webnovel

Bab 10: Best Friend

Hana masih duduk termenung di tempatnya. Setelah menyapu seisi restoran, dan membersihkan meja-meja, Hana masih punya banyak waktu sampai waktunya restoran buka. Lagi pula, Dean juga belum datang, jadi sambil menunggu Dean datang, Hana duduk sendiri di tengah ruangan.

"Hana, kamu udah dari tadi di situ?" tanya Dean yang baru saja sampai.

Hana hanya mengangguk singkat menjawab pertanyaan Dean. Namun tak seperti biasanya, Dean justru duduk di hadapan Hana. Ekspresinya tampak cemas, namun juga ada kekesalan di wajah itu.

"Ke mana kamu semalam?" tanya Dean ingin tahu. "Tahu, nggak, adikmu marah-marah ke aku. Jawab yang jujur, ke mana kamu semalam?"

"Aku ada kerjaan di luar," jawab Hana pelan.

Hana sudah tahu, bahwa cepat atau lambat, Dean pasti akan menanyakan hal ini padanya. Tapi Hana masih belum bisa mengatakan yang sebenarnya pada Dean. Padahal, Dean adalah teman terdekatnya, dan kepada Hana, Dean selalu menceritakan apa saja tentang hidupnya. Hanya saja, untuk yang satu ini Hana belum bisa mengatakannya pada Dean.

"Lain kali, bilang yang jujur ke adikmu, atau paling nggak, kamu bilang ke aku. Jadi aku nggak perlu dimarahi sama anak SMA."

"Iya, aku minta maaf," ucap Hana pelan. "Maaf, ya, Dean."

"Traktir aku makan siang, kalau gitu."

"Curang!"

Keduanya hanya tertawa, bercanda seperti sedia kala. Restoran memang belum buka, tapi seorang lelaki sudah berdiri di depan pintu kaca. Menatap senyum Hana dari kejauhan, sudah cukup untuk mengisi energinya setiap hari.

***

Waktu berlalu tanpa terasa, musim bergulir dengan cepat. Hujan baru saja turun dengan derasnya, tapi untungnya restoran jadi sepi. Akhir-akhir ini Hana bekerja dua kali lipat lebih keras sebab restoran yang terus-terusan ramai. Menurut Sekretaris Ganendra yang datang setiap hari ke restoran, Hana jadi tahu kalau restoran selalu ramai berkat iklan dan sponsor dari perusahaan mereka.

Di waktu-waktu senggang seperti ini, bisa menikmati suasana hujan dengan santai adalah berkah bagi Hana. Hingga tanpa ia sadari, seseorang sudah duduk di sampingnya, ikut menikmati hujan bersamanya.

"Mas Ares?" ucap Hana yang terkejut dengan kehadiran Ares.

"Santai aja, Han. Lagi sepi juga, kok." Ares tersenyum ramah.

Dibandingkan dengan Ganendra, Ares memang jauh lebih bersahabat. Jauh lebih baik dan jauh lebih santai. Hanya dalam waktu beberapa minggu saja, Ares sudah cukup akrab dengan semua karyawan restoran, termasuk Hana. Sejak beberapa minggu lalu, Ares memang rutin mengunjungi restoran, dan entah apa alasannya, Ganendra tidak pernah ikut bersamanya.

"Mas Ares lagi senggang?" tanya Hana setelah selama beberapa saat memerhatikan Ares.

"Ini saya lagi kerja, Han," jawab Ares, Lagi-lagi sambil tersenyum ramah. "Berhubung bos saya lagi dinas ke luar negeri, dia minta saya sering-sering cek resto, sama sekalian liat keadaan kamu."

"Kok saya?"

"Duh, keceplosan!" Ares menepuk bibirnya sendiri. "E-enggak, Hana. Lupain aja."

"Pak Ganendra yang minta ya, Mas Ares?" tanya Hana lagi. Tatapannya tertuju pada Ares, menuntut penjelasan.

"Endra nggak ada maksud jahat kok, Han."

Hana mengangguk pelan. "Saya tahu, Mas Ares. Hanya saja, sikap Pak Ganendra ke saya itu terlalu berlebihan dan membuat saya risih."

"Dia hanya sedang jatuh cinta," ucap Ares pelan.

"Orang kaya kalau jatuh cinta seram ya, Mas Ares." Hana terkekeh pelan. "Tapi nggak tahu kenapa, saya nggak merasa senang sama sekali. Bukan berarti saya benci Pak Ganendra, hanya saja saya merasa tidak pantas mendapatkan cinta sebesar itu dari orang seperti Pak Ganendra."

"Sebentar, Han. Kamu ngomong apa, sih?" Ares menatap Hana heran. "Memangnya orang bisa memilih mau jatuh cinta sama siapa?"

Hana menggeleng, sudut bibirnya terangkat mencetak sebuah senyuman. "Saya juga nggak mengerti, Mas Ares."

Memang benar apa yang dikatakan Ares barusan, tapi Hana tetap merasa janggal. Selama hidupnya, Hana tidak pernah merasa dicintai sampai seperti itu, ditambah perlakuan ekstrem yang Ganendra tunjukan padanya. Hal itu justru membuat Hana takut.

"Han, kamu mau dengar cerita, nggak?" tanya Ares tiba-tiba. Tatapannya masih mengarah lurus pada jendela kaca di hadapannya. "Buat saya, Ganendra itu bukan hanya atasan. Tapi juga sahabat baik. Di luar sikapnya yang dingin dan kaku, dia satu-satunya orang yang paling mengerti saya di dunia ini. Bahkan Ganendra nggak pernah lupa tanggal ulang tahun saya." Ares tertawa pelan.

"Sepele memang, tapi buat saya, hal-hal kecil yang sepele itu adalah wujud dari perhatian Ganendra buat saya. Selama hidupnya, Ganendra hanya memikirkan pekerjaan. Waktu kuliah, dia hanya sibuk belajar. Tapi sekarang, ada prioritas lain di hidupnya, yaitu kamu, Hana."

Ares menjeda ucapannya sejenak, sebelum kembali melanjutkan. "Saya harap kamu bisa menerima perasaan Ganendra. Meskipun dia nyebelin, saya tau kalau dia tulus sama kamu."

Di tempatnya, Hana hanya bisa terdiam mendengarkan semua cerita Ares. Hana juga tahu, kalau Ganendra tidak punya niat jahat padanya. Namun, ada sisi lain di sudut hatinya yang mendorongnya untuk selalu menjauh dari Ganendra. Keragu-raguan dalam hatinya, membuat Hana terus mendorong Ganendra dan sama sekali tak melihat ketulusan lelaki itu. Tapi, kalaupun Hana membuka hati untuknya, apa yang akan berubah? Semuanya akan tetap sama. Dirinya akan tetap menjadi gadis miskin dengan hutang-hutang yang menumpuk, dan Ganendra akan tetap menjadi Direktur perusahaan keluarganya. Tidak akan ada yang berubah sama sekali, meskipun mereka bersama. Hana hanya akan menjadi parasit dan batu sandungan dalam kehidupan Ganendra.

***

Tepat tiga bulan berlalu, dan hingga detik ini, Hana sama sekali tidak menjalankan pekerjaan sebagai pacar sewaan. Semuanya masih baik-baik saja, meski kadang ia kesulitan membayar semua sewa dan hutangnya, tapi semuanya tetap baik-baik saja. Selama waktu-waktu itu juga, Ares yang menggantikan Ganendra datang ke restoran. Hana banyak mendengar cerita dari Ares, dan hal itu cukup menyenangkan buatnya.

Pribadi Ares yang bersahabat dan murah senyum, membuat siapa saja nyaman berbincang dengannya. Tapi hari ini, Ares belum datang ke restoran. Padahal biasanya, Ares selalu datang di jam yang sama setiap hari.

"Mas Ares nggak datang, De?" tanya Hana yang baru saja keluar dari arah dapur.

Dean tidak langsung menjawab, ia hanya menyenggol lengan Hana pelan, memberi kode pada gadis itu. Untuk sesaat, tatapan Hana terpaku pada sosok di hadapannya. Ada desiran aneh di dadanya begitu ia melihat sosok itu. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali Hana bertemu dengannya, pertemuan yang sangat tidak ingin Hana ingat-ingat lagi. Tiga bulan berlalu tanpa ia bertemu dengan Ganendra, lelaki itu terlihat semakin berwibawa dengan setelan kemeja yang ia kenakan.

"Pak Ganendra?"

***