webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
93 Chs

Putus Sekolah

Puas sudah aku mengobrol panjang lebar bersama Nenek dan Kakek. Kemudian Tante Diani beranjak kekamar untuk tidur, karna memang perjalanan dari Jakarta ke Semarang sangatlah melelahkan. Tapi bagiku rasa lelah itu hampir tak terasa karna tertutupi rasa rindu yang mendominasi di fikiran.

Saat Tante Diani beranjak ke kamar aku pun meminta izin kepada Nenek dan Kakek, untuk ke rumah Dion.

"Nek, Kek, Mel minta izin pergi kerumah teman dulu ya?" ujarku.

Lalu Nenek dan Kakek tampak heran karena aku hampir tak pernah datang kemari tapi kok sudah memiliki kawan.

"Lo memangnya temanmu itu siapa to, Mel? Kamu, 'kan jarang kemari, dan teraktir datang ke rumah Nenek, saat kamu masih berusia 6 tahun, itu lama sekali lo? Kok kamu bisa punya teman sih?" tanya Nenek secara beruntun.

"Ah ada dong, Nek, dia baru pindah di kampung ini gara-gara Ibunya yang sedang sakit, emm... kalau gak salah nama Ibunya tuh, Bu Ningrum," jelas ku kepada Nenek.

"Owh, si Bocah Ganteng, itu to?" ujar Nenek sambil tersenyum, "yang rumahnya di samping sungai?"

"Nah itu dia, Nek!"

"Owalah, dulu ibunya itu, tukang jait langganan Nenek, kalau mau bikin baju Nenek selalu datang ke rumahnya, soalnya hasil baju bikinan, Bu Ningrum itu bagus-bagus sekali, tapi sekarang sayang beliau sedang sakit keras," tutur Nenek.

"Wah ternyata Nenek, kenal ya? Em... kalau gitu Mel, boleh kesana ya, Nek?"

"Ya boleh dong! Oh iya sekalian bawain oleh-oleh ya kebetulan Nenek tadi baru bikin kue," ujar si Nenek.

"Ah iya, Nek,"

Nenek langsung pergi ke dapur sebentar, lalu keluar lagi dengan membawa kantung kresek warna putih.

"Ini kuenya, jangan lama berikan kepada Bu Ningrum, dan kamu juga harus hati-hati di jalan ya," pesan Nenek.

"Iya, Nek,"

"Eh, satu lagi!"

"Ap itu, Nek,"

"Nanti kalau ada anak badung, godain kamu jangan takut, bilang kalau kamu itu cucu Nenek, pasti mereka gak bakalan berani berkutik!" pesan Nenek kepadaku, tapi nada bicaranya sudah mirip dengan Abang-abang Preman, hehe... beliau ini memang sangat lucu.

"Siap, Nek!" Aku langsung mengangkat tangan kanan dan formasi hormat bendera.

"Kalau gitu Mel, berangkat dulu ya!" Kucium tangan Nenek dan beranjak pergi.

Sambil berjalan aku berkali-kali mengecek ponselku dan membaca ulang alamat yang dikirimkan oleh Dion. Meski letaknya sangat strategis dan tidak terlalu jauh, tapi aku masih ragu, dan takut kalau nanti malah tersesat.

Namun sampai di pertengahan jalan aku bertemu dengan segerombolan anak muda, yang sedang berkumpul dan bermain gitar bersama.

Rasanya aku sangat malu untuk lewat di depan mereka. Terlebih aku adalah orang asing di sini, lalu bagaimana kalau mereka berbuat jahat kepadaku?

Duh, lama-lama aku takut ....

Tapi yasudahlah, aku lewat saja, toh sebentar lagi juga sampai, tanggung kalau harus putar balik.

Saat aku berjalan tepat di depan mereka tiba-tiba saja, kakiku menyandung sesuatu, hingga aku terjatuh. Kantung pelastik kue yang kubawa juga terjatuh, begitu pula dengan ponselku, benda pipih itu tergelincir.

Huft... benar-benar situasi yang menyebalkan.

"Walah ada, Gadis Ayu, mau kemana? Sini biar Mas, bantuin!'' ujar salah seorang pemuda itu.

Aku pun terdiam dan berusaha bangun sambil memungut kantung kresek dan ponselku. Mendadak aku dikagetkan oleh seorang pemuda yang menghampiriku, dia membantuku berdiri.

"Ayo, Mbak, saya bantuin," ucapnya.

Aku merasa deg-degan, pemuda itu memang tampan, tapi penampilannya sangat urakan. Dia menggunakan kaus hitam di padu dengan celana jeans yang sobek-sobek, rambutnya juga acak-acakan. Aku lihat penampilan pemuda yang lainnya pun sama. Apa mereka itu kelompok para, Preman?

Bagaimana ini? Aku takut sekali!

"Mbak, ayo bangun! Mbak-nya, mau diem di sini aja?" tukasnya, seraya mengulurkan tangan kearahku.

Akhirnya dengan ragu-ragu aku meraih tangan pemuda itu. Lagi pula aku tidak boleh berpikiran buruk dulu, dan aku juga teringat dengan pesan Nenek tadi sebelum aku berangkat.

Kalau ada yang macam-macam atau menggodaku, tinggal bilang saja kalau aku cucunya Nenek Sugiyem, pasti mereka tidak akan berani lagi.

Entah benar atau tidak ucapan si Nenek, tapi aku rasa tidak perlu memberitahu pemuda ini, toh dia juga tidak macam-macam kepadaku.

"Ini ponselnya, Mbak," Pemuda itu juga mengambilkan ponselku yang terjatuh.

"Terima kasih," ucapku.

"Memangnya, Mbak, mau kemana? Mau saya antarkan?" tanya Pemuda itu dengan sopan. Benar-benar penampilannya yang mirip preman ini tidak sesuai dengan tutur katanya yang lambut, dan dari raut wajahnya terlihat sekali jika anak ini juga tulus menolongku.

"Ah gak usah, Mas, terima kasih," Aku pun juga menolaknya dengan sopan.

"Udah, gak apa-apa, biar saya antarkan!" paksanya sambil mengambil motor.

"Gak usah, Mas! Beneran, saya jalan kaki aja," ujarku.

"Udah ayo, Mbak! Rezeki gak boleh ditolak lo," ucapnya.

"Tapi—"

"Udah, gak usah takut sama saya, karna saya ini orang baik, bukan orang jahat!" ucapnya meyakinkanku.

Akhirnya kuterima saja ajakannya, lagi pula berjalan kaki itu lumayan melelahkan.

"Ah yasudah deh, saya mau! Terima kasih ya, Mas!" ucapku.

"Iya!"

Sepanjang perjalanan menuju rumah Dion, sama sekali aku tak mengobrol dengan pria yang sudah memboncengku ini, karna aku belum mengenalnya, lagi pula aku adalah tipe orang yang tidak bisa langsung akrab dengan orang yang baru kutemui.

Huh... rasanya benar-benar sangat canggung.

kemudian pemuda itu mencoba bertanya kepadaku, mungkin dia ingin mencairkan suasana.

"Oh iya, ngomong-ngomong, Mbak ini namanya siapa? Dan tujuan kita ini mau kemana?"

Ya Tuhan, aku sampai lupa memberitahu kemana tujuanku kepadanya.

"Nama saya Melisa, Mas! Dan saya mau ke rumah, Bu Ningrum," jawabku.

"Oww ...." Dia mengangguk paham, dan sekarang motornya malah sudah berhenti di depan rumah sederhana dengan pagar besi setengah badan berwarna biru.

"Loh, kok berhenti?" tanyaku heran.

"Ini rumah, Bu Ningrum, Mbak," jawabnya.

"Oh, sudah sampai ya?" ucapku sambil menuruni motor.

"Ya sudah, saya langsung pergi ya, Mbak!"

Rueng!

Dia berlalu begitu saja dengan motornya, padahal aku belum sempat berterima kasih dan bertanya siapa namanya?

Ah yasudahlah, salah siapa langsung ngibrit. Aku langsung memasuki gerbang.

Lalu kuketuk pintu rumah itu.

Tapi sepertinya tidak ada orang, aku mengulangi kata 'Assalamu'alaikum' dan bolak-balik mengetuk pintu, tapi tak ada yang menyahutiku.

Akhirnya aku memutuskan untuk duduk di kursi teras, sambil membuka ponsel dan segera menghubungi Dion.

Drrtt...

"Halo Dion kamu dimana?" tanyaku.

[Aku lagi jalan pulang dari rumah sakit, Mel!] jawabnya.

"Masih lama ya?"

[Enggak sih, sebentar lagi juga sampai rumah, memangnya ada apa?]

"Aku sudah ada di depan rumah kamu, Dion! Dan aku lagi duduk di kursi teras,"

[Hah! kamu udah sampai kampung?!]

"Iya, Dion,"

[Yes! Tingguin ya!] Dion terdengar girang.

"Eh, pelan-pelan aja nyetirnya, Dion! Kamu lagi bawa mobil, 'kan?"

[Iya, Sayang, ini juga pelan kok, kan aku lagi bawa Ibu,]

"Oh, yasudah hati-hati ya,"

[Iya, Calon Istri....]

"Ih, apaan sih!"

Aku langsung mematikan telepon, karna Dion sedang dalam perjalan, bahaya bermain ponsel saat berkendara.

***

Tak berselang lama terlihat mobil berwarna putih memasuki gerbang rumah Dion.

"Itu pasti, Dion," Aku langsung berdiri.

Tin!

Dion menekan klakson dengan kencang. Sengaja supaya aku kaget, 'Emang dasar iseng!'

Ceklek!

Dion keluar dari dalam mobil sambil tersenyum lebar.

"Melisa!" panggilnya sambil berlari menghampiri dan bersiap memelukku. Tangannya sudah mengepak dua-duanya mirip burung yang akan terbang.

Aku pun terdiam pasrah, dia benar-benar memelukku, ini mirip adegan di film India.

Entah harus disebut romantis atau norak?

"Mel, kangen ...." Ucapnya.

"Sama aku juga kangen," jawabku.

"Tapi ...,"

"Tapi apa, Mel?"

"Tapi, Ibu kamu mana?" tanyaku.

"Astaga!" Dion menepuk keningnya sendiri, "Ibu, masih ada di dalam mobil!" ujarnya.

Dion langsung melepas pelukannya lalu berjalan menghampiri sang Ibu.

"Aduh, Bu, maafin Dion yang durhaka ini, Bu. Tolong jangan kutuk Dion, jadi batu ya," bicara Dion sambil menuntun sang ibu keluar dari dalam mobil.

Dia membawa ibunya mendekat kearahku.

Aduh, rasanya benar-benar deg-degan, aku bertemu dengan Ibu-nya Dion. Aku takut kalau beliau tidak menyuakiku.

"Bu, kenalin ini pacarnya, Dion namanya, Melisa!" ucapnya Dion mengenalkanku dengan bangga kepada ibunya.

Aku pun tersenyum ramah sembari meraih tangan beliau yang begitu kecil.

"Salam kenal, Tante," tukasku.

Wanita kurus dengan wajah pucat, dan tubuh yang terlihat sedang lemas ini, juga menyambutku dengan hangat. Terlihat betul jika beliau ini adalah orang yang baik.

"Wah ini to yang namanya,

Melisa? Ayu tenan!" tukasnya sambil mencolek daguku. Nada bicaranya begitu khas logat Jawa Tengah.

"Ah, Tante, bisa aja," ujarku malu-malu.

"Oh iya, Mel, bawa kue dari Nenek Sugiyem, Nenek-nya, Mel" aku menyodorkan plastik berisi kue kearahnya.

"Lo ternyata kamu cucunya, Nenek Sugiyem, to?''

"Ah iya, Tante," jawab ku

"Ah manggilnya 'Bu' aja biar kompak kaya Dion," tukasnya.

"Baik, Bu," jawabku sambil mengangguk.

Kemudian Bu Ningrum masuk kedalam kamar sembari berpamitan kepada kami.

"Yasudah, Ibu mau istirahat dulu, kalian ngobrol berdua aja ya,"

"Iya, Bu!" sahut Dion.

"Dion, ingat anak orang jangan diapa-apain," pesan Bu Ningrum.

"Iya, Bu! Ya Allah, curigaan banget sama anak sendiri," keluh Dion dengan nada bercanda.

"Ibu ngingetin, bukan curiga!" tegas wanita paruh baya itu.

***

Kami kembali mengobrol di teras rumah.

"Pacarku Mel, ini ternyata makin cantik aja ya," ledek Dion sambil mencolek pipi kiriku.

"Ah kumat deh gombal!" sengutku.

"Ih serius!"

"Ah, kamu mah, Raja Gombal!" cercaku.

Kami masih mengobrol bersama, membahas segala topik, di

mulai kisah sehari-hari hingga masalah keluarga, lalu sampailah aku membahas tentang sekolah.

"Dion, gimana dengan sekolahmu?"

"Sekolah...." Dion terdiam sesaat, dan dia menundukan kepalanya. Seperti ada sesuatu yang membuatnya sangat kecewa, lalu dia menghela nafas dan menjawab pertanyaanku.

"Aku berhenti sekolah, Mel," jawabnya.

Mungkin ini karna dia yang terlalu sibuk mengurus sang ibu, lagi pula di sini dia tak memiliki saudara lagi.

Mau tak mau dia sendiri yang harus menjaga ibunya dan mengantarkan beliau pergi ke dokter.

Bu Ningrum, memiliki penyakit komplikasi, dan belum lama ini beliau juga difonis leukimia.

Aku bisa memahami bagaimana sulitnya Dion, aku tidak perlu mengintrogasinya, ini malah akan menambah beban baginya. Hanya saja aku kecewa, karna melihat anak cerdas seperti Dion, harus putus sekolah dan berhenti mengejar cita-citanya, sejenak aku tertegun.

"Mel, kenapa diam? Kamu pasti kecewa ya sama aku? Karna aku bukanlah orang yang bisa kamu banggakan?" tanya Dion yang tampak gelisah. Aku masih terdiam, karna bingung harus berkata apa?

Selang beberapa saat, Dion berbicara lagi.

"Aku ngerti kok Mel, aku memang payah kalau pun kamu akan meninggalkanku untuk mencari yang lebih baik dariku ... aku rela kok," pungkasnya.

Air mataku jatuh mendengar pernyataan Dion. Tidak mungkin aku meninggalkannya yang sedang terpuruk ini. Aku bukan gadis yang jahat?

"Ah kamu ngomong apa sih? Aku gak bakal ninggalin kamu, Dion. Aku janji bakal setia sama kamu kok, dan terus support apa pun pilihan kamu!" ujarku meyakinkanya.

Dan Dion pun tersenyum, Dia mengusap rambutku lalu mengecup keningku dengan hangat, "Makasi ya, Mel," lirihnya.

Bersambung....