webnovel

Bab 9: Contradiction

Ganendra masih tersenyum puas. Dirinya yang sebelumnya hanya bersandar pada sudut ruangan, mulai maju beberapa langkah untuk menghampiri pasangan yang kini mendekat ke arahnya. Hana yang berdiri kikuk di samping Leon, membuat Ganendra gemas setengah mati. Ingin rasanya memeluk dan mencium Hana lagi seperti yang ia lakukan beberapa menit lalu, namun urung dilakukannya.

Di hadapannya, Leon juga tersenyum padanya. Entah apa lagi yang mau dipamerkan pada Ganendra, karena Ganendra sudah sangat tahu bahwa gadis yang dibawa Leon hanyalah pacar sewaan.

"Makasih buat pestanya, Ndra. Tapi sepertinya aku harus pulang duluan," ucap Leon, masih dengan senyum di wajahnya. "Kekasihku sedang tidak enak badan."

Mendengar kalimat terakhir Leon, membuat tubuh Ganendra seketika kaku. Rahangnya mengeras, jemarinya mengepal kuat. Apa yang terjadi pada Hana? Seketika tatapan Ganendra tertuju pada Hana yang masih tertunduk di samping Leon. Gadis itu tampak sedikit pucat, dan hal itu sukses membuat Ganendra menjadi cemas setengah mati. Ingin rasanya Ganendra menanyakan apa yang terjadi, ingin rasanya ia merengkuh gadis itu dan mengatakan padanya semua akan baik-baik saja, namun lagi-lagi Ganendra hanya bisa menahannya sendiri.

"Okay, makasih udah datang. Hati-hati di jalan," ucap Ganendra akhirnya.

"Lain kali kamu juga bawa pasangan, Ndra. Jangan sendirian terus."

"Saya bisa urus itu sendiri."

Seperti ada sesuatu yang menghantam kepala Hana keras. Ucapan dengan nada dingin itu entah kenapa membuatnya takut, padahal Ganendra tidak menujukan kata-kata itu untuknya. Untungnya, setelah itu Leon segera membawanya keluar.

"Mas Leon, saya naik taksi saja," ucap Hana, tepat sebelum Leon meminta petugas valley mengambilkan mobilnya.

"Loh kenapa? Saya bisa antar kamu, tadi kamu bilang kepala kamu sakit," kata Leon cemas.

"Enggak apa-apa, Mas Leon. Saya masih sanggup pulang sendiri."

"Kalau begitu, saya pesankan saja taksinya, ya?"

Akhirnya Hana mengangguk, membiarkan Leon memesankan taksi online untuknya. Sebenarnya kepalanya tidak sakit, dirinya hanya sedikit bingung dengan keadaan ini. Pertama, ia tak sengaja bertemu Ganendra, kedua, ia mendengar pernyataan cinta Ganendra, ketiga, tentang pelukan dan ciuman Ganendra. Semua yang terjadi malam ini hanya tentang Ganendra dan hal itu cukup untuk mengacaukan pikiran Hana.

"Tere? Kamu baik-baik aja?" tanya Leon, sebelah tangannya menepuk pelan bahu Hana.

"Sa-saya baik, Mas Leon."

"Itu taksinya sudah datang, kamu bisa langsung pulang," ucap Leon dengan lembut. "Ongkosnya sudah saya bayar, Hati-hati di jalan."

"Terima kasih, Mas."

Leon mengangguk pelan, membiarkan taksi yang membawa Hana menghilang dari pandangan. Leon tersenyum di tempatnya. Gadis itu menarik, penurut dan polos namun di sisi lain juga punya aura yang anggun dan elegan. Kalau saja gadis itu bukanlah talent dari aplikasi pacar sewaan, sudah pasti Leon akan mengajaknya kencan sungguhan.

***

Hana turun di depan sebuah rumah besar yang alamatnya ia berikan pada Leon tadi. Baru setelah sopir taksi menghilang di tikungan, Hana merapatkan jaketnya dan berjalan kaki menuju rumahnya. Tempat ini memang sudah dekat dengan rumahnya, hanya saja, rumahnya terlalu terpencil hingga tak terdaftar di aplikasi maps. Jadi Hana terpaksa turun di depan rumah orang.

Sepanjang perjalanan, Lagi-lagi pikirannya dipenuhi oleh Ganendra. Ia tidak mungkin menyukai lelaki itu, semua ini hanya semata-mata karena perlakuan Ganendra padanya malam ini.

"Pergi jauh-jauh!" ucap Hana sendiri sembari memukul-mukul kepalanya sendiri. Berharap dengan begitu, bayang-bayang Ganendra bisa segera menghilang dari kepalanya.

Namun, belum selesai pikirannya dengan Ganendra, satu masalah sudah muncul lagi ke hadapannya. "Kak Hana!"

Mendengar suara yang familier barusan, Hana refleks menoleh dan mendapati Dirga yang menatapnya tajam. Detik itu juga, Hana sadar kalau dirinya sedang dalam masalah besar. Dirga belum mengatakan apa pun, hingga ia berdiri tepat satu langkah di hadapan Hana. Masih dengan ekspresi marah, Dirga mulai menodong Hana dengan banyak pertanyaan.

"Kakak ke mana? Kenapa nggak angkat teleponku? Ini sudah larut, aku cari Kakak ke mana-mana!"

"Dirga, Kakak tadi, kan, sudah bilang mau ke mana," ucap Hana lembut.

"Bohong." Dirga kembali menatap Hana tajam. "Kakak nggak ada di rumah Kak Dean. Tadi aku ke sana dan Kakak nggak ada. Kakak pasti habis melakukan pekerjaan itu, kan?"

"Maafin Kakak, Dir," lirih Hana.

"Kakak selalu begitu! Kakak selalu minta maaf, selalu berusaha sendirian, menderita sendirian. Apa aku belum cukup untuk bisa jadi orang yang diandalkan?! Aku nggak mau Kakak melakukan pekerjaan itu lagi." Dirga mengusap wajahnya kasar. "Aku nggak maksud bentak Kakak."

"Kakak hanya ingin yang terbaik buat Dirga dan Ibu."

"Tapi aku nggak suka Kakak kerja begitu. Kakak jadi terus bohong dan pulang malam, aku nggak suka. Ada banyak pekerjaan, Kak. Apa aja, selain jadi pacar sewaan, ya?" Dirga menatap Hana lamat-lamat, wajahnya tampak memohon.

"Kali ini Kakak akan benar-benar berhenti."

"Janji?"

"Iya, Kakak janji."

Dirga tersenyum lebar. Kali ini ia harus mencoba percaya pada kata-kata yang Hana janjikan. Ia hanya tidak ingin kakaknya terus bekerja sebagai pacar sewaan, pulang malam dan diremehkan orang lain. Dirga percaya kalau Hana hanya melakukan tugasnya, bukan hal lain. Namun, pandangan orang-orang tetap saja buruk pada Hana, dan Dirga sangat tidak suka itu.

Dirinya tahu, kalau apa yang Hana lakukan sekarang hanya demi membayar hutang-hutang yang ditinggalkan ayahnya. Hana sudah kehilangan semuanya, masa remaja juga kesempatan untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Dirga tahu, semua itu Hana lakukan demi keluarganya. Kali ini, Dirga hanya menginginkan satu hal, agar Hana berhenti menjadi pacar sewaan. Agar Kakaknya itu, bisa hidup normal seperti orang-orang pada umumnya tanpa ada gunjingan.

***

Pagi ini Hana bangun dengan perasaan bimbang. Semalam, Dirga sudah menghapus aplikasi Pacar Sewaan dari ponselnya secara permanen. Harusnya Hana merasa lega, namun masih ada sesuatu yang mengganjal di sudut hatinya. Ia harus memutar otak, mencari cara bagaimana agar dirinya bisa mendapatkan uang tambahan dengan cara yang layak. Hana hanya ingin membebaskan keluarganya dari jeratan hutang, itu saja.

Dengan kepala yang masih berdenyut, Hana keluar dari kamarnya. Dirga sudah pergi ke sekolah, dan ibunya juga sedang tidak ada di rumah. Ini pagi yang sunyi, ketimbang pagi hari pada biasanya. Tidak mau memikirkan hal tersebut lebih jauh, Hana memilih untuk bersiap-siap pergi bekerja. Dirinya masih harus bekerja untuk bertahan hidup.

Setelah semuanya siap, Hana bergegas pergi ke restoran dan tiba sepuluh menit lebih awal. Tempat kerjanya tidak banyak berubah, bahkan sepertinya tidak berubah sama sekali. Tampaknya Ganendra memang tidak berniat untuk merenovasi restoran. Lelaki itu pasti hanya membeli restoran untuk menunjukkan kekuasaannya pada Hana.

***