Tak terasa satu tahun telah berlalu, hari ini adalah hari terakhir berada di sekolah.
Besok akan tiba libur panjang bagi kami. Yah, libur kenaikan kelas. Yang artinya aku akan menyandang gelar siswa kelas Tiga SMA.
"El, liburan panjang kamu mau kemana?" tanya Jeni.
"Yah, aku mah palingan juga ke Jonggol, ke tempat orang tua! Habisnya mau kemana lagi?" jawab Elis.
"Kirain aku, kamu bakalan pergi kemana, gitu?"
"Terus elu sendiri mau kemana, Jen?" tanya Elis pada Jeni.
"Aku, rencana mau ke Ciamis nengokin Nenek, sekalian mau liburan di sana," jawab Jeni.
"Kalau elu rencana liburan panjang mau kemana, Mel?" Elis gantian bertanya kepadaku.
"Eh, aku ... mau kemana ya ...?" Aku masih ragu untuk menjawab.
"Lah, dia yang di tanya, kok malah dia yang balik tanya ke kita, sih?" ujar Elis pada Jeni.
"Tahu tuh anak, gak jelas benget deh!" sahut Jeni.
Dan mendadak kalimat yang pernah diucapkan Bagas pun kembali terngiang di telingaku.
'Kalau liburan tahun depan, Mbak Mel, bakalan pulang ke sini enggak?'
Pertanyaan Jeni dan Elis mengingatkanku pada Bagas. Sekarang adalah waktu yang menentukan bagi hubungan Bagas dan Laras.
Aku tidak tahu harus pulang ke Semarang, atau tidak?
Sebenarnya aku ingin bertemu dengan Nenek dan Kakek, kerena aku sudah sangat rindu kepada dua orang yang sangat menyayangiku itu.
Dan aku juga rindu dengan Bagas, tapi ... kalau aku datang ke sana, apa hal itu tidak menyakiti hatiku saja?
Karena aku yakin, hatiku akan terasa sakit saat melihat Bagas dan Laras yang semakin mesra.
Bagas sudah tidak pernah menghubungiku lagi, yang artinya dia benar-benar sudah bisa melupakan aku. Dan dia benar-benar sudah jatuh cinta kepada Laras.
"Mel, kok kamu malah ngelamun sih?" tanya Jeni.
"Gak tahu tu anak, malah ngelamun aja, gue mah negeri dia kesambet, deh!" tukas Elis yang asal bicara.
"Ssst! Kalau ngomong jangan ngacok deh, El!" ujar Jeni mengingatkan Elis.
"Ya habisnya!" sahut Elis.
"Kamu mikirin apa sih, Mel?" tanya Jeni kepadaku.
"Aku lagi mikirin Bagas, Jen," jawabku dengan lemas.
Dan kedua temanku itu sampai melotot berjamaah.
"Mikirin, Bagas!?" tanya Elis, "elu gak salah ngomong?"
Kemudian Jeni kembali ikut menimbrung. "Biasanya kamu itu selalu nutup-nutupin perasaan kamu sama Bagas! Dan kali ini kamu secara terang-terangan mengatakan kalau kamu sedang memikirkan, Bagas. Apa kamu beneran udah jatuh cinta sama, Bagas?" tanya Jeni memastikan.
Dan aku menganggukkan kepalaku. Kali ini aku bicara jujur kepada dua sahabatku.
Aku tidak mau munafik lagi, dengan menyembunyikan perasaanku terhadap Bagas.
"Aduh, Mel! Kamu itu bagaimana sih? Dulu saat Bagas selalu ada buat, elu, elunya yang nyia-nyiain Bagas! Sekarang Bagas udah punya cewek lain, elu malah naksir sama dia!" oceh Elis.
"Ih, Elis, udah dong, Mel, jaman diocehi," ujar Jeni pada Elis.
Hari itu aku dirundung dilema, aku bingung harus datang ke Semarang atau tidak?
Kalau aku datang, aku hanya takut akan mengusik kebahgiaan Bagas bersama Laras. Selain itu nanti hatiku akan tambah terluka karena melihat mereka yang bermesraan.
Ternyata hatiku tak sekuat yang kupikirkan. Awalnya aku merasa jika aku bisa menghapus perasaanku pada Bagas seiring berjalannya waktu. Tapi ternyata tidak.
Aku tidak bisa menghapusnya. Justeru perasaan ini malah semakin besar.
"Eh, udah ah, ayo kita pulang!" ajak Elis.
"Iya, Mel! Ayo pulang sekarang!" ajak Jeni.
Hari ini kami pulang mengendari taksi online yang kami pesan. Tentunya dengan ongkos hasil patungan.
"Mel, kamu kenapa sih, selalu uring-uringan karena cinta? Kayak aku dong! Gak pernah galau karena cowok!" ujar Jeni dengan sombong.
Elis pun tak tinggal diam. "Ya, iyalah gak pernah galau sama cowok! Elu, 'kan jomblo, Jen! Pacaran aja belum pernah, gimana bisa sakit hati?" ledek Elis.
Seketika Jeni naik pitam.
"Elis, berani kamu ya?" Dia mengepalkan kedua tangannya dengan lubang hidung yang kembang-kempis.
"Eh, udah dong! Jangan pada ribut deh!" ujarku melerai kedua temanku yang mulai bersitegang itu.
"Kalian, kalau ribut begini yang ada malah bikin aku semakin galau tahu!" ucap dengan Nada tinggi.
Barulah mereka diam meski mereka saling cemberut dan saling membuang muka satu sama lain.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala sambil menghela napas kasal.
***
Aku melangkah gontai tak bersemangat memasuki gerbang rumah. Tepat di saat itu juga, Mama baru saja menuruni mobil taksi.
"Mel!" panggil Mama.
"Hem! Ada apa, Ma?" sahutku sambil menghentikan langkah kakiku.
"Ayo masuk, Mama, bawa banyak oleh-oleh nih," ujar Mama seraya memamerkan plastik putih yang ada di tangannya.
"Mama, udah kelar urusannya?"
"Udah, dong!"
"Oww ...." Aku mengangguk paham, kemudian masuk ke dalam rumah.
"Mel!" teriak Mama memanggilku lagi.
"Ada apa, Ma?"
"Kamu gak buka oleh-oleh dari Bogor, dulu?" tanya Mama. "Bisanya kamu yang paling semangat lo, Mel,"
"Ah, enggak, Ma! Mel, lagi capek mau istirahat aja," ujarku.
"Tumhen?" Mama terlihat heran dengan tingkahku. Tapi aku tidak peduli dan tetap masuk ke dalam kamar.
Akhirnya Mama mengikutiku dari belakang. "Mel, tungguin, Mama dong!"
"Ih, ada apa lagi sih, Ma?" tanyaku.
"Mama mau bilang sesutu sama kamu, Mel,"
"Mama, mau bilang apa?" tanyaku.
"Hari senin besok Mama, sama, Papa, mau ke Semarang!"
Mendengar kalimat itu aku langsung terdiam.
"Kalian, mau ke Semarang?"
"Iya, kamu ikut, 'kan, Mel?" tanya Mama.
"Ikut, enggak ya?" Aku malah bingung sendiri.
"Udah ikut aja!" sergah Mama, "dari pada kamu berada di rumah sendirian! Tante Diani, juga bakalan jarang pulang lo, dia lagi ada proyek baru, dan harus pergi ke luar kota!" ujar Mama.
Yah ... tidak ada pilihan lain, kalau liburan ini aku tidak ikut mereka, maka aku akan di rumah sendirian dan kesepian. Jeni pergi ke Ciamis di rumah neneknya, sedangkan Elis pulang ke Jonggol di rumah orang tuanya.
Sedangkan aku ....
Tapi liburan kali ini aku benar-benar masih tak yakin kalau harus melihat Bagas dan Laras. Aku belum siap cemburu!
"Mel, kok malah ngelamun, sih? Kamu ikut, 'kan?" tanya Mama.
"Tapi, Ma—"
"Udah kamu ikut aja, lagian Mama gak tega kalau kamu di rumah sendirian!"
"Tapi ada si Embak, 'kan, Ma?"
"Ya, Amplop! Mama lupa bilang kalau si Emak baru aja izin cuti pulang kampung!" kata Mama.
Pupus sudah harapanku untuk liburan di rumah saja.
"Yaudah deh Ma, Mel ikut" ujarku.
"Nah, gitu dong!" Mama menepuk pundakku penuh semangat.
"Ya udah, kamu istirahat dulu gih, Mama juga mau istirahat! Oleh-olehnya Mama taruh di kulkas!" ujar Mama, aku menjawabnya dengan anggukkan kepala.
"Ada ubi oven, kesukaan kamu juga lo," bisik Mama.
Bersambung ....