webnovel

Bab 4: Meet Again

Hana masih belum mengatakan apa pun. Suara berat dan dingin itu sukses membuatnya tak bisa berkutik, padahal orang itu juga belum mengatakan apa-apa. Tak ada suara lagi dari seberang, mungkin ia sengaja menunggu Hana menjawab panggilannya. Tapi Hana sendiri tidak tahu harus mengatakan apa. Inginnya ia marah karena Ganendra sudah lancang mengorek informasi pribadinya, tapi bahkan Hana terlalu takut untuk marah.

"Halo? Hana?"

Seketika tubuh Hana yang sejak tadi hanya mematung, kini malah jadi lemas. Bagaimana bisa Ganendra mengetahui namanya? Ini bukan hanya pelanggaran sebagai klien, tapi sudah melanggar hak privasinya.

"I-ini siapa?" tanya Hana akhirnya.

Meski ia sudah tahu betul siapa dibalik panggilan iseng malam ini, dalam lubuk hatinya yang terdalam Hana berharap semoga orang itu sungguh bukan Ganendra. Ada jeda sejenak sebelum kemudian sang penelepon menjawab pertanyaannya dengan satu tarikan napas juga dengan nada dingin yang sama.

"Ganendra Dharmawan."

Refleks, Hana memegangi gagang pintu dengan sebelah tangannya. Berharap agar pintu di hadapannya bisa menopang tubuhnya yang hampir tumbang. Mau apa sebenarnya Ganendra menghubunginya di jam segini, di situasi seperti ini. Karena sungguh, semuanya benar-benar tidak pas! Tidak ada bagus-bagusnya juga kalau ini dikatakan hanya sebuah kebetulan. Pelan, Hana menarik napas kemudian mengembuskannya. Dirinya tidak boleh lebih terguncang lagi dari ini.

"P-Pak Ganendra?" tanya Hana ragu. "A-ada urusan apa Bapak menghubungi saya di jam seperti ini? Apa ada sesuatu yang mendesak?"

Seketika Hana merutuki kebodohannya. Entah kenapa dirinya malah menanyakan hal semacam itu, bukannya bertanya dari mana Ganendra bisa mendapatkan nomor pribadinya dan juga ada urusan apa sampai laki-laki itu meneleponnya larut malam begini. Harusnya Hana marah padanya, tapi dirinya justru sudah ciut duluan.

"Ada yang mau saya bicarakan, bisa bertemu besok?" tanya Ganendra kemudian.

"Saya ada pekerjaan sampai akhir pekan, Pak."

Bagus, Hana!

Hana memekik dalam hati. Iya, ini sudah yang paling benar. Ia sangat tidak ingin bertemu dengan laki-laki bernama Ganendra, meskipun bisa dan memiliki waktu senggang sekalipun, Hana tidak akan bersedia bertemu dengannya. Lagi-lagi, Ganendra memberi jeda beberapa saat sebelum akhirnya menjawab ucapan Hana. Entah apa yang tengah dipikirkan laki-laki itu, Hana tidak mau menduga-duga.

"Sebentar saja nggak bisa?" tanya Ganendra akhirnya.

"Enggak bisa, Pak."

"Ya sudah."

Panggilan terputus begitu saja. Dari nadanya, ada kekecewaan dalam suara Ganendra, tapi Hana tidak mau memikirkan hal itu lebih jauh. Tubuhnya sudah terlalu lelah dan besok dirinya masih harus bekerja pagi-pagi. Hana tidak punya waktu memikirkan laki-laki itu.

***

Ganendra menatap lurus pada jendela terbuka di hadapannya. Pemandangan malam, disertai angin dingin sehabis hujan memang selalu ampuh menenangkan suasana. Tapi lagi-lagi pikirannya terusik. Hanya dengan satu nama, seorang gadis yang berhasil menolaknya. Dalam hidupnya, Ganendra tidak pernah mendapatkan penolakan, dan Hana adalah orang pertama yang menolak bertemu dengannya. Entah apa pekerjaan perempuan itu hingga membuatnya sibuk sekali, padahal Ganendra jauh lebih sibuk.

Ganendra kembali mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana, sebelum kemudian menekan sebuah nomor dan menghubunginya saat itu juga.

"Ya, halo?" terdengar suara parau menyahut dari seberang panggilan.

"Cari tahu tentang restoran tempat gadis itu bekerja, sekalian cari tahu juga apa pemiliknya mau menjual tempat itu," ucap Ganendra tanpa nada.

"Bisa nggak besok aja, Pak? Ini sudah larut, saya mau istirahat."

"Saya tunggu hasilnya sampai besok, kalau bisa lebih cepat lebih baik," jawab Ganendra, seolah tidak mau peduli dengan kondisi Ares yang ngantuk berat.

"Bodo amat!"

Ares menutup telepon secara sepihak, tidak peduli kalau nantinya Ganendra akan marah padanya. Bahkan lebih bagus kalau Ganendra memecatnya saja, karena sungguh bekerja di bawah Ganendra sangat tidak menyenangkan. Orang yang gila kerja seperti Ganendra tidak akan segan menyuruh bawahannya untuk bekerja dua kali lebih keras hanya agar bisa mengimbangi kinerjanya. Meski Ganendra adalah sahabat baiknya, Ares juga tidak tahan kalau harus kerja di bawah tekanan Ganendra terus menerus.

Di tempatnya, Ganendra hanya bisa menghela napas pelan. Apa dirinya terlalu tergesa-gesa? Tapi sudah lewat satu minggu sejak Ganendra bertemu dengan Teressa atau Hana, atau siapa pun namanya, Ganendra tidak peduli! Ia hanya ingin bertemu lagi dengan gadis itu, gadis yang sukses membuatnya terpana di pertemuan pertama. Gadis yang sukses membuat jantung Ganendra berdebar tidak jelas. Gadis yang sukses membuat Ganendra bahkan tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri.

***

Sejak mendapat telepon dari Ganendra semalam, perasaan Hana jadi semakin tidak tenang. Kalau laki-laki itu bisa menemukan identitas aslinya sebagai Hana, bukan tidak mungkin kalau Ganendra bisa melakukan hal yang lebih dari ini. Sebenarnya apa yang dia inginkan dan apa tujuannya. Kenapa dia harus mencari Hana sampai seperti ini, gadis itu terus bertanya-tanya.

Sudah lebih dari sepekan, Hana memang tidak mengaktifkan aplikasi Pacar Sewaan sehingga tidak memungkinkan bagi siapa pun untuk menyewanya dalam waktu tersebut. Pekerjaannya di restoran sudah cukup menguras tenaga, ia bahkan tidak bisa beristirahat di hari libur. Namun, tidak diduga, Ganendra malah menemukan cara yang tidak biasa untuk menemukannya. Tapi hal itu justru membuat Hana takut setengah mati.

Lagi-lagi, hari ini pun restoran ramai di jam makan siang. Hana dan Dean jadi bekerja dua kali lebih keras dibanding biasanya. Ini melelahkan, tapi entah mengapa Hana malah merasa senang. Setidaknya, karena kesibukan ini Hana jadi tidak punya waktu untuk memikirkan Ganendra.

"Han, meja 9 minta air mineral!" ucap Dean sambil berlari.

Hana mengangguk, mengambilkan air mineral kemasan dan bersiap mengantarkannya pada pelanggan di meja 9. Namun, betapa terkejutnya Hana begitu mendapati sosok yang dikenalinya duduk di sana. Dengan setelan jas lengkap, dan seorang yang tengah menggerutu bersamanya.

"A-air mineralnya, Pak," ucap Hana Ragu.

"Tunggu. Saya mau bicara."

Mendengar suara itu lagi secara langsung, sukses membuat Hana tidak bisa berkutik. Waktu seolah berhenti di sekelilingnya. Hana terperangkap pada tatapan dingin bola mata hitam gelap milik Ganendra.

"Ya nanti kali, Ndra. Lagi rame begini," ucap Ares yang terpaksa jadi terseret sampai ke sini. "Maaf Mbak Tere–"

"Hana. Nama saya Hana," potong Hana cepat.

"Mbak Hana. Maafkan teman saya ini, ya. Jam istirahat nanti, bisa bicara dengan teman saya?" ucap Ares sopan.

Hana tidak langsung menjawab, ia hanya tertunduk dalam diam. Bahkan tubuhnya jadi makin sulit digerakkan saat menyadari tatapan Ganendra yang terang-terangan tertuju padanya.

"Gimana, Mbak Hana?" tanya Ares sekali lagi.

"Maaf, saya nggak bisa. Saya masih banyak pekerjaan, permisi."

Dengan sekuat tenaga, akhirnya Hana berhasil melarikan diri dari dua orang menakutkan di meja 9 tadi. Hana sadar, tidak seharusnya dia melarikan diri seperti itu, hanya saja dirinya belum siap menunjukkan sosok aslinya kepada Ganendra.

"Kayaknya kamu ditolak lagi, Ndra," ucap Ares asal seraya melanjutkan makan. "Makanannya enak juga."

Sama sekali tidak menghiraukan ucapan Ares, mata Ganendra hanya tertuju pada Hana yang kini tengah berlarian ke sana kemari mengantarkan pesanan makanan. Sesekali gadis itu tersenyum pada salah satu pelanggan lansia, sekali waktu ia juga tersenyum pada balita. Senyuman itu terlihat begitu tulus, jauh berbeda dengan senyum manis yang dipaksakan ketika bersamanya malam itu. Dalam hati Ganendra menginginkan senyum itu. Senyuman tulus Hana yang hanya akan ditujukan padanya.

***