webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
93 Chs

Jangan Emosi!

Ciri-ciri yang dijelaskan oleh seorang Ibu-ibu di depanku ini sangat mirip dengan Dino.

Aku pun memperhatikan setiap detail apa yang dikatakan olehnya. Dan Ibu-ibu yang lain juga membantu menjelaskan kepadaku.

Mereka bilang, tadi malam, ada seorang anak lelaki yang berlari terbirit-birit keluar dari rumah bercat ungu. Anak itu berteriak-teriak dengan heboh, 'Tolong ada, Genderuwo! Tolong!' teriaknya, sampai menggemparkan warga sekitar.

Anak itu sampai berkali-kali terjatuh dan nyaris masuk ke lubang saluran air.

Pemuda yang mereka maksud itu adalah Dino. Usut punya usut Dino adalah anak pemilik rumah bercat ungu. Dan kedua orang tuanya pindah, karna takut menempati rumah yang konon katanya sangat angker.

Setelah kejadian di rumah bercat ungu, Dino diantarkan pulang oleh warga, karna pria itu mengalami syok berat, hingga buang air kecil di celana saking takutnya.

Aku menahan tawa mendengar penjelasan mereka, dan aku juga benar-benar tak menyangka jika do'aku yang ini juga terkabul, tentunya selain meminta pingsan.

Aku masih ingat betul saat mengucapakan sumpah-serepah yang berbunyi seperti ini, [Awas aja gue sumpahin! Habis ini elu bakalan ketemu sama makluk astral beneran! Biar elu tahu rasa!] ucapku pada saat itu.

Dan aku tak menyangka sumpah-serapah itu menjadi kenyataan.

Ternyata doa orang yang teraniaya itu benar-benar mudah diijabah!

Eh! Doa, dan sumpah-serapah itu sama atau tidak ya?

Ah entahlah yang terpenting aku sangat bahagia, bisa keluar dari rumah terkutuk itu, dan Dino mendapatkan pelajaran.

Pasti saat ini dia masih ketakutan meringkuk di kamarnya.

Aku tak bisa membayangkan saat dia pipis di celana tadi malam.

Kalau saja aku berada di tempat kejadian pasti sudah kutawakannya habis-habisan. Biar tahu rasa si Dino!

Bukannya aku tidak punya hati dan tak punya belas kasihan, habisnya dia yang sudah jahat kepadaku, bahkan dia berencana akan melakukan perbuatan asusila kepadaku. Hanya demi agar aku bisa tetap menjadi miliknya.

Pria itu benar-benar sudah gila, kupikir dia itu seorang psikopat yang tidak takut dengan apapun. Eh, ternyata dia masih takut juga saat melihat Genderuwo, hahaha! Astaga aku menertawakannya lagi, dosa tidak ya?

Ah bodo ah, aku benar-benar puas melihat Dino yang ketakutan seperti ini, tak sabar rasanya untuk bertemu besok, dan ingin melihat seperti apa ekspresi wajah Dino saat bertemu denganku.

"Mbak Mel, ayo pulang sekarang! Itu taksinya udah datang!" ujar Bagas.

"Eh iya, Gas!" Aku sedikit tersentak.

Lalu aku berpamitan dengan para Ibu-ibu yang sudah bercerita kepadaku.

"Ibu-ibu, terima kasih atas infonya! Saya pulang dulu, ya!" Ucapku dengan ramah sambil melambaikan tangan.

"Eh iya, Neng! Hati-hati ya!" ujar si Ibu bertubuh tambun mewakili yang lainnya.

***

"Ini, beneran rumah, Mbak Mel?" tanya Bagas.

"Iya," jawabku.

Kami menuruni mobil taksi itu, dan di dalam rumah sudah sangat heboh. Mama, dan Tante Diani, sedang menangis mengkhawatirkanku.

"Diani, Mel kemana ya? Dari semalam gak pulang! Kalau diculik orang terus diambil kepalanya bagaimana?!" ucap Mama dengan suara tinggi dan isak tangisnya sampai terdengar nyaring dari luar.

Lalu Tante Diani, juga tak kalah heboh.

"Mbak, jangan bikin aku jadi takut dong! Aku malah mikirnya

si Mel, itu diculik terus dijual ke luar negeri buat jadi TKW!" ujar Tante Diani yang semakin melantur.

"Eh, kalian ngomong apaan sih!" teriak Papa, "jangan pada ngacok! Kita tunggu sampai 24 jam, kalau Mel, gak pulang juga, baru kita lapor kan Polisi!" ujar Papa.

Aku yang mendengarnya dari luar saja, sampai syok dan ngeri sendiri dengan ucapan mereka yang teramat lebai itu.

Aku langsung mengetuk pintu rumahku keras-keras.

Tok! Tok!

"ASSALAMU'ALAIKUM!" teriakku mengucapakan salam.

Dan setelah itu, suara mereka yang tadinya sangat heboh mendadak senyap. Tak lama terdengar suara langkah kaki yang kompak berlari menuju pintu.

Nampaknya, mereka memulai menyadari jika yang mengucapkan salam barusan aku.

Ceklek!

Mama yang membukakan pintunya.

"MELISA!?" ucapnya dengan mata melotot dan langsung memelukku dengan erat.

Nalurinya sebagai seorang Emak-emak langsung terpanggil, Mama mengocehku sejadi-jadinya.

"Mel, kamu kemana aja sih?! Mama, Papa, sama Tante Diani, sampai pusing nyariin kamu!"

"Ma, Mel itu—"

"Lain kali kalau mau kemana-mana jangan lupa kabari dulu, kita pada gak nyariin kamu!"

"Tapi, Ma—"

"Awas ya kalau kamu sampai ngulangin lagi, Mama, bakalan potong uang jajanmu!"

"Tapi—"

"Yang ngasih uang jajan, Mel, 'kan aku, Mbak!" ujar Tante Diani, menimbrung pembicara kami.

"Diam kamu, Diani!" bentak Mama. Papa sampai pusing memlihat tingkah Mama yang terlalu heboh ini. Papah segera lepaskan pelukan Mama dari tubuhku.

"Udah, ayo duduk, kita ngomong baik-baik," ujar Papa seraya menarik tanganku dan tangan Mama, dia mengajak kami duduk di sofa.

Dan aku melihat Bagas masih berdiri di depan pintu, kami sampai melupakan kehadirannya.

"Pa, itu teman Mel, masih berdiri, Pa!" tukasku, dan Papa dengan segera menyuruh Bagas untuk duduk di sofa bersama kami. Melihat kehadiran Bagas, Tante Diani syok.

"Loh, Bagas! Kamu kok bisa ada di sini sih?!" tanya Tante.

"Ceritanya panjang, Tante, ayo duduk dulu Mel mau cerita sama kalian semua!" ujarku.

Lalu Tante Diani pun ikut duduk di atas kursi.

Setelah keadaan tenang barulah aku bercerita tentang pristiwa yang telah kualami.

Mereka benar-benar syok saat mendengar aku yang baru saja diculik oleh teman sekolahku sendiri. Hal itu membuat seluruh keluargaku tak terima. Terutama Papa, beliau ingin menuntut Dino.

Tapi aku melarangnya, karna aku benar-benar tak mau ada drama di sekolah.

Kalau sampai Papa menuntut Dino pasti aku dan Dino akan menjadi bahan gosip para penghuni sekolah.

Aku tak mau hidupku yang teramat asyik ini terusik. Cukup kepergian Dion saja yang membuat hatiku terusik dan terbebani. Tidak boleh ada masalah lagi.

"Itu anak yang namanya, 'Dino' wujudnya seperti apa sih? Papa, beneran pengen lihat!" ujar lelaki setengah tua itu.

"Udah, Pa! Gak usah kepo sama, Dino, mukanya ngeselin, orangnya aneh dan bikin emosi. Papa, gak boleh lihat dia, karna gak baik buat kesehatan! Mel takut nanti darah tinggi Papa, jadi kumat!" ujarku menasehati Papa.

"Tapi Papa penasaran, Mel! Dan Papa gak terima anak Papa satu-satunya dijahatin sama orang seperti itu! Ini termasuk tindakan kriminal, Mel!" ucap Papa yang masih ngeyel juga.

"Ah, udah dong, Pa! Jangan emosian! sabar ...," ujar Mama. Kali ini Mama yang gantian menasehati Papa.

"Ini udah keterlalun, Ma! Papa gak terima, coba kalau Bagas gak datang! Gimana nasibnya, Mel, selanjutnya, Ma?!"

"I-iya sih, Pa, tapi—"

"Udahlah, Ma! kita tuntut aja dia!"

Bersambung....