webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
93 Chs

Cinta Pertama Part2

Cinta pertama bisa datang kapan saja, dan bisa menghampiri siapa saja.

Bahkan bisa dirasakan sejak masih duduk di bangku, Taman Kanak-kanak.

Seperti, Laras, contohnya ....

Walau aku tidak begitu yakin jika apa yang dirasakan oleh Laras ini benar-benar cinta pertama.

"Terus, sampai berapa lama kamu galau mikirin cinta pertama kamu itu, Ras?" tanyaku yang masih penasaran.

Sebenarnya bukan penasaran, hanya saja Laras sudah terlanjur bersedih karena pertanyaanku tadi. Masa iya, aku akan mengabaikannya begitu saja?

Laras mengusap air matanya dengan punggung tangan.

"Aku cukup lama, Mbak, untuk melupakan Nino, bahkan sampai sekarang, kadang masih suka keinget," jawabnya.

"Jadi nama cowok itu, Nino?"

"Iya," Laras mengangguk.

"Maaf ya, Ras! Gara-gara aku kamu jadi sedih, harusnya aku tadi gak usah tanya begitu deh," ucapku yang merasa tidak enak.

"Eh, gak apa-apa kok, Mbak! Aku udah move on!" Mendadak Laras mengulum senyuman. Dan seolah tak terjadi apa-apa. Aku sampai kaget melihatnya.? "Kamu beneran gak apa-apa, Ras!"

"Eh, ya enggak dong!" Laras menjawab dengan lantang, "aku beneran udah move on, Mbak!" tegasnya.

"Udah move on ya ... ke—napa nangis?" tanyaku.

"Yah aku pas kebetulan lagi inget aja, Mbak! Dan sekarang aku udah punya gebetan yang jauh lebih ganteng dari dia kok!" kata Laras.

"Eh, serius! Siapa? Anak mana?!" tanyaku secara beruntun.

"Ada deh!" Laras mulai memasang teka-teki.

"Ah, si Laras mah gitu!" Aku mulai kesal, karena Laras membuatku merasa penasaran.

"Ih, Mbak Mel, ngambek ya?" Dia meledekku.

"Ah, bodo ah! Kamu main rahasia-rahasiaan sih!"

"Hehe, sebenarnya cowok yang membuat aku bisa move on dari Nino itu ...." Laras tampak ragu untuk menyebut namanya.

Tapi dalam hatiku menebak jika pria itu adalah Bagas. Karena terlihat sekali jika Laras menyukai Bagas. Setiap dekat dengan Bagas, gadis itu selalu salah tingkah.

Dan sebaliknya Bagas sepertinya juga menyukai Laras meski aku tidak yakin ...,

Tapi beberapa hari yang lalu Bagas berkata kepadaku, jika dia sedang melakukan pendekatan dengan gadis yang ia sukai.

Dan aku yakin gadis itu adalah Laras.

"Laras, cowok yang kamu maksud itu, Bagas, ya?" tanyaku.

"... eh," Laras terdiam sesaat, dan dia tersipu malu.

Meski dia tidak berkata, 'iya' tapi aku sudah tahu jika tebakanku benar, karena raut wajah Laras tidak bisa berbohong.

"Jadi benar ya, Ras! Kalau kamu naksir sama, Bagas?"

"... emm ... iya, Mbak," jawabnya malu-malu, "Mbak Mel, tolong rahasiain ini dari Bagas ya," pinta Laras.

"Kenapa harus dirahasiakan?"

"Ya karena aku malu, Mbak!"

"Gak usah malu, Ras! Cuman Bagas, doang kok!"

"Ih, Mbak Mel, bisa bilang begitu karena Mbak Mel udah kenal Bagas sejak kecil jadinya Mbak Mel udah biasa! Gak kayak aku, kadang kalau lagi berdua aja sama Bagas, aku merasa deg-degan tahu, Mbak," jelas Laras masih dengan ekspresi yang agak malu-malu, tapi memaksakan diri untuk bercerita.

"Iya, tapi kamu itu kalau emang suka sama, Bagas, langsung jujur aja! Kalau kamu diam aja selamanya kamu gak bakalan jadian sama dia!" Aku mulai menyemangati Laras dengan sedikit ocehan.

Laras pun mulai mengeluh padaku tentang sikap Bagas.

"Iya, juga sih, Mbak! Kayaknya aku memang harus cepet-cepet jujur sama Bagas. Soalanya dia itu orangnya juga kurang peka," ujarnya.

"Nah, makanya!" ucapku dengan reflek bernada keras.

Laras sampai tersentak mendengarku.

"Ih, Mbak Mel! Bikin kaget deh!"

***

Setelah puas saling mengobrol, aku dan Laras, kembali masuk ke rumah. Kami ikut menimbrung, mengobrol bersama dengan yang lainnya.

Sesekali, aku tak sengaja melihat Laras, melirik kearah Bagas.

Terliat betul jika dia benar-benar menyukai Bagas.

'Bagas, beruntung bisa dicintai oleh Laras, tidak seperti aku yang terus diabaikan oleh Dion,' bicaraku di dalam hati.

***

Hari ini adalah hari terakhir aku berada di rumah Nenek, dan esok aku akan pulang ke Jakarta.

Sebelum pulang, aku memutuskan untuk pergi ke rumah Dion. Aku tahu rumahnya kosong, tapi aku tidak peduli.

Aku masih ingin mengenang Dion, karena di rumah itu, terakhir kalinya aku melihat Dion yang masih bersikap ramah kepadaku.

Lumayan lelah aku berjalan kaki, hingga akhirnya aku sampai di tempat tujuan. Sengaja aku tidak bicara dengan Bagas, mungkin kalau aku memberitahunya, dia tidak akan tega membiarkanku jalan kaki sendirian, pasti dia akan mengantarkanku dengan motornya.

Tapi kalau aku memberitahu Bagas, pasti dia akan mengocehiku habis-habisan. Walau aku tahu pada akhirnya dia akan mengantarkanku.

Tepat di dekan pagar setengah tiang, kupandangi rumah Dion, aku masih ingat, saat aku pertama datang kemari, Bu Ningrum tertinggal di dalam mobil, karena Dion yang malah asyik menyambutku dan memelukku.

Saat itu aku merasa tidak enak dengan beliau, tapi ternyata beliau tidak marah ataupun kesal, justru beliau malah menyambutku dengan ramah.

Bu Ningrum, orang yang sangat baik, tapi Allah lebih sayang kepada beliau.

Dan Dion ...?

Aku tidak tahu kenapa dia menghilang? Apa mungkin dia masih sering pulang ke rumah ini?"

Tapi kalau dilihat dari kondisi rumah yang seperti tak terurus, terlihat sekali jika Dion itu jarang pulang, atau mungkin tidak pulang sama sekali.

Saat aku masih berdiri dan tertegun dengan pandangan kosong, tiba-tiba seseorang membuyarkan lamunanku.

"Eh, Mbak, lagi ngapain di sini?" tanya seorang gadis seraya menepuk pundakku. Aku menoleh, dan melihat kearah gadis itu.

"Nadira?" ucapku.

"Eh, kok kayak pernah lihat ya? Mukanya, Mbak-nya, gak asing deh!" Nadira tampaknya agak lupa denganku, tapi aku masih ingat betul dengan gadis genit ini.

Dia yang dulu sok akrab dengan Dion.

"Ah, saya ingat!" Tiba-tiba dia berkata dengan nada seakan menyentakku.

"Mbak-nya, temannya, Mas Dion, yang dari Jakarta itu, 'kan?" tanya Nadira memastikan.

Aku menjawab dengan anggukan dan senyaman agak terpaksa.

"Eh, Mbak Mel—iya, Namanya, Mbak Melisa, 'kan?!" Sekali lagi dia berbicara dengan nada yang membuatmu tersentak.

Dia berbicara seperti tengah berada di tengah hutan belantara!

'Huh, dasar, Tarzan!' umpatku di dalam hati.

"Mbak Melisa, ngapain di sini? Memangnya, Mas Dion, gak ngasih tahu sama, Mbak Melisa, ya, kalau dia udah gak tinggal di sini lagi?" tanya Nadira.

"Enggak," jawabku seraya menggelengkan kepala.

"Mbak, Mas Dion, itu lebih sering menghabiskan waktu untuk bekerja bersama, Bapak-ku!" jelasnya.

"Sama, Bapak, kamu?"

"Iya! Mas Dion, itu orangnya benar-benar rajin, dan mau kerja apa aja, buktinya sekarang mau kerja sebagai Kenek Truk!" jelasnya.

Dan ternyata, Sopir Truk itu adalah ayah dari Nadira. Dan aku semakin cemburu, karena ini artinya hubungan Nadira dengan Dion semakin dekat.

"Eh, Mbak! Tahu enggak, Mas Dion, kemarin juga baru pulang lo! Tapi dia memang jarang pulang ke rumah itu," Nadira menunjuk rumah Dion, "dia lebih sering menginap di rumah saya!" jelas Nadira, sekali lagi gadis itu berbicara dengan kalimat yang membuatku tercengang.

"Dion, nginep di rumah kamu?!"

Bersambung ....