Aku terpaksa meninggalkan Nenek sendirian dan ikut Laras keluar rumah.
Kami duduk di teras, dan setelah keadaan tenang, aku mulai bertanya kepada Laras.
"Ras, kamu mau ngomong apa?"
"Mbak Mel, itu jahat!" bentaknya.
Seketika aku syok, tiba-tiba saja Laras membentakku.
"Loh, kenapa, Ras? Aku salah apa?"
"Mbak Mel, masih punya dendam ya sama aku?"
"Dendam? Tunggu! Maksudnya apa, Ras?"
"Mbak Mel, sengaja nyuruh aku nembak Bagas, dan seakan-akan memberikan harapan bahwa Bagas bakalan terima cinta aku, tapi ternyata Bagas malah suka sama, Mbak Mel!" tutur Laras sambil menangis.
"Ras, kok kamu ngomongnya gitu sih sama aku?"
"Mbak Mel, gak usah pura-pura gak tahu! Aku yakin ini rencana, Mbak Mel, biar aku merasa malu, karena ditolak sama Bagas! Sama kayak Mbak Mel, pas nyanyi suaranya jelek terus ditertawakan! Malu, 'kan?!" Laras benar-benar sangat marah kepadaku, dia salah paham dan mengira ini rencanaku untuk balas dendam, padahal aku ini benar-benar tidak tahu kalau Bagas menyukaiku.
Sebenarnya bukanya tidak tahu sih, hanya saja belum yakin. Dan aku pikir seorang 'Gebetan' yang sedang ia dekati adalah Laras.
Tapi ternyata gadis itu adalah, aku!
Sambil menangis dengan raut wajah yang penuh dengan kekecewaan, Laras bercerita kepadaku.
Tadi ketika berada di studio, Laras sudah mempersiapkan semuanya.
Bahkan Laras juga meminta bantuan kepada Ardi, Aryo, dan Rio.
Tepat di lagu bagian terakhir, Laras membiarkan Bagas bernyanyi sendirian, sementara dia hanya melihat sambil tersenyum.
Musik yang awalnya bernada cepat mendadak lambat, dan suasana menjadi romantis.
Ruangan menjadi gelap dengan sedikit remang-remang cahaya lampu warna-warna. Ada hiasan Lilin aroma terapi juga yang dibawa oleh Rio, Ardi, dan Aryo, mereka memegang satu-satu.
"Loh, ini ada apaan sih? Kok studionya jadi kayak, Warung Remang-remang begini?" kata Bagas.
"Ih, Kampret! Ini suasana romantis! Kenapa disamain sama tempat begituan!" bentak Aryo.
"Ya habisnya, kenapa lampunya mendadak gelap? Rio, kamu lupa bayar listrik ya?" Sekali lagi Bagas malah berpikiran yang tidak jelas.
"Hadeuh! Susah emang!" Ardi garuk-garuk kepalanya, "udah, Ras! Buruan bilang!" sergah Ardi pada Laras.
Akhirnya Laras segera meraih tangan Bagas dan duduk berlutut di bawah Bagas.
Ini memang terdengar agak aneh, karena biasanaya pria yang melakukan hal ini pada wanita, tapi ini kebalikannya, si wanita yang melakukan hal ini kepada pria.
Laras memang ingin terlihat berbeda dari gadis pada umumnya, dia ingin terlihat macho dan gentleman. Padahal dia itu 'girl' bukan 'boy' atau 'man'
Dalam benak Laras selalu berpegang teguh dengan kalimat, 'Emangnya cowok doang yang bisa nembak cewek? Cewek juga bisa kali nembak cowok!'
'Emangnya cowok doang yang bisa romantis? Cewek juga bisa kali terlihat romantis!'
'Dan aku adalah, Laras! Si Cewek paling macho dan romantis, satu kecamatan!'
Bermodalkan tekat dan seluruh rasa percaya dirinya. Dia berharap Bagas akan menerima cintanya tapi ternyata Laras salah ....
"Laras! Kamu kenapa jongkok? Aku, 'kan bukan Mamak kamu?" tanya Bagas dengan polosnya.
Pertanyaan itu hampir saja merusak suasana, dan Ardi juga sudah tak tahan ingin memukul kepala Bagas dengan stik drum, saking geramnya dia dengan sikap Bagas yang sama sekali tidak peka.
Tapi lain halnya dengan Laras, dia masih fokus dengan tujuan utamanya.
Tanpa berbasa-basi lagi, Laras langsung mengutarakan seluruh perasaannya kepada Bagas.
"Gas! Sebenarnya selama ini, aku suka sama kamu!" kata Laras.
"Hah?! Kamu ngomong apa sih, Ras?" tanya Bagas.
"Aku suka sama kamu, dan ini ceritanya lagi nembak kamu, Gas! Kamu jangan bercanda mulu deh!" dumal Laras
"Aku itu lagi gak bercanda, Laras! Aku beneran masih bingung sama kelakuan kamu hari ini?" kata Bagas.
"Gas, jawab pertanyaan aku, mau enggak kamu jadi pacar aku?" tanya Laras.
"Jadi, kamu benaran nembak aku?"
"Iya, Bagas! Kok kamu jadi rada bolot sih?"
"Maaf, Ras!"
"Gimana?"
"Gimana, apanya?"
"Ih, Bagas! Kenapa jadi TULALIT sih! Kamu mau enggak jadi pacar aku?!"
Sejenak keadaan menjadi hening, Bagas terdiam tanpa kata, seperti sedang memikirkan sesuatu.
Beberapa menit kemudian Bagas memberikan jawaban pada Laras.
"Ras, sebenernya bukanya aku gak mau terima cinta kamu, tapi ... aku ...."
"Aku apa, Gas?" tanya Laras.
"Iya, jawab aja dong, Gas! Kamu itu udah beruntung ditembak sama cewek! Gak kayak kita nembak cewek aja ditolak-tolak mulu! Buruan terima aja! Kapan lagi ditembak sama cewek cantik kayak Laras!" ujar Ardi yang paling bersemangat 45 mendukung Bagas.
"Tapi masalahnya, aku itu suka sama cewek lain, gimana dong? Masa aku terima Laras, tapi aku cintanya sama cewek lain?" kata Bagas.
"Kamu suka sama siapa? Di dunia ini cewek yang paling dekat sama kamu itu cuman tiga, Gas!" kata Laras, "aku, Mbak Mel, sama Mbok Irah!" ucapanya.
Laras sudah memasang raut wajah yang kecewa.
"Siapa, Gas! Ayo ngaku, siapa cewek yang kamu suka?!" paksa Laras pada Bagas.
"Kamu udah tahu, 'kan Ras, aku gak perlu jawab," sahut Bagas.
Lalu Rio menimbrung pembicaraan Bagas dan Laras.
"Astaghfirullahalazim! Jangan bilang kalau kamu suka sama Mbok Irah ya, Gas! Dia itu Nenek kamu sendiri!" ucap Rio penuh drama.
Dan Aryo yang ada di sampingnya langsung menguncir mulut Rio dengan capo gitar.
"Waduh sakit, Yo! Ini mulut gue, bukan gagang gitar!" kata Rio sambil peringisan memegangi mulutnya.
"Ya habisnya kalau ngomong suka ngacok, mana mungkin Bagas suka sama, Mbok Irah?" oceh Aryo.
"Ya, 'kan kali aja!" sahut Rio.
Dan dua orang itu malah heboh sendiri.
Sementara Ardi masih memijit-mijit keningnya kerena pusing melihat Rio dan Aryo yang saling debat, sampai mengabaikan Laras dan Bagas.
"Jadi kamu tolak aku, Gas?" tanya Laras memastikan.
"Ya, bukan, eh, ya ... iya, aku tolak kamu," jawab Bagas ragu-ragu.
"Ternyata, selama ini kamu sukanya sama, Melisa?" desak Laras, Bagas menganggukkan kepalanya.
"Iya, Ras! Aku suka sama, Melisa. Makanya aku tolak kamu. Karena aku gak mau kalau aku terima kamu nanti kamu cuma jadi pelarian aku dan—"
"KAMU JAHAT, GAS!" Laras berlari keluar dari studio musik, meninggalkan teman-temannya begitu saja.
Kemudian dia menghampiriku, lalu menceritakan semuanya.
Tentu dengan segala kemarahan, kekesalan, dan juga kekecewaan.
"Ras, aku minta maaf, aku bener-bener gak tahu kalau, Bagas, itu beneran suka sama aku. Dan demi apapun aku gak ada niat buat balas dendam sama kamu, Ras!"
"Mbak Mel, pasti bohong!" bentak Laras.
"Enggak, Ras! Aku gak bohong! Tolong jangan salah paham apa lagi sampai marah sama aku!"
"Aku benci, Mbak Mel! Aku gak mau kenal sama kamu lagi, Melisa! Dasar, Penghianat!" Setelah puas mengumpat, Laras meninggalkanku.
Aku tak mengejarnya, karena terasa percuma.
Dia itu sedang emosi, mungkin aku harus membiarkan Laras untuk menenangkan diri.
Bersambung ....