webnovel

Jealousy

Berada di ruangan Dirga dengan sifat kecemburuannya yang sedang dalam mode aktif membuat Alana sedikit kuwalahan.

"Mas aku juga nggak tahu kalau mas Jefri, maksudku... Jefri yang akan menggantikan Pak Yudha." ucapnya membujuk Dirga, wanita itu menghampiri Dirga yang sudah duduk di sofa sedang memijit pangkal hidungnya.

Dirga melirik Alana sesaat, "Kamu cukup diam, turuti semua perintahku, aku yang akan jelasin ke papa nanti."

Belum sempat melakukan aksi protes, Dirga lebih dulu mengeluarkan kalimat tegasnya, "Jangan membantah." timpalnya lagi.

Merasa buntu sudah pasti, Alana semakin tidak tahu apa yang harus dia lakukan selain mengikuti perintah Arkasa tapi bagaimana dengan kekasihnya? pria itu sama sekali enggan untuk menerima alasan ataupun penjelasan apapun darinya.

Sebuah ide melintas di kepalanya, mungkin jika dirinya merajuk pada Dirga, kekasihnya itu akan mengabulkan permintaannya.

"Oke kalau itu mau kamu, jangan temui aku dan Elena lagi." tekannya di hadapan Dirga, dirinya berniat untuk meninggalkan sang kekasih. Berharap semoga idenya kali ini berhasil, ia sangat berharap penuh dengan itu.

"Berani maju selangkah, akan aku buat kamu berteriak di sini. Bisa dipastikan dalam beberapa menit ke depan semua orang akan tahu hubungan kita termasuk mantan kamu itu. Itu yang kamu mau, hum?"

Alana menelan ludahnya kasar mendengar dan melihat aura Dirga yang lebih gelap dari biasanya.

Menjadi kekasih Dirga membuat Alana hapal betul jika kekasihnya itu tidak mudah untuk menahan amarah tapi tidak dengan kali ini, raut wajah sang kekasih terlihat lebih seram dari biasanya saat di mana sang kekasih sedang tersulut emosi.

"Mas?"

"Duduk, aku belum selesai bicara." titah Dirga.

Seketika nyali Alana semakin menciut. Dengan perlahan, Alana kembali berjalan menghampiri Dirga dan mendudukkan dirinya tepat di sebelah pria itu.

"Siapa yang menyuruh kamu untuk duduk di sana?"

Jika bukan di sofa, lalu di mana lagi Alana akan duduk?

Seakan paham dengan kebingungan yang melanda Alana, Dirga menepuk pahanya pelan. Meminta sang kekasih untuk duduk di atas pangkuannya.

Yang benar saja?

Kedua mata Alana seketika membola. Bagaimana bisa dengan santainya pria itu bertindak lebih di kantor?

Respon yang diberikan Alana membuat Dirga berdecak pelan, kembali lagi pria itu mengancam, bertindak sesuka hatinya, "Oke, kalau itu mau kamu. SAYAN..."

".... iya, iya" pasrah, Alana hanya bisa pasrah pada akhirnya, wanita itu membungkam bibir Dirga yang ingin membuka suara dengan tangannya, tepat saat itu pula ia mendudukkan dirinya di pangkuan sang kekasih.

Benar-benar, baru kali ini Dirga mengerjainya habis-habisan.

Pria itu menyeringai, lalu membalik tubuh Alana untuk berhadapan dengannya. Dengan jarak sedekat itu, Alana merasa malu ditambah mereka masih berada dalam wilayah kantor.

Bagaimana jika keduanya tertangkap basah dan dilihat dengan pegawai yang lain?

"M-mas... aku harus kembali, ke mejaku."

Dirga tidak mengijinkan Alana untuk kembali ke mejanya, terbukti dengan dirinya yang semakin mengeratkan pelukan dan mempersempit jarak antar keduanya.

"Diam, kamu jangan banyak bergerak sayang, sebentar aja. Kepala aku sakit, tugasku lagi menumpuk." keluhnya mengadu, tanpa segan pria itu meletakkan kepalanya di bahu sang kekasih.

Jika sakit seharusnya Dirga meminum obat, bukan melakukan hal gila seperti itu.

Apabila sikap Dirgantara masih seperti itu, bukan hanya Dirga yang sakit kepala, Alana pun juga ikut merasakannya.

Wanita yang sedang menahan nafasnya itu menatap Dirga dengan takut, "Bernafas sayang..." ucap Dirga berbisik.

Merutuki kebodohannya sendiri, Alana memejamkan matanya saat dirinya terlihat bodoh di depan sang kekasih.

Seharusnya dia tidak perlu secanggung itu, bukankah dia sudah melakukan hal yang lebih dengan Jefri dari pada apa yang dilakukannya dengan Dirgantara?

"Heumm? Mashh...." Alana melenguh ketika menyadari Dirga mulai bermain di area leher jenjangnya.

"Mas.. cukup!" sergahnya dengan suara melemah.

Pelukan Dirga mengendur, pria itu tersenyum menatap Alana dengan tatapan penuh kemenangan, merasa puas dengan apa yang barusan dia lakukan.

"Saya rasa sudah cukup, kamu bisa kembali ke meja kamu. Terima kasih Alana."

Pria yang sudah mengerjai Alana habis-habisan itu mengecup bibir sang kekasih singkat. Rasanya Alana ingin memarahi Dirga detik itu juga, bisa-bisanya dia memperlakukannya seenak hatinya, ditambah mereka sedang berada di kantor, bukan berarti Alana membenarkan dan memperbolehkan Dirga untuk bertindak demikian.

Secepat kilat Alana turun dari pangkuan Dirga, membenarkan penampilanya yang sedikit berantakan. Tak berniat untuk berbicara sepatah katapun kepada laki-laki itu, ia melenggang pergi tanpa berpamitan karena saat ini dirinya benar-benar sedang merajuk.

Sebelum pintu dibuka, Dirga kembali membuka suara, menahan pergerakan sang kekasih, "Pulang nanti aku tunggu di tempat biasa, kamu nggak lupa sama janjimu sendiri bukan?"

•••

Diperhatikannya dengan lamat tanda yang dibuat oleh Dirga, pria itu benar-benar keterlaluan. Bagaimana bisa dia bermain dan meninggalkan bekas di sana?

Beruntungnya Alana bisa mengatasinya dengan rambut, tapi bagaimana dia bisa menutupinya menggunakan counselear? "Menyebalkan sekali mas Dirga."

"Kamu dari mana aja?" tegur Ajun setelah melihat Alana berjalan di depan mejanya.

Wanita yang sedang diajak bicara pun melirik ke arah jam yang menunjukkan pukul 15.30, pantas saja sudah selama itu kah dirinya menghilang?

"Jangan ke mana-mana dulu, gue udah pesan makan dan minum untuk perpisahan. Besok gue udah nggak di sini lagi, tolong beritahu yang lain dulu ya?" pintanya dan diangguki oleh Ajun.

Tak berselang lama, Alana mendapatkan telepon dari seseorang yang ternyata adalah kurir pengantar pesanannya sudah menunggunya di lobby.

"Jun, sibuk nggak? bantu gue untuk bawa makanan bisa? kurirnya udah menunggu di bawah."

"Sorry ya Al. Ini Pak Dirga minta berkas buru-buru untuk program yang terbaru."

"Semangat, mood si Pak Bos memang lagi nggak oke. its okay, gue nanti minta tolong Niel aja." ucapnya menyemangati Ajun. Ajun yang disemangati pun ikut tersenyum.

"Tapi Al... kalau lo pindah ke Divisi lain, nanti siapa yang bisa meluluhkan hati Pak Bos? lo tahu sendiri kan cuma lo yang bisa meluluhkan hatinya. Gua baru sadar ini, bisa jadi Pak Bos naksir Lo kali Al."

Bahkan keduanya sudah memiliki hubungan lebih dari sekedar atasan dan bawahan Jun, maafkan Alana yang menutupi semuanya.

"Jangan berpikiran yang nggak-nggak, udah ya gue turun dulu."

Ternyata serepot itu membawa beberapa kantung plastik berisi makanan dan minuman, hampir saja Alana terjatuh jika tidak ada seseorang yang membantunya.

"Maaf Mas, maksud saya maaf Pak Jefri. Maaf saya merepotkan Bapak."

Alana merasa malu karena Jefri justru membantunya membawakan beberapa kantung plastik berisi makanan dan minuman yang ia pesan.

Keduanya menghentikan langkah saat mereka sudah sampai di depan lift tempat di mana Divisi Programming berada "Pak Jefri sebaiknya sampai di sini saja membantu saya."

Memang betul suasana koridor sedang sepi, maka dari itu Alana meminta Jefri untuk tidak membantunya lagi.

Bukan karena dia tidak tahu terima kasih hanya saja, ia takut jika Dirga melihatnya hanya berdua dengan Jefri. Jefri yang mengerti pun mengangguk paham lalu memberikan semua makanan dan minuman yang dia bawa kepada Alana.

"Bapak Jefri, ada perlu apa anda di sini?"

Damn!

Alana memejamkan matanya, seakan ia tertangkap basah sedang berselingkuh.

"Saya sedang membantu pegawai yang sedang kesulitan, apa itu salah di mata anda pak Dirga?" tanya Jefri dengan nada santai tapi justru membuat Dirga memajukan langkahnya mendekati pria yang memiliki dimple itu.

"Salah jika yang anda bantu itu Alana. Sebaiknya anda segera meninggalkan tempat ini."

Tanpa bersuara Jefri pergi menjauh dari sana, menyisakan Alana dan Dirga yang masih berdiri di koridor.

Sikap Dirga sedikit berlebihan, Alana sedikit berteriak mengucapkan terima kasih kepada Jefri hingga Jefri kembali menoleh ke arahnya, pria berdimple itu menganggukkan kepalanya singkat.

Bohong jika Alana tidak kembali terpana dengan Jefri, sesaat ia melupakan fakta bahwa masih ada Dirga di sekitarnya.

"Kenapa nggak minta bantuan aku?" tanya Dirga ketika Alana berbalik untuk kembali keruangan.

Dengan Dirga yang membantu Alana membuat orang lain berpikir buruk tentangnya, apakah Dirga tidak menyadari itu?

Alana tidak menjawab, ia memilih melangkahkan kakinya meninggalkan Dirga sebelum mengatakan kalimat tegasnya. "Mas, jaga sikap kamu, ada CCTV di sekitaran kita."