webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
93 Chs

Sikap Posesif Jeni

Masalah Elis sudah kami anggap selesai, dan kini Elis juga sudah mulai melupakan Julian.

Mungkin awalnya berat bagi Elis, karena wajah Julian terlalu tampan untuk dilupakan, apalagi kalau sampai dibenci.

Tapi aku, dan Jeni, berusaha untuk terus meyakinkan Elis supaya dia bisa melupakan Julian. Berkali-kali aku dan Jeni mengingatkan perbuatan kejam Julian kepadanya.

Sahabatku yang satu ini memang sangat kasar dan terkenal paling Preman di antara kami bertiga, tapi hatinya yang keras itu mudah lunak jika melihat wajah yang rupawan, bahkan dia bisa lupa segalanya.

Huftt ... dasar, Elis!

Dan dari sinilah aku, dan Jeni, dituntut untuk selalu mengingatkan Elis.

Paling tidak dia harus teguh pendirian untuk membenci Julian, serta jangan sampai terkena tipu daya Julian lagi.

Hari ini tepatnya kami habiskan malam minggu di kos baru Elis. Yah semenjak kejadian itu, Elis langsung pindah tempat kos.

Padahal sejak kejadian itu pula Julian sudah tak terlihat lagi di kosannya. Aku sih menduga, mungkin Julian masih di rumah sakit, atau kalau tidak dia sengaja pergi karena takut Elis akan membongkar tentang perbuatannya, sehingga berpotensi membuat orang-orang akan menghajarnya, atau bahkan bisa ditangkap polisi karena mungkin juga Elis sudah melaporkannya ke Pihak Berwajib.

Meski begitu, aku, dan Jeni, terus memaksa Elis untuk pindah dari kos lamanya. Karena Julian bisa hadir kapan saja dan tidak menutup kemungkinan dia akan memiliki rencana yang lebih buruk lagi pada Elis. Terlebih Elis sudah menyakiti anunya dia.

"El, gimana kosan baru elu yang sekarang?" tanyaku pada Elis.

"Yah, lumayan nyaman, Ibu Kos-nya juga baik banget kok," jawab Elis.

"Bagus deh, kalau begitu gue sama, Jeni, bisa tenang kalau lu betah," ujarku.

Lalu Jeni menimbrung pembicaraan kami.

"El, ingat ya, mulai sekarang kamu itu harus hati-hati memilih cowok! Jangan mentang-mentang ganteng aja terus kamu sikat!" pesan Jeni pada Elis.

Elis menganggukkan kepalanya.

"Siap, Bu Jeni!" sahut Elis sambil berformasi hormat.

"Eh, Teman-teman! Beli ketoprak yuk!" ajakku, "aku tadi lihat di bawah kosan ada Tukang Ketoprak yang lagi mangkal!" ujarku.

"Jangan!" sahut Jeni.

"Lah, kenapa?" tanyaku.

"Tukang Ketoprak-nya ganteng banget mirip Oppa-oppa Korea! Nanti Elis bisa naksir!" ujar Jeni.

"Yaelah, Jeni! Sampai segitunya sama gue! Buset dah!" sahut Elis nyablak.

"Kalau emang Elis naksir sama Abang-abang Tukang Ketoprak itu biarin aja kali, Jen! Yang penting Abang itu orangnya baik, gak punya niat buruk kayak Julian!" ucapku pada Jeni.

Kemudian Jeni kembali menyahuti ucapanku dengan Nada tinggi.

"Tuh, orang emang baik, Mel! Tapi yang jadi masalahnya, orang itu udah punya bini!" tegas Jeni.

"Ah masa sih?" tanya Elis.

"Iya, kok kamu bisa tahu sih,

Jen?" tanyaku pada Jeni.

Elis menimbrung lagi, "Iya, Jen! Darimana elu tahu kalau si Abang Tukang Ketoprak, itu udah punya istri?" tanya Elis.

"Ya tahu ... lah, tu orang, 'kan tetangga samping rumah gue!" ujar Jeni.

"Huaah?!" Aku, dan Elis, berteriak kompak secara reflek.

"Jeni, ngomong pakek 'gue?'" ucap Elis yang syok.

Kerena selama ini Jeni itu tidak pernah berbicara dengan logat daerah, dia selalu berbicara dengan nada lembut dan menggunakan Bahasa Indonesia, yang baik dan benar. Bahkan untuk berbicara sehari-hari saja dia selalu memerhatikan kaidah PUEBI dan KBBI. Eh, ya gak gitu-gitu juga sih ....

Kalau soal ini aku yang berlebihan, hehe ....

Pada intinya si Jeni itu hanya terlihat berbeda akhir-akhir ini, karena dia sering berbicara dengan nada tinggi seperti aku dan Elis, padahal dulunya dia sangat alim, dan menjunjung tinggi norma kesopanan.

Apa mungkin aku dan Elis telah memberi pengaruh buruk terhadap Jeni?

Ah tidak! Tidak! Sepertinya tidak penting juga membahas hal ini.

Kemudian Elis melanjutkan kalimatnya pada Jeni.

"Denger ya, Jeni! Gue emang suka sama cowok ganteng! Tapi bukan berarti Abang-abang Tukang Ketoprak juga gue sikat!" ujar Elis dengan tegas.

"Ya kali, kamu, 'kan orangnya suka khilaf," gumam Jeni.

"Hmm!" Elis mendengus kesal.

Sejak kejadian yang menimpa Elis membuat Jeni semakin posesif, sebenarnya bukan hanya Jeni, tapi juga aku. Hanya saja aku tidak separah Jeni.

"Terus kita jadi mau beli ketoprak enggak?" tanya Elis.

"Ya jadi dong! Tapi yang beli aku sama, Mel, aja!" ujar Jeni.

"Terus gue gak ikut?" tanya Elis terlihat kecewa.

"Iya, kamu di sini aja! aku sama, Mel, aja yang turun ke bawah," jawab Jeni.

Akhirmya Elis pun nurut saja, dia tidak mau Jeni semakin marah kepadanya, dan yang terpenting bagi Elis, dia tetap ditraktir ketoprak gratis dari aku, dan Jeni.

***

Setelah membeli tiga porsi ketoprak, kami kembali masuk ke kamar ke Elis.

Saat baru masuki ruangan aku melihat Elis yang sedang membaca pesan pada ponselnya, wajah Elis agak sedikit pucat. Bahkan terlihat jelas jika Elis sedang ketakutan.

"El, elu kenapa?" tanyaku.

"Enggak!" sahut Elis dengan sedikit gugup, dan Elis juga langsung menyembunyikan ponselnya di dalam saku.

Tanpa berbasa-basi Jeni langsung meraih ponsel Elis.

"Mana ponselnya!" paksa Jeni.

"Ih, apaan sih, Jen!" ujar Elis. Dan dia masih berusaha menyembunyikan ponselnya dari Jeni.

Tapi Jeni tak menyerah dan dia tetep berusaha untuk merebut ponsel Elis hingga akhirnya berhasil juga.

Kemudian Jeni langsung membukanya.

"Jen jangan buka-buka HP gue dong! Ini, 'kan privasi!" ujar Elis.

"Bodo amat!" ujar Jeni.

"Jen! Jen!" teriak Elis dan masih berusaha untuk mendapatkan ponselnya kembali.

"Jangan, Jen!"

"Diam, El!" bentak Jeni.

Kedua mata Jeni langsung terbelalak saat mendapati Julian masih mengirim pesan kepada Elis, terlebih pesan yang ia kirim berupa ancaman.

"Wah, gila ni, orang!" ujar Jeni.

"Ada apa, Jen?" tanyaku.

Jeni mnunjukkan tulisan dalam ponsel itu kepadaku.

"Nih, baca deh, Mel!" ujar Jeni dengan kesal, dan aku segera membacanya.

[El, gua gak bakalan tinggal diam! Elu nyaris merusak masa depan gue, untung aja Adek gue enggak kenapa-kenapa, hanya ada sedikit trauma aja, tapi meski begitu gue tetap bakalan balas dendam sama elu!] tulis Julian dalam pesan itu. (Adek maksudnya alat viral Julian)

"Kurang ajar banget, si Julian!" ujarku penuh emosi.

"Enaknya kita apain nih, anak?" tanya Jeni.

"Udah kita biarin aja," ujar Elis.

"Lah kok dibiarin?" protesku yang tak terima, Jeni juga tidak terima.

"Iya, El! Si Julian ini udah keterlaluan banget loh!" kata Jeni.

"Tapi kalau kita semakin mencari masalah sama dia, urusannya bakalan panjang! Bahaya banget!" sahut Elis.

"Tapi—" Elis memotong kalimatku.

"Udah deh, Mel! Percaya deh sama aku, Julian itu benar-benar orang yang berbahaya! Dia itu Germo, udah gitu dia punya banyak Bodyguard!" kata Elis, "sementara kita cuman anak SMA yang lemah!" imbuhnya lagi.

Seketika Jeni langsung menyahuti ucapan Elis.

"Kata siapa kita, lemah?!" ujar Jeni.

Bersambung ....