webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
93 Chs

Pertemuan

Aku tidak tahu apa alasan Dion, sampai harus menginap di rumah Nadira, yang jelas ini benar-benar membuatku marah-semarah-marahnya, dengan Dion!

Kenapa harus menginap di sana?

Sementara rumah peninggalan Bu Ningrum masih berdiri kokoh?

"Mbak Melisa, gak apa-apa, 'kan? Kok jadi ngelamun sih? Mbak Melisa, mikirin apa?" tanya Nadira.

Aku menggelengkan kepalaku dengan raut kesal, "Nadira! Memangnya ada hubungan apa sih, kamu sama Dion?!" tanyaku dengan ketus.

"Kenapa, Mbak Melisa, tanya begitu? Kesannya kepo banget gitu?" Nadira seperti sengaja memancing amarahku.

"Nadira, jujur! Kamu suka ya, sama, Dion!?"

"Mbak Melisa, mau tanya apa mau ngajak berantem sih? Kenapa nada bicaranya ketus begitu?"

"Jawab! Jangan bertele-tele!" Saking kesalnya aku pun membentak Nadira.

Tapi dengan santainya gadis itu berkata, "Aku sama Dion itu dekat banget, Mbak! Sangat—dekat! Bahkan, kemungkinan besar aku dan Dion, akan menikah!" ucap Nadira dengan penuh yakin.

"Nad! Kamu bicara begitu kamu sadar enggak sedang berhadapan dengan siapa? Lagi pula kamu itu masih, SMA, 'kan?!"

Dan Nadira masih juga santai menanggapi pertanyaanku ini, bahkan melihatku yang marah tak ada sedikit pun takut di raut wajahnya.

Dia tersenyum selengean seperti menyepelekanku.

"Mbak, dengar ya! Aku udah tahu kok, kalau kamu itu mantan pacarnya Dion yang belum move on! Dan aku memang akan menikah dengan Dion! Terus kalau aku masih SMA, kenapa? Dion masih mau menunggu sampai beberapa tahun lagi tuh!" jelas Nadira penuh percaya diri.

Aku tidak habis pikir kenapa Nadira, bisa berbicara sepercaya diri ini kepadaku? Aku juga tidak tahu perkataan Nadira benar, atau memang hanya mengada-ada saja!

Tapi kalau benar! Aku sangat kecewa dengan Dion!

Dia sudah meninggalkanku karena lebih memilih Nadira.

"Udah, Mbak Melisa, lupain Dion, masih banyak, 'kan cowok Jakarta yang lebih ganteng dan keren, karena Mas Dion itu cuma punya aku," ujarnya.

"Diam kamu, Nadira! Aku cuman suka sama, Dion! Bukan sama cowok lain!" sahutku.

"Tapi, Mas Dion itu udah gak suka sama, Mbak Melisa, dia lebih memilih aku!" Nadira mandangku dengan ekpresi menghina, "apa Mbak-nya, gak malu ya, ngarep sama cowok, yang suka dengan cewek lain!"

"CUKUP!" bentakku.

Seketika Nadira langsung terdiam

Aku tak tahan lagi berada di tempat ini, kalau aku semakin lama berada di tempat ini yang ada aku semakin emosi.

Rasanya tidak etis kalau aku jambak-jambakan bersama Nadira hanya karena seorang pria. Terlebih aku ini bukan warga asli kampung sini, yang ada mereka akan mengeroyokku karena sudah membuat keributan dengan salah satu warganya.

Akhirnya aku nemutuskan untuk pergi meninggalkan Nadira begitu saja, dan kulirik sesaat kearah wajahnya ... dia tengah tersenyum sinis kepadaku.

Aku tahu itu sebuah cercaan secara tidak langsung.

Aku tidak peduli, langkah kakiku semakin kupercepat.

Sekitar 20 meter dari depan rumah Dion, aku di kagetkan dengan sebuah mobil truk besar yang hampir menabrakku.

TIN!

Klakson mobil truk itu memekakkan telinga.

Aku tersungkur, ini bukan salah si Sopir, tapi ini salahku yang berjalan terlalu cepat dan tidak memperhatikan keadaan. Hingga ada mobil sebesar ini nyaris menabrakku.

Seketika mobil itu berhenti, dan terdengar suara pria setengah tua berseru kepada seorang pemuda.

"Le, tolong dibantu, kasihan itu jatuh!" ucapnya.

Dan seorang pemuda keluar dari dalam mobil truk.

Ini seperti hari yang sudah di rencana oleh Tuhan, sebagai hari pertemuanku dengan Dion.

"Mel, kamu gak apa-apa?" tanya pria itu. Dia menjulurkan tangannya kearahku, tapi sama sekali tak kutanggapi.

Kucoba bangkit sendiri dan mengabaikan tangan yang sejak tadi sudah menunggu untuk kusambut.

"Kamu gak usah sok baik, Dion!" ucapku dengan nada ketus.

Pria itu tak menyahuti dengan sepatah kata pun. Dia sepertinya sudah memahami kemarahanku.

Dan tak lama, Bapak, alias si Sopir Truk, sekaligus ayah dari Nadira itu turun dari mobilnya.

"Ndok, kamu gak apa-apa?" Dia bertanya, lalu kupasang senyuman palsu dan gelengan kepala.

Aku tahu beliau orang yang baik, meski anak gadisnya kurang baik.

"Iya, Pak! Saya gak apa-apa kok, saya baik-baik saja," jawabku.

"Lain kali hati-hati ya, bahaya kalau seperti tadi, hadeuh! Bapak sampek deg-degan!" katanya.

"Maaf, Pak! Saya tadi khilaf," jawabku lagi.

"Iya, gak apa-apa, dan kalau boleh tahu kamu mau mana to?" Beliau bertanya lagi dengan logat khasnya.

Dan aku masih menjawabnya dengan santun, sementara Dion hanya diam saja dengan raut wajah yang agak pucat.

"Saya cuman jalan-jalan aja, Pak! Kebetulan saya lagi liburan di kampung ini,"

"Ow," Si Bapak manggut-manggut, "mari mampir ke tempat, Bapak, rumahnya ada di depan sana," kata beliau menawariku.

"Iya, Pak! Terima kasih, mungkin lain kali saja, tapi kalau boleh saya mau minjam sesutu," ucapku.

"Minjam apa ya?" Si Bapak terlihat bingung.

"Saya mau pinjam Kenek, Bapak yang ngeselin itu!" ujarku sambil menunjuk kearah Dion.

Seketika kedua mata Dion melotot setengah kaget.

"Oh, Dion? Kamu temanan Dion?" tanya si Bapak memastikan, aku mengangguk sambil tersenyum paksa.

"Oh, yasudah boleh, ambil aja! Kalau begitu, Bapak tak pulang dulu ya, gak mau ganggu urusan anak muda," katanya, lalu beliau kembali masuk ke dalam mobil dan berlalu pergi.

Tinggal aku dan Dion saja.

Tanpa berbasa-basi aku langsung menarik tangan Dion dan membawanya duduk di pinggir sungai.

Kebetulan tak jauh dari tempat kuberdiri tadi ada aliran sungai kecil, yang menurutku pemandangannya lumayan bagus, tidak seperti di Jakarta yang sungainya sudah banyak tercemar sampah dan limbah pabrik.

"Mel, kamu ngapain ngajak aku kesini?" tanya Dion.

Aku tidak menjawabnya, tapi aku mandang Dion dengan tatapan tajam. Dia tahu kalau aku sedang marah.

"Maafkan aku, Mel, aku tahu aku salah ...." Dion menundukkan kepalanya.

Aku pun memalingkan wajahku, lalu memandang aliran sungai sambil menyelupkan kedua kakiku di dalamnya.

"Dion! Sejak kapan kamu jadi pengecut?" tanyaku.

Tapi Dion tak menjawabnya, hanya diam dan pandangan belum beralih, dia masih menunduk melihat kebawah.

"Kamu tahu enggak? Hampir satu tahun lo aku galau?" kulirik Dion sesaat, "aku mikirin kamu, Dion! Aku nunggu kepastian dari kamu!"

Kukedipkan kelopak mata lalu terjatuh butiran bening.

"Mungkin di mata kamu aku gak berarti, Dion. Tapi di mataku, kamu itu sangat berarti!"

"Mel, maafin ak—"

"Aku gak butuh kata maaf dirimu, Dion! Aku butuh kejelasan!" tegsaku.

"Mel, sebenarnya—"

"Kamu udah pacaran sama, Nadira, ya?"

"Bukan! Tapi aku—"

"Nadira, bilang kamu itu sering nginep di rumahnya! Dan dia juga bilang kalau kamu itu calon suaminya!"

"Mel, dengerin penjelasan aku dulu, Mel!"

"Ok, aku kasih kamu waktu buat jelasin semuanya!"

Bersambung ....