webnovel

Ada Alasannya

***

Sedan hitam itu perlahan mundur dari  parkiran kafe ke pinggir badan jalan raya yang dipandu oleh tukang parkir. Joan membunyikan klakson mobil sebanyak dua kali dan Gaby membuka jendela sembari melambaikan tangan pada mereka sebelum akhirnya mobil itu mengambil lajur kanan dan berbaur dengan tranportasi lainnya.

Gea menoleh pada Aletta yang masih memperhatikan jalan raya dengan senyum yang mengembang.

"Kenapa Gaby marah pada Joan, Le?" tanyanya mengungkapkan rasa penasaran yang sejak tadi ditahannya.

Aletta menoleh sekilas. "Naik dulu. Nanti ku ceritakan," jawabnya yang langsung berjalan menuju kursi kemudi.

Gea pun mengangguk kecil, kemudian masuk ke dalam mobil dan memakai seat belt tanpa disuruh.

Pajero sport berwarna putih itu perlahan mundur. Aletta memberikan uang tip sebagai tanda terima kasih kepada tukang parkir, kemudian menancap gas, meninggalkan kafe yang satu jam lalu mereka singgahi.

Aletta mengemudikan mobil dengan santai. Dia mengambil lajur kiri agar tidak menganggu kendaraan lain yang ingin mendahului.

"Kenapa, Le? Aku penasaran sejak tadi, sungguh!" ujar Gea menggebu.

Aletta terkekeh kecil. "Bukan hal yang besar sebenarnya. Hanya Joan yang sedikit bersemangat ketika aku membantunya mengingat nama Arkhano."

"Ohh," sahut Gea yang kemudian mencuri-curi pandang pada gadis yang menatap lurus ke depan.

Aletta terkekeh masam ketika menyadari Gea yang terus menerus mencuri-curi pandang padanya.

"Kenapa begitu?"

"Hanya itu saja?" tanya Gea merasa sedikit tidak puas.

"Yah, tidak... semuanya dimulai ketika Joan menanyakan keberadaan ku selama ini, lalu dia juga bertanya kenapa tidak ada satupun orang yang aku hubungi." Aletta menoleh sejenak pada Gea. "Dia juga sudah menebak kalau kamu satu-satunya orang yang aku hubungi."

"Astaga, anak itu...!" Gea menggelengkan kepala merasa gemas. "Kamu tahu, Ale? Saat rapat pertama kali, yang di Kafe Guatemala waktu itu... dia sendiri yang melarang Karmila dan Desca untuk bertanya hal-hal aneh padaku. Kenapa malah dia sendiri yang begitu gencar melayangkan pertanyaan padamu?"

Aletta terkekeh masam mendengarnya. "Manusia kan memang begitu. Tidak selalu lurus dan tidak selalu bengkok," balasnya tajam.

"Pantas saja Gaby marah padanya!" seru Gea sembari melayangkan tinju ke udara. "Omong-omong, ini pertama kalinya kamu bertemu dengan Gaby, kan?"

Aletta mengangguk singkat. "Bahkan aku baru tahu kalau Joan sudah menikah. Kamu tidak pernah memberitahuku, Ge," ujarnya sesekali menoleh pada gadis berambut pendek yang terurai.

Gea terkekeh kecil. "Sejujurnya... aku juga lupa untuk memberitahukan itu. Em... lagipula kalau ku beritahu, kamu tidak mungkin juga menitipkan selamat atau hadiah pernikahan, kan?"

"Setidaknya kan aku tahu," balas Aletta. "Aku tidak enak karena hanya mengucapkan selamat pada Gaby tadi. Aku jadi berjanji padanya untuk datang saat anak pertamanya lahir."

"Harusnya kamu berjanji untuk mengundang mereka di pesta pernikahanmu nanti," celetuk Gea yang diiringi dengan kekehan geli. 

Beruntung Aletta tidak langsung menimpuknya dengan botol yang ada di dashboard karena dia sedang fokus mengemudi. Gadis itu membuang napas perlahan.

"Lihat saja nanti. Aku yang menikah lebih dahulu atau anak mereka yang lahir lebih dahulu."

"Ya, ya, ya." Gea menelengkan kepala ke kiri dan kanan, kemudian menoleh pada Aletta dan tersenyum meledek. "Aku lebih yakin anak mereka yang lahir lebih dahulu. Eh, tapi siapa yang tahu? Bisa saja, kan, kamu yang menikah lebih dahulu."

"Calonnya saja tidak ada." Aletta berdecak singkat dan melirik sinis pada Gea. "Kamu seperti mamaku saja!" sambungnya dengan intonasi yang penuh penekanan. 

"Bukan aku yang seperti mamamu, tapi memang sudah waktunya saja kamu mendapat pertanyaan-pertanyaan yang seperti itu," sanggahnya sambil menaikkan sebelah alis.

Aletta menekan rem ketika lampu lalu lintas di depan berubah menjadi warna merah.

"Aku tahu," jawab Aletta singkat.

"Em, Ale...." Gea tak memanggilnya, tetapi tidak menaruh atensi pada Aletta. Hanya sekadar mengetes gadis itu.

"Apa?"

Gea terdiam cukup lama, kemudian menggeleng kecil. "Tidak jadi, deh."

Aletta berdecak kasar. "Seperti bukan kamu saja," cibirnya sambil merotasikan mata.

Mendengar hal itu, Gea menggertakkan rahang. Dia memutar tubuh, menghadap Aletta.

"Kamu serius?"

"Apanya?" tanya Aletta yang memegang kemudi hanya dengan satu tangan.

"Itu... reuni...." Gea menatapnya menelisik. "Kamu serius?"

"Kan sudah kubilang... kalau aku tidak sibuk, aku akan 'berusaha' untuk datang. Masih kurang jelas, huh?" Aletta menoleh padanya dengan alis yang terangkat.

"Jelas, sih... tapi, dengan kamu yang menjawab seperti itu, sama saja kamu memberikan harapan. Joan akan menggunakan jawabanmu untuk disebar luaskan saat rapat nanti. Ada Karmila dan Desca di sana. Kamu tahu kan bagaimana mereka? Memangnya kamu tidak keberatan?"

"Menurutmu?" balas Aletta yang menjawab pertanyaan Gea dengan pertanyaan.

"Nah, asal kamu tahu! Kamu juga telah memberikan harapan padaku!" Gea menatapnya dengan ekspresi mencibir.

"Lalu?"

"Ya... semangatku untuk memaksamu datang ke reuni kembali menggebu-gebu! Kamu harus bertanggung jawab dong!" Gea meninju pelan lengan Aletta, membuat gadis itu meringis pura-pura.

"Hati-hati, siapa tahu itu hanya sekadar harapan palsu?" balas Aletta terkekeh geli. Membuat Gea kembali duduk menghadap ke depan sembari bersedekap, pundung dengan Aletta. Namun, tidak ada dua puluh detik, gadis itu kembali menghadapnya dan memandangnya menelisik.

"Kamu... tidak apa-apa kalau bertemu dengan 'dia'?" tanya Gea merujuk pada seseorang yang namanya Aletta sebutkan di awal.

"...." Alis Aletta mengerut. "Lampunya sudah hijau," balasnya tanpa menoleh pada Gea dan kembali menancap gas. Kali ini, gadis cantik itu mengambil lajur kanan dengan kecepatan 80 KM/jam. Kecepatan yang tergolong cepat untuk seukuran mobil yang melaju di jalan raya, bukan di jalan tol.

***

Aletta POV

Menghilang tanpa kabar bagai ditelan oleh inti bumi. Itu yang kujalani selama delapan tahun terakhir.

Awalnya, sempat ku putuskan untuk tidak mengabari siapapun setelah meninggalkan tanah air. Namun, tak enak rasanya pada Gea yang telah menjadi sahabat sejak lama, bahkan telah ku anggap sebagai saudara berbeda darah denganku, kalau aku tidak mengabarinya sama sekali.

Mama juga sering menanyakan kabar teman-temanku. Apalagi kabar Gea, yang benar-benar telah dianggapnya sebagai anak.

Enam bulan setelah tinggal di New York, ku putuskan untuk menghubungi Gea lewat email yang baru. Kenapa baru? Karena semua yang lama, semua yang berhubungan denganku, semua yang ku gunakan saat dahulu masih di Indonesia, ku hapus semuanya. Aku tidak ingin seorang pun tahu jejak-jejakku.

Egois? Sangat! Aku juga tahu tanpa diberitahu. Namun, rasa sakit yang mendalam... rasa sakit yang baru ku rasakan untuk pertama kalinya, membuatku bertindak dan berpikir secara impulsif.

Saat itu, aku hanya ingin satu. Menghilang.

Kalau dipikir-pikir lagi, darimana mulanya semua keruwetan ini? Keruwetan yang telah membuatku berpikir seribu kali untuk datang ke reuni. Padahal, aku rindu dengan teman-temanku.

Dari saat dia datang untuk pertama kalinya sembari membawa makanan ke rumahku, kah?

Bukan. Saat itu, aku masih seorang gadis yang punya rasa waspada tinggi pada laki-laki di luar sana.

Dari saat dia punya gadis lain yang telah membuatnya jatuh cinta, kah? Yang jauh lebih cantik, lebih pintar, dan lebih nyambung daripadaku itu?

Bukan juga. Terlalu jauh kalau dimulai dari sana.

Atau... dari saat aku hendak menyatakan perasaanku yang gagal total itu?

Ah, kukira bukan juga. Itu akhir, bukan mulanya.

Oh, mungkin! Mungkin, ya... mungkin saat itu. Saat pertama kali aku diajaknya untuk makan di warung bakso mercon, 100% cabai setan asli! Yang setelahnya aku menderita diare selama berhari-hari tanpa masuk ke sekolah. Dan dia... dia yang selalu datang ke rumahku. Menjagaku menggantikan papa dan mama di sisi ranjang. Membawa semua buku pelajarannya ke dalam kamarku dan duduk menungguiku.

Ya. Kupikir hubungan kami mulai dekat sejak saat itu. Dan kalau aku tidak salah kira... semua keruwetan ini dimulai, saat aku membukakan pintu, menurunkan benteng pertahanan, merasa terharu karena dia menjagaku dan berakhir dengan membiarkannya untuk mendekat.

Yang awalnya hanya teman, lalu sahabat, kemudian perhatiannya yang selangit membuatku luluh dan jatuh padanya. Sampai membuatku lupa. Yang dibawa terlalu tinggi ke langit, pasti akan jatuh juga, terhempas dengan kasar ke atas tanah.

———

Beberapa bab ke depan akan menggunakan Aletta POV versi flashback. Aku sarankan agar tidak melewatinya untuk dibaca, karena semuanya berawal dari sini. Kalau tidak dibaca, kamu tidak akan nyambung ke alur berikutnya. Terima kasih.

Alexayo_creators' thoughts