webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
93 Chs

Cinta Pertama

Laras dan yang lainnya meminta maaf kepadaku dengan tulus.

Aku tak bisa menolak permintaan maaf mereka.

Lagi pula memang benar, 'kan suaraku itu memang jelek!

Tidak ada gunanya menyimpan dendam, yang akan membuat pikiranku menjadi tak tenang. Cukup memikirkan Dion saja otakku sudah kacau.

Setelah itu, Nenek menyuruh kami masuk ke rumah.

Dengan antusias wanita tua tapi lincah, dan gaul, itu membuatkan minuman dan menyuguhi mereka kue lapis buatanya. Ada sedikit kue dodol yang dia bawa saat kondangan kemarin, dia juga menyajikannya di depan teman-teman Bagas.

"Ayo, dimakan ya, jangan sungkan!" ujar Nenek antusias.

Tampaknya beliau itu sangat gembira melihatku yang memiliki banyak teman.

Dan mungkin juga terlihat sekali jika wajahku sudah tidak semurung tadi.

Meski begitu, kedua mataku masih terlihat sembab, untung yang lain tidak terlalu memperhatikanku, tapi sayangnya ... Laras melihatnya.

"Mbak Mel, habis nangis ya?" tanya Laras.

"Eh, enggak kok," jawabku.

"Udah, Mbak, jujur aja! Kita, 'kan sama-sama wanita! Saya bisa ngertiin, Mbak Mel, kok," kata Laras, "atau jangan-jangan ...." Laras seperti ragu untuk melanjutkan ucapannya.

"Jangan-jangan apa?" tanyaku.

"Jangan-jangan, Mbak Mel, nangis semalaman gara-gara kelakuan kita kemarin ya?!" tebak Laras dengan ekspresi yang heboh.

Setelah itu Laras begitu dramatis mengulangi permintaan maafnya.

"Maafkan saya ya, Mbak Mel! Saya beneran menyesal! Tolong jangan anggap saya sebagai, 'Tukang Bully' please ...." ucapnya dengan kedua mata berkaca. Bahkan gadis itu hampir memohon di hadapanku, tapi aku berusaha untuk menghentikannya.

"Eh, Ras! Bukan begitu, Ras! Aku nangis semalaman bukan mikirin masalah kalian yang ngetawain aku kemarin kok, serius!" Kucoba menjelaskan.

"Mbak Mel, pasti bohong ya, Mbak Mel, ngomong begini karena gak enak sama, Bagas! Kita, 'kan teman-temannya, Bagas!" ujar Laras yang tidak percaya dengan ucapanku.

"Eh, Ras, bukan! Serius, bukan kok!" ucapku.

Bagas pun mendekat, lalu berkata kepadaku agar menceritakan saja semua kepada Laras.

"Mbak Mel, curhat aja sama Laras, kalian, 'kan sama-sama cewek, mungkin kalau bercerita dengan Laras, Mbak Mel, bisa lebih nyambung," ucap Bagas.

Aku sedikit ragu untuk mengatakan kepada Laras, karena aku takut Laras malah menertawakanku, aku ini adalah gadis yang menyedihkan dan tak bisa melupakan cinta pertamanya!

'Kesananya kayak Cemen, benget, gitu?'

Sementara kulirik lagi kearah Laras, gadis itu masih terdiam dengan raut wajah yang bingung.

Mata sipitnya masih berputar-putar karena belum menangkap apa yang dikatakan oleh Bagas.

Dan beberapa saat kemudian aku berpikir, mungkin ucapan Bagas itu tidak ada salahnya untuk dicoba, toh Laras itu bukan 'Tukang Bully' seperti yang aku bayangkan. Mungkin dengan bercerita kepadanya, maka hatiku bisa lebih tenang. Dan tentunya Laras tidak salah paham lagi karena mengira, jika aku menangis gara-gara dia.

"Yaudah, kalau gitu kita ngobrol di luar yuk, Ras!" ajakku.

Dia menganggukkan kepalanya.

Kami duduk di bawah pohon talok, di kursi yang biasa aku dan Bagas tempati, sementara ayunan masih kami biarkan kosong.

"Mbak Mel, mau bilang apa?" tanya Laras.

"Seperti yang kamu tanya tadi!" jawabku.

"Tapi aku gak nanya apa-apa tuh, Mbak!" Laras masih memasang raut polos, aku juga yang salah bicara,

"Bukan kamu yang tanya sih, Ras! Tapi aku mau jelasin, tentang alasanku menangis semalaman," ujarku.

"Oh, yang itu!" Laras manggut-manggut, nampaknya dia sudah tak sabar untuk mendengar alasanku, terlebih dia masih digelayuti rasa bersalah, karena mengira jika aku menangis gara-gara perlakuannya dan kawan-kawannya kemarin.

Pelan-pelan kujelaskan kepada Laras.

"Ras, sebenarnya aku mamang menangis semalaman, dan itu semua gara-gara aku bertemu sama pacar aku," ucapku.

"Hah?! Serius?" Laras terlihat syok, "terus! Terus! Pacarnya, Mbak Mel, di mana sekarang? Tinggal di sini? Masih hidup, 'kan?!" Laras bertanya dan malah heboh sendiri melebihi aku.

Kujelaskan semuanya, tentang perjalanan cintaku dengan Dion, dari mulai berkenalan saat MOS, hingga sekarang yang Dion tiba-tiba menghilang dan seakan-akan menghindariku.

Laras meresponnya dengan baik, bahkan dia mencoba memberiku wejangan, agar aku tetap kuat. Kata Laras, 'sebagai seorang gadis cantik kita, tidak boleh patah hati, nanti kecantikannya bisa luntur!' aku sendiri tidak terlalu paham dengan ucapan Laras.

Dan kata-kata yang paling semangat ia ucapkan adalah; 'PUTUS SATU TUMBUH SERIBU!' dia memang bukan gadis sepertiku.

Sepertinya dia tidak mudah patah hati.

Hingga aku pun berbalik tanya kepadanya, tentang pengalaman dalam masalah percintaan.

"Kalau kamu giamna?" tanyaku.

"Gimana apanya, Mbak?" Laras berbalik tanya.

"Kamu! Pernah merasakan cinta pertama enggak?" tanyaku.

Mendengar pertanyaan dariku gadis itu langsung terdiam.

Mendadak wajah Laras menjadi aneh.

"Ras, kamu gak apa-apa?" Aku melambaikan tangan tepat di wajahnya. Dia masih terdiam, dan kali ini wajahnya berubah memelas.

"Kamu gak apa-apa, 'kan, Ras?"

Seketika kedua mata sipitnya mengerjap cepat.

"Eh, gak apa-apa kok, Mbak!" jawab Laras setengah kaget.

"Kamu kok ... jadi aneh begitu sih?" Aku bertanya lagi, "kamu pernah ngerasain, Cinta Pertama, enggak sih?"

"Ah, pernah, Mbak!" Laras manggut-manggut.

"Terus?" lanjutku.

Lalu Laras menghela nafas perlahan sebelum menceritakan pengalamannya.

"Dulu, aku pernah jatuh cinta sama seorang cowok, Mbak! Dan anaknya ganteng banget, hubungan kami cukup dekat, sering makan bareng, sering ngerjain tugas bareng, pokoknya masa itu terasa begitu indah. Tapi suatu ketika dia tiba-tiba menghilang! Semenjak itu aku galau luar biasa. Aku mencari tahu tentang dirinya, dan ternyata dia sudah pindah ke Batam bersama keluarganya ...." Jelas Laras. Kedua matanya agak berkaca. Dan setelah mengedipkan kelopaknya, butiran bening mulai membasahi pipi gadis itu.

"Yah, berarti kamu di-Ghosting gitu aja dong, sama pacar kamu?" ucapku dengan penuh simpati.

Karna aku tahu betapa sakitnya ditinggal ngilang pas lagi sayang-sayangnya!

"Eh, aku belum sempat pacaran kali, Mbak!" ucap Laras.

"Hah! Serius? Jadi kalian masih PDKT ... gitu?"

"Iya, bisa dibilang begitu," jawab Laras.

"Emangnya SMP, kelas berapa kamu kenal sama gebetan kamu itu? Atau jangan-jangan baru-baru ini ya?" tanyaku lagi. Kebetulan Laras baru balas 3 SMP, dan usia segitu aku belum pernah pacaran.

Aku baru mengenal cinta sejak kelas 1 SMA, dan saat aku bertemu dengan Dion.

Tapi jawaban yang mencengangkan keluar dari mulut Laras.

"Aku kenalan sama dia pas masih duduk di bangku, TK, Mbak," ucap Laras sambil menunduk lemas.

"Jadi gebetan kamu, teman satu, Taman Kanak-kanak, gitu?!"

"Iya ...." Laras mendengus lemas lagi.

"Sampai saat ini, kamu udah pernah pacaran belum?"

Laras menggelengkan kepalanya.

Astaga! Aku pikir Laras itu gadis yang kuat dan tidak mudah patah hati, ternyata dia lebih parah dariku. Bahkan dia belum pernah pacaran sama sekali, dan sempat merasakan patah hati dengan cinta pertamanya, yang seorang anak TK?

HAH?

Bersambung ....