webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
93 Chs

Pulang

Kehadiran gadis yang bermama Nadira ini benar-benar sangat mengusikku, apalagi dengan gaya ramah dan sok akrabnya kepada Dion.

"Mas, ini aku bawain bolu kukus rasa coklat kesukaan Mas Dion, aku sendiri yang membuatnya lo, Mas," ucap gadis itu dengan manja.

'Ih, sok imut banget,' batinku.

Tentu saja aku semakin kesal, apalagi saat dia berkata, 'ini bolu kukus rasa coklat kesukaan, Mas Dion' seolah-olah kata-kata ini menggambarkan jika dia benar-benar dekat dengan Dion, bahkan sampai tahu apa saja makanan kesukaan Dion. Aku mendengus kesal, dan memalingkan wajahku dari Dion. Kuambil gawai dari dalam saku lalu memainkannya.

Scroll layar ponsel tanpa tujuan, membuka media sosial padahal sedang tidak ingin membukanya.

Aku hanya mengalihkan rasa kesalku terhadap situasi ini.

"Terima kasih, Nadira, nanti aku bakalan makan," ucap Dion sambil tersenyum ramah. Aku tak heran akan hal itu, Dion memang orang yang sangat ramah kepada siapa saja. Tapi entah mengapa saat dia bersikap ramah kepada gadis ini aku benar-benar tak suka.

"Ya sudah, aku pulang dulu ya, Mas! Nanti kalau butuh sesuatu panggil aja, hari ini aku gak kemana-mana kok," ujar Nadira.

"Baiklah, Nadira! Sekali lagi terima kasih!"

"Iya, Mas! Sama-sama!" Gadis itu mulai pergi.

Dan Dion menengok kearahku. Dia tahu jika aku sedang kesal ... terang saja wajahku sudah kusut mirip pakaian yang belum di setrika.

"Mel, kamu marah ya?" tanya Dion kepadaku.

"Enggak, biasa aja!" sangkalku dengan ketus.

"Mel, udah ngaku aja kamu cemburu, 'kan sama Nadira?" tanya Dion secara terang-terangan.

Seketika aku menaruh dengan kasar ponselku di atas meja.

"Kayaknya kamu sama tetangga kamu itu dekat banget ya?" sindirku dengan sinis.

"Mel, aku emang dekat sama dia, secara aku dan dia itu tetanggan, ya wajar dong kalau aku ramah sama dia. Apa lagi dia itu sudah banyak membantuku," jelas Dion.

"Jadi dia tetangga yang kamu bilang sering jagain, Bu Ningrum?"

Dion pun menganggukan kepalanya, "Iya," jawab Dion.

Hufft ... aku kesal dengan diriku sendiri, karna aku tidak bisa membantu Dion setiap hari seperti gadis itu, ya mau bagaimana lagi rumahku memang tak sedekat rumah gadis itu.

Tapi kenapa gadis itu harus bertingkah sok akrab dengan Dion? Eh ... bukan akrab tapi lebih ke centil sih!

Tentu saja aku sangat cemburu, Dion itu, 'kan pacarku!

"Mel, udah dong jangan cemberut terus, aku beneran gak ada apa-apa sama dia, aku aja percaya sama ucapan kamu yang gak ada apa-apa sama Bagas, harusnya kamu juga percaya dong sama ucapanku," paksa Dion.

Huff ... kembali aku menghela nafas supaya tenang, ya harusnya aku percaya saja sama Dion, dia itu bukan tipe cowok playboy. Dan kalau dilihat-lihat yang kegatelan itu gadis yang tadi, bukan Dion. Mungkin gadis tadi menyukai Dion, tapi aku tak peduli, toh Dion milikku, dan Dion juga sangat mencintaiku.

Aku percaya sama Dion, dan kami saling berbaikan lalu kembali mengobrol.

Kurang lebih 2 jam aku berada di rumah Dion, lalu Tante Diani mengajakku pulang, karna memang hari sudah mulai sore, kami harus membantu Nenek memasak untuk makan malam.

"Dion, aku sama Tante pulang dulu ya,"

"Apa perlu aku antarkan?" Dion menawari kami tumpangan.

Kebetulan mobilnya juga masih ada di luar gerbang dan belum masuk ke garasi. Tapi aku menolaknya karna kasihan Bu Ningrum sendirian, kalau Dion mengantar kami, nanti yang ada malah Dion memanggil Nadira untuk menjaga ibunya, dan hal itu bisa membuatku emosi lagi.

"Kita, jalan kaki aja Dion, sekalian olah raga," ucapku sambil tersenyum manis.

"Ih, Mel, padahal mah diterima aja, lagian capek tahu jalan kaki," bisik Tante Diani di telingaku.

"Enggak bisa, Tante," bisikku di telingnya.

Aku mencengkram tangan Tante, dan kuajak dia berjalan. Dengan raut terpaksa Tante mengikuti ajakanku.

***

5 hari sudah aku berada di Semarang. Dan hari ini kami harus pulang ke Jakarta. Aku harus melanjutkan aktivitas sebagai seorang pelajar. Dan Tante juga harus kembali bekerja di kantor, masa cuti beliau sudah habis.

Meski berat harus meninggalkan Semarang, tapi aku masih bersyukur, setidaknya hubunganku dengan Dion baik-baik saja. Permasalahan kami juga sudah selesai, dan semua hanya karna salah paham.

Tadi malam Dion juga sempat mampir sebentar di rumah Nenek, kami juga mengobrol, yah ... untuk sekedar mengucapakan salam perpisahan.

Setelah itu Dion pulang, tentu dia tidak tega meninggalkan Bu Ningrum lebih lama.

Aku sempat menangis saat Dion memelukku, bahkan dia juga mengecup keningmu, huft ... kami akan berpisah lagi. Aku berharap kami bisa bertemu lagi, dan hubungan kami ini masih bisa terus berlanjut. Aku tidak tahu bagaimana jadinya kalau aku sampai putus dengan Dion. Aku sangat menyayangi Dion.

"Mel, udah siap belum?" Tante memanggilku.

"Iya, Tante!" jawabku sambil menarik koper besar milikiku.

"Kayaknya berat banget, kamu bawa apa sih, Mel?" Tante Diani tampak heran.

"Ya, baju dong, Tante! Apa lagi!" sengutku.

"Hah, lagian cuman mau ke rumah Nenek aja, baju satu lemari di bawa semua!" oceh Tante.

"Udah dong, Diani! Mel, jangan diomelin mulu!" ujar Nenek membelaku.

Asyik Nenek, memang Ibu Peri yang selalu menolongku.

Aku tersenyum sinis kearah Tante, setelah itu menghampiri Nenek sambil memeluknya.

"Mel, sayang banget sama, Nenek, nanti pasti Mel bakalan kangen sama Nenek Sugiyem, yang baik hati ini," ucapku manja kepada Nenek.

"Hmm! Preet!" Tante Diani mencibirkan mulutnya.

"Kalau bukan karna Dion, juga gak bakalan kesini" gerutu Tante Diani, lalu Kakek berjalan mendekatinya.

"Diani, udah jangan dumel terus, diingat-ingat lagi, ada barang yang ketinggalan enggak?" tannya Kakek.

"Enggak ada kok, Pak!" jawab Tante.

Kami masih menunggu di depan rumah Nenek, sampai mobil travel yang menjemput kami datang.

Kami pulang tidak mengendari bus lagi melainkan mengendari mobil travel milik tetangga Nenek.

"Masih lama enggak sih, Tante?" tanyaku sambil melihat jam tangan.

"Bentar lagi juga sampai, Mel, mobilnya lagi jemput penumpang di kampung sebelah," jawab Tante sambil membaca pesan dari sopir travel itu.

Aku pun duduk di bawah pohon talok, sambil mengucapkan salam perpisahan kepada ayunan tua ini.

Dan melihat ayunan aku jadi teringat dengan Bagas, bahkan aku lupa tidak berpamitan kepadanya lagi.

Aku mengedarkan pandanganku mengitari halaman rumah Bagas.

"Cari apa, Mbak?" tanya Bagas yang tiba-tiba sudah ada di dekatku.

"Astaghfirullah, Bagas! Kamu bikin kaget aja deh!" ujarku sambil mengelus dada.

Tapi wajah Bagas tampak kaku, seperti sedang kesal terhadapku.

"Mbak Mel, gak pernah nganggap saya sebagai teman ya?" tanya Bagas.

"Hah?!" Aku membuka mulut sambil mengernyitkan dahi.

"Dulu, Mba Mel, pergi gak pamitan sama saya, dan sekarang pun juga begitu, jujur saya kecewa sama, Mbak Mel!" tukas Bagas dengan raut kesal.

"Ma-maaf, Bagas, tapi aku—"

"Udah ah, Mbak! Saya bisa paham kok!" Bagas langsung pergi begitu saja meninggalkanku.

Bersambung ....