenek sudah menyiapkan sarapan untuk kami.

Meja makan terisi penuh aneka masakan khas kesukaanku.

"Bagas sekalian makan di sini ya," ujar Nenek.

"Iya, Nek, dengan senang hati?" jawab Bagas yang tak tahu diri.

"Ehm!" Aku berdehem sampai membuat yang lain tersentak.

"Awas ya, kalau sampai ingusan di meja makan!" sindirku kepada Bagas.

"Ih, ya enggak lah, Mbak! Masa cowok ganteng kayak aku ini bisa ingusan!" sahut Bagas dengan PD-nya.

"Udah! Lagian Mel, ada-ada aja deh!" ujar Nenek melerai perdebatan kami.

Seusai sarapan Bagas mengajakku ngobrol di bawah pohon talok. Mungkin ini bisa dibilang tempat favorit kami.

"Mbak, Mel! Aku seneng banget bisa ketemu, Mbak Mel, lagi," tukas Bagas.

"Iya aku juga seneng bisa berada di bawah pohon ini lagi sama kamu, rasanya kayak kembali ke masa lalu hehehe," sahut sambil tertawa. "Eh, ngomong-ngomong kapan kamu ke Jakarta lagi?" tanyaku kepada Bagas.

"Ah, gak tahu, Mbak! Sebenarnya Bunda, menyuruhku untuk melanjutkan sekolah di Jakarta sih,"

"La terus kenapa gak mau? Lagian apa sih alasan aku betah tinggal di kampung ini?"

"Huft ...." Bagas menghela nafas sesaat.

"Aku betah di sini karna ini tanah kelahiranku, Mbak. Aku tidak mau jadi orang asing di Jakarta. Sejak kecil aku di besarkan Nenek. Karna Ayah sudah meninggal waktu aku umur 4 tahun. Waktu itu aku sangat sedih, hampir tak pernah tertawa, tapi begitu bertemu dengan Mbak Mel. Aku merasa sangat bahagia, aku seperti memiliki semangat lagi. Bunda bekerja di Jakarta dan menikah dengan pria asli sana, yang sekarang menjadi Ayah tiriku. Beliau orang yang baik, dan menyuruhku untuk tinggal di sana, tapi aku tidak tega kalau harus meninggalkan Nenek. Lagi pula tempat ini adalah tempat di mana aku dibesarkan. Setiap aku memandangi pohon besar dan ayunan yang ada di sampingku ini. Aku merasa keceriaan masa kecilku kembali lagi, dan Mbak Mel, dengan gigi ompong serta gaya songongnya yang dulu menurutku sangat keren itu, seperti menjadi maskot dalam benakku. Aku tidak mau meninggalkan Nenek, dan meninggalkan memori masa kecilku," pungkas Bagas dengan bibir tersenyum dan pandang agak kosong. Sebenarnya aku masih terlalu kurang paham dengan penjelasannya. Pada intinya aku dan Bagas itu hampir sama, aku tidak bisa move-on dari cinta pertamaku, kalau dia tidak bisa move-on dari masa kecilnya. Eh! Nyambung enggak sih?

"Bagas, tapi aku kan juga ada di Jakarta. Kalau kamu di Jakarta kita bisa lebih sering bertemu," pungkasku.

"Iya, Mbak Mel, memang ada di Jakarta. Tapi Mbak Mel, sudah bukan Mbak Mel, yang songong dulu. Bukan Mbak Mel, panutanku lagi. Mbak Mel, sudah banyak berubah, bahkan Mbak Mel juga sudah punya pacar, yah walaupun sekarang lagi di-Ghosting!" ujarnya tanpa rasa bersalah.

"Bagas! Bisa enggak sih jangan ngomongin 'Ghosting!' nyulut emosi aja deh! Lagian apa hubungannya 'Gosthing' sama aku yang dulu? Kamu mah aneh deh! Pantesan jomblo sampai sekarang!" cercaku.

"Mbak Mel, gak ngerti juga ya? Aku itu masih menganggap Mbak Mel, yang keren seperti dulu. Aku tuh pengen Mbak Mel, tetap jadi panutanku. Tapi sekarang keadannya sudah berubah, aku gak bisa selalu dekat sama Mbak Mel seperti dulu karna pasti bakalan ada sisi yang membuat kita merasa tidak nyaman!"

"Bagas, ya kamu harus sadar dong keadaan sudah berubah! Kita ini sudah dewasa! Ya kita harus pertemanan secara dewasa! Gak mungkin, 'kan di usia kita yang udah belasan ini masih main gundu, sama conglak?" ujarku dengan pupil mata yang melebar.

"Berteman secara dewasa ya?" Bagas bertopang dagu.

"Iya!" sengutku.

"Yaudah kalo gitu kita pacaran aja, Mbak!" ucap Bagas dengan entengnya.

"Hah?!" Mulutku langsung terbuka lebar.

"Kata, Mbak Mel, berteman secara dewasa! Karna gak mungkin, 'kan orang seusia kita bermain gundu, atau main, congkak! Berarti kita itu sudah saatnya bermain cinta-cintaan!" pungkas Bagas penuh percaya diri.

Mataku menyipit dengan deru nafas yang kencang, sepertinya Bagas belum pernah merasakan kepalanya terbentur kursi ayunan ya?

Yah ... mungkin sudah saatnya ....

"Mbak Mel, mau ngapain?!"

Bersambung ....

Kadang sesuatu yang menyebalkan bisa menjadi sebuah hiburan. Seperti, Bagas ....

Melisa Aurelie