webnovel

2. Dalam kebingungan

Cahaya mentari pagi menyeruak masuk melalui kaca jendela. Sera membuka mata, terusik. "Ibu, sebentar lagi," katanya saat melihat Kina berdiri di depan jendela sambil menyingkap gorden, mengikatnya pada sisi jendela.

"Jangan tidur saat pagi hari, Gadis Kecil. Jangan gunakan hari liburmu untuk bermalas-malasan." Kina tak peduli dan malah menarik pergelangan tangannya, memaksanya duduk.

"Lima menit lagi, kalau begitu." Sera mengembalikan berat tubuhnya pada sang gravitasi, yang sayangnya kembali dipaksa bangun oleh ibunya. "Oke, ya, ya, ya...." Ia menyerah.

Berdiri dengan mata yang setengah terpejam, Sera mulai bergerak menuju kamar mandi. Berbalik sebentar pada ibunya lalu mengulas senyum, satu kebiasaan yang tak bisa dihilangkannya. Entah sejak kapan, yang jelas ia selalu melakukannya agar wanita itu merasa senang.

"Aku akan menunggumu di bawah." Kina berpaling dengan wajah tanpa ekspresi. Jika dilihat sekilas, ia seperti tak peduli. Namun, itu cukup menjelaskan bahwa ia menyukai perlakuan Sera padanya.

Sera terkekeh. Ia masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri. Hanya butuh lima belas menit untuk menyelesaikan ritual paginya, berpakaian lalu turun ke bawah untuk menemui ibunya.

Kina sudah duduk di depan meja makan, menunggunya menghidangkan makanan sambil menatap layar ponsel.

"Ibu baru pulang? Aku tak menemukan Ibu saat pulang tadi malam." Sera mengeluarkan makanan dari lemari pendingin, mengganti aluminium foil penutupnya lalu memasukkannya ke microwave.

"Aku tertidur di bar," sahut Kina tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel, "lalu Juan membawaku ke rumahnya lagi."

Sera mengangguk. Ibunya sedang dalam suasana hati yang tidak baik, ternyata. Jadi, daripada kembali bertanya, ia lebih memilih wanita itu bersuara dan mulai bercerita. Seperti biasanya.

"Wanita kurang ajar itu lagi-lagi memarahi Juan karena membawaku ke rumah mereka."

Oh, adik bungsu Juan berkunjung dan bertemu Kina? Sera duduk di sebelah ibunya, masih mendengarkan.

"Dia mengataiku lagi. Dia bahkan mengatakan Juan lelaki bodoh karena terus menerus membawaku ke rumahnya. Dan lagi-lagi perempuan sialan itu menyuruhku memperjelas hubunganku dengan Juan." Kina menghela napas.

Sera tetap bungkam. Amarah sedang merangsek masuk ke ulu hatinya.

Kina memang bukan ibu kandungnya. Wanita itu bahkan hanya menjalani satu tahun hidup sebagai istri dari ayahnya. Tapi wanita itulah yang selama ini merawat dan membesarkannya. Mereka sudah menjadi ibu dan anak selama belasan tahun. Jadi, ketika hati Kina terluka, Sera ikut merasakan sakitnya.

Bekerja di salah satu bar ternama sejak usia delapan belas tahun, membuat Kina mendapat predikat buruk dalam pandangan orang-orang. Padahal ia hanya menyanyi dan terkadang menggantikan bartender di tempat itu. Dianggap sebagai wanita perayu ataupun pelacur, Kina sudah sering mendengar hal seperti itu. Kadang ia bisa bersikap tak peduli. Ada pula kalanya ia tak terima.

Seperti sekarang.

Memberi tanggapan apa pun takkan berguna untuk wanita itu. Memintanya berhenti dari pekerjaannya dan akan memperburuk keadaannya. Bukan karena mereka miskin. Hei, ayah Sera meninggalkan segudang warisan yang takkan habis, bahkan jika mereka hambur-hamburkan. Tidak, Kina bekerja bukan untuk uang.

Wanita itu bekerja untuk membunuh waktu.

Untuk melupakan sosok pria yang sudah meninggal belasan tahun yang lalu.

Ya, untuk melupakan suaminya, ayah Sera.

Sera tak pernah marah dengan alasan Kina yang seperti itu. Tidak, ia malah ingin ibunya itu melupakan ayahnya dan mencintai pria lain yang mungkin bisa membuatnya bahagia.

Seperti Juan misalnya. Lelaki itu sudah lama mencintai ibunya, bahkan sampai sekarang. Ketika Kina menikah dengan ayah Sera, pria itu tetap pada pendiriannya, mencintainya tanpa berharap cintanya dibalas oleh Kina. Pun sekarang.

Ah ... padahal jika Kina mau, tentu anggapan orang-orang tentangnya akan berhenti. Setidaknya orang-orang akan berhenti menghinanya langsung karena Juan memiliki kekuasaan untuk membungkam mulut mereka.

Apa sulitnya menerima perasaan pria itu? Lagi pula Juan tak pernah peduli dengan ucapan-ucapan orang tua ataupun saudara perempuannya yang kurang ajar itu. Heh, justru wanita itulah yang lebih layak disebut pelacur, memoroti uang para pria yang ditemuinya untuk kemudian dihambur-hamburkan.

Kembali ke Juan, mengapa ibunya tak menikah saja dengan pria itu?

Tatapan tajam Kina membuat Sera terkesiap dan segera menyadari ia baru saja menyuarakan pertanyaan di kepalanya. Buru-buru ia bangkit dan mengecek makanan di microwave dan mengeluarkan makanan yang ia panaskan.

"Kau tahu alasannya mengapa," ujar Kina saat Sera menuangkan makanan itu ke piringnya. Ia mengambil sendok dan mulai menyuap makanannya.

"Maaf, Bu...." Sera mengecup pipi wanita itu. Rasa bersalah melingkupinya.

"Pagi ini kau tampak kacau. Kau tidak tidur?" Mengerti anaknya merasa tak nyaman, Kina mengalihkan pembicaraan.

"Aku sudah tidur," sahut Sera. Hanya dua jam.

"Kau memikirkan sesuatu?"

Sera diam. Pikirannya kembali ke saat ia melihat jejak kaki itu di kantornya.

Mimpi itu tadi malam ... jejak kaki di kantornya ... bagaimana itu bisa terjadi?

Hantu?

Sera menggeleng. Hantu apanya? Konyol sekali.

"Gadis Kecil, kau sedang membuat kerutan di dahimu," ujar Kina.

Sera mengerjap. "Eh, uh ... aku hanya sedang memikirkan tugasku. Aku belum menyelesaikannya," kilahnya.

Melirik dari sudut matanya, Kina mendengus dan melanjutkan sarapannya. "Itu bukan jawaban yang kuingin, Gadis Kecil. Kau tahu itu dengan pasti."

Sera meneguk ludah paksa. Ia tak pernah ingin membuat ibunya khawatir, tapi selalu saja membuat wanita itu cemas. "Ibu ... aku...."

"Tak perlu bercerita jika kau merasa terpaksa." Kina menatapnya. Wajahnya masih datar, tapi Sera melihat kelembutan di sana. "Sepertinya saat ini itu bukan masalah besar untukmu dan kuharap takkan pernah menjadi masalah besar. Silakan bercerita saat kau tak merasa terpaksa."

Dan Sera melihat senyum itu, senyum yang selalu mampu menenangkannya.

"Secepatnya, Bu."

🌠🌠🌠

"Kau akan berteriak lagi?"

Sera mengerjap. Pemuda dengan iris kuning keemasan itu kembali berdiri di hadapannya. Masih dengan pakaian lusuh yang sama.

"Kau akan mengusirku lagi?" tanya pemuda itu lagi.

Sera bangkit dari tempat tidurnya, memasang sikap waspada. "Siapa kau?"

Pandangan lembut itu menajam sesaat lalu kembali meredup. "Aku sudah lama memperhatikanmu," ujarnya parau.

"Kau menguntitku?" Sera sedikit menjerit saat menanyakannya. Mata bulatnya melotot tak percaya. "Bagaimana dan di mana?"

Tunggu....

Apakah ini mimpi lagi?

Sera memandang sekeliling, menatap kamarnya yang tak lagi berwarna cokelat muda. Dindingnya kini berwarna hijau pucat dengan hiasan daun jeruk, sama seperti warna dinding kantornya saat ia memimpikan pemuda itu.

"Benar ... ini mimpi...." Sera berbisik pelan, hampir tak terdengar.

"Tapi aku nyata," ucap sang pemuda, kembali menyita perhatian Sera.

"Kau sedang masuk ke mimpiku," tuduh Sera.

"Kau benar."

Apanya yang benar? Orang ini gila.

"Jadi, apa kita bisa berteman?" Pemuda itu mengulurkan tangan. Mengembangkan seulas senyum.

Tapi yang dilakukan Sera malah menepis tangan itu dan berlari keluar dari kamarnya.

"Tidak, jangan keluar dengan pakaian seperti itu!" Pemuda itu mengejarnya.

Sera terus berlari, menuruni tangga dan menuju pintu utama rumahnya. Saat ini ia lebih takut tertangkap pemuda itu daripada bertemu hantu atau apa pun itu.

"Sera, kumohon, jangan keluar dari rumah dengan pakaian seperti itu. Jika kau ingin melakukannya, kau harus bangun dahulu." Pemuda itu berhenti di anak tangga pertama. "Kumohon...."

Sera menoleh. Hatinya sedikit tergerak saat melihat wajah sendu pemuda itu.

"Apa aku menakutkan bagimu?" tanya pemuda itu.

Sera bungkam.

Menemukan seorang laki-laki berpakaian compang-camping dalam kamarmu, apa itu tidak menakutkan?

Ini hanya mimpi, Sera....

"Apa maumu?" tanya Sera akhirnya, masih bersikap waspada. Ketika pemuda itu melangkahkan kaki menuruni anak tangga, ia menjerit nyaring, "Jangan mendekat!"

Pemuda itu berhenti, tatapannya kembali sendu. "Aku hanya ingin mengobrol denganmu."

Mengobrol katanya? Orang ini benar-benar gila. Masuk ke kamar seorang gadis yang sedang terlelap hanya untuk mengobrol?

Yang benar saja!

"Tidak, tidak, jangan ke luar! Sera! Jangan buka pintunya!" Pemuda itu kembali bergerak, kali ini lebih cepat dari yang sebelumnya.

Sera menjerit ketakutan. Ia membuka pintu dengan tangan gemetar.

"Sial ... BANGUN!" Teriakan pemuda itu menggelegar.

Sera terlonjak. Napasnya tersengal hebat.

Dan ia terpaku.

Tak ada lagi pemuda itu. Jejak kaki kotor itu hanya sampai di anak tangga terakhir.

Apa yang terjadi?

Sera menatap sekeliling. Ia berada di depan pintu utama dengan tangan gemetaran memegangi gagang pintu.

Menatap keadaan tubuhnya, Sera menyadari ia hanya mengenakan pakaian tidur transparan yang menampakkan pakaian dalamnya dengan jelas.

Oh, sial.

***