***
[It's time to get change the subjects]
Aku menghentikan aktivitas ketika mendengar suara speaker yang setelahnya diikuti dengan irama yang membuatku ikut bergumam. Kepalaku juga ikut bergoyang ke kanan dan ke kiri karena iramanya yang asik.
Aku dan Gea yang duduk di barisan ke tiga kursi terpojok pun menoleh berbarengan ke arah Ibu Tuti, guru ekonomi lintas minat, yang langsung berdiri, memandang murid-murid 10 MIPA A bergantian.
"Tugasnya dikumpulkan setelah pulang sekolah, ya."
Ucapan Ibu Tuti membuatku menggagalkan niat untuk menutup pulpen. Gea dan beberapa teman-temanku menghela napas panjang dengan ekspresi tak rela. Memang pantaslah untuk tak rela karena tugas yang dikumpulkan setelah pulang sekolah, membuat kami harus mengambil waktu istirahat untuk mengerjakannya.
"Bu, tidak bisa besok saja dikumpulkannya?" tanya Desca yang mengacungkan tangan dan terlihat berani di mataku.
"Ya, Bu. Saya setuju dengan Desca. Kami keberatan kalau harus dikumpulkan setelah pulang sekolah karena kami harus mengambil jam istirahat untuk menyelesaikannya," tambah Joan yang kulihat-lihat mulai berkompromi dengan Ibu Tuti.
"Kalau dikumpulkan besok, mau jam berapa? Saat jam masuk sekolah?" balas Ibu Tuti membalas tawaran Joan.
"Jangan, Bu! Istirahat pertama saja!" sahut Gea. Kupikir tumben-tumbenan anak ini ikut berkompromi. Padahal biasanya, dia tidak mengerjakan tugas dan meminta jawabanku untuk disalin. Tadi saja, dia malah menyembunyikan ponsel di laci meja dan memainkannya daripada mengerjakan tugas ekonomi.
"Ya sudah. Saat istirahat pertama, ketua kelas tolong kumpulkan di meja Ibu. Kalau telat, kalian tidak akan dapat nilai," ujar Ibu Tuti yang disahuti dengan sorakan puas dari teman-teman sekelas.
"Makasih, Desca, Joan!" seruku ikut senang karena penundaan pengumpulan tugas.
"Kalian ini...!" Kulihat Ibu Tuti geleng-geleng kepala melihat kelakuan kami. Tapi, biarlah. Daripada harus merelakan waktu untuk makan siang, lebih baik tugasnya yang ditunda.
"Ada yang mau membantu Ibu untuk membawakan buku-buku ini ke kelas 11 IPS C?" tanya Ibu Tuti yang langsung membuatku mengangkat tangan tanpa basa-basi.
Gea pun langsung menoleh padaku dengan tatapan aneh dan curiga.
"Oh, Aletta. Terima kasih," ujar Ibu Tuti tersenyum padaku.
"Awas, Ge!" ujarku padanya agar memberikanku jalan. Namun, sebelum berjalan ke meja guru dan mengambil tumpukan buku tersebut, aku menoleh lagi dan bertanya padanya, "Mau ikut tidak?"
"Ya sudah," jawabnya pasrah, tetapi raut wajahnya tidak terlihat seperti itu. Aku tahu dia juga senang karena saat kembali ke kelas nanti, kami bisa berjalan-jalan mengitari sekolah sebelum masuk dan kembali duduk manis untuk belajar di kelas.
Aku membagi tumpukan buku itu menjadi dua. Memberikan setengahnya pada Gea dan setengahnya lagi kubawa sembari mengekor di belakang Ibu Tuti. Sesekali kami bertukar obrolan seputar perekonomian negara. Memang obrolan yang cukup berat, apalagi untukku yang anak MIPA dan tidak terlalu tertarik dengan hal-hal seperti itu. Namun, aku masih bisa menjawabnya dengan cukup baik.
"Kamu sudah tahu, Aletta?"
"Tidak, Bu." Aku menggeleng. "Apa itu?" Sesekali memerhatikan anak tangga yang sedang ku pijak satu per satu.
"Ada anak baru di kelas 11 IPS C. Tadi pagi, Ibu sempat bertemu dengannya saat dia baru ke luar dari kantor kepala sekolah."
"Oh, anak baru... mutasi dari sekolah mana, Bu?" tanyaku karena ini sudah semester dua. Pendaftaran sekolah telah ditutup, kecuali untuk murid pindahan yang pintar dan cukup kaya untuk membeli bangku kosong di sekolah kami.
"Ibu dengar dia dari Jerman."
"Lhoo, jauh sekali, Bu. Memangnya dia bisa bahasa Indonesia?"
"Mana ibu tahu. Ibu belum sempat bicara dengannya. Lagipula kalau dia tidak bisa bahasa Indonesia, sekolah kita kan sekolah internasional. Ibu bisa bicara dengannya dengan bahasa Inggris," ujar Ibu Tuti yang sesekali memperhatikanku serta Gea yang sejak tadi mepet-mepet ke balkon sembari melihat lapangan di bawah sana.
Aku hanya mengangguk-angguk menanggapi jawaban Ibu Tuti. Kami tak lagi bicara sampai tiba di depan kelas 11 IPS C, yang dari luar saja berisiknya sudah luar biasa. Kelasku saat berisik saja tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kelasan Arkhano ini.
"Woy, ada Bu Tuti, ada Bu Tuti!" seru salah satu dari mereka yang melihat Ibu Tuti berdiri di depan kelas tengah memerhatikan mereka.
Aku memerhatikan Ibu Tuti yang kembali menggelengkan kepala melihat kelakuan kakak-kakak kelasku itu. Dia masuk ke sana tanpa melepas pandangan dari anak-anak kelas 11 IPS C yang sibuk kembali ke kursinya. Aku dan Gea juga mengekor di belakang, sesekali kami memerhatikan mereka juga.
Aku dan Gea meletakkan tumpukan buku itu di meja guru. Ibu Tuti menatap kami sambil tersenyum simpul. Ekspresinya jelas jauh berbeda dengan saat dia memerhatikan murid-murid 11 IPS C.
"Terima kasih, Aletta, Gea."
"Iya, Bu," sahutku dan Gea bersamaan sembari mengangguk. Kami bersalaman pada Ibu Tuti, kemudian pergi dari sana.
Sebelum menutup pintu rapat-rapat, aku sempat melihat Arkhano yang tengah tersenyum. Bukan padaku, tetapi pada perempuan yang ada di sebelahnya.
Siapa itu? Anak baru yang tadi Ibu Tuti bicarakan, kah?
***
Saat jam istirahat ke dua, jamnya untuk makan siang, aku dan Gea yang tak terpisahkan, pergi ke kantin bersama-sama. Mengambil makanan catering yang telah disiapkan oleh pihak kantin, lalu membawanya ke meja yang sedikit berada di pojok.
"Wah... hari ini makanan Jepang!" seru Gea saat membuka kotak catering. Dia langsung membelah sumpit menjadi dua.
Aku yang mendengarnya pun langsung bersemangat. Kubuka kotak catering tersebut dan mendapatkan porsi makanan yang sama dengannya.
Nasi putih, Beef Yakiniku, satu Ekado, dua Ebi Furai, salad sayur, dan Ocha berukuran 250Ml.
"Aku akan menelannya dengan sangat baik kali ini," ujarku bersemangat sembari mengeluarkan sumpit dan membelahnya menjadi dua. Aku mencicip Beef Yakiniku terlebih dahulu yang langsung meleleh di mulut.
"Woah, umai! (Woah, enak!)" kataku dalam bahasa Jepang. Aku menggabungkan Beef Yakiniku dengan nasi putih dan salad sayur, lalu memakannya, dan tersenyum puas karena semua perpaduannya menyatu dan meleleh di mulut.
"Aku lebih suka ini daripada chicken katsu yang kemarin," ujar Gea sembari makan dengan lahap.
"Aku juga," balasku sembari membuka Ocha, lalu meneguknya. Mataku berkedip-kedip saat sensasi yang agak pahit mengalir melewati lidah ke tenggorokan. "Ew, aku masih tidak terbiasa dengan Ocha yang pahit. Lebih baik yang tawar saja daripada yang pahit," ujarku menjauhkan Ocha dari sana. Gea tertawa kecil menanggapinya.
Saat hendak menyuap makanan lagi, kami dihentikan dengan suara bising yang terdengar dari arah pintu.
Aku mengedipkan mata, memastikan pengelihatanku tidak salah. Itu Arkhano dan teman-temannya. Sudut bibirku sedikit tertarik saat melihatnya, tetapi kembali lagi seperti semula saat melihat perempuan yang terlihat asing berada di sisi Arkhano.
Mata kami terkunci selama beberapa detik. Arkhano melambaikan tangan ke arahku sembari tersenyum lebar. Bibirnya memanggil namaku tanpa suara. Namun, aku memilih untuk mengabaikannya dan kembali makan dengan tenang.
"Siapa dia?" tanya Gea padaku dengan ekspresi penasaran.
Aku mengedikkan bahu. "Mana kutahu. Mungkin murid baru yang dibilang Bu Tuti tadi," jawabku tanpa ekspresi.
"Cantik," puji Gea sembari menatapnya yang tengah mengantre untuk mengambil makanan bersama Arkhano. "Tubuhnya hampir seperti gitar Spanyol," sambungnya lagi.
"Gitar Spanyol atau apalah itu, kalau dia sudah diberi makanan yang ada di kantin, dia akan ketagihan dan berubah menjadi gendang," balasku menyelipkan candaan yang disahuti Gea dengan tawa lepas.
"Kamu benar," ujar Gea dengan sisa-sisa tawanya sambil menunjukku dengan sumpit. "Berat badanku bertambah tiga kilo semenjak makan di kantin," sambungnya.
Aku terkekeh masam. "Memangnya kamu saja yang bertambah? Aku juga bertambah, empat kilo!" sahutku sembari merotasikan mata.
"Ah, masa?" sahut Gea meragukan ucapanku. Aku mengangguk kecil. "Tidak terlihat seperti itu," sambungnya lagi.
Terserah sajalah dia mau percaya atau tidak, tapi kenyataannya kan memang seperti itu.
Omong-omong soal gitar Spanyol, aku juga memandanginya. Memang benarlah yang dikatakan Gea. Dari belakang saja, sudah terlihat tubuh itu molek dan seksi untuk seukuran anak kelas 2 SMA. Aku menunduk, menatap perutku yang tersembunyi di balik kemeja sekolah. Ada lipatan yang cukup besar tercetak di sana.
Tuhan, aku sedikit iri. Tapi, makanan ini terlalu enak untuk dilewatkan.
Dan ku putuskan, untuk tetap melanjutkan makan siang ku dengan lahap.
———