webnovel

Mengantar Pulang

Setelah medapat jawaban yang tidak terduga itu, Raka tidak lagi mencoba untuk mendekati Shika. Untuk sementara waktu, dia membiarkan Shika untuk memikirkan kembali ucapan Putra.

"Apapun alasan kamu, saya harap jangan jadi penghambat untuk team ini. Semisal kamu gak sanggup, yaudah tinggal out aja. Dan dengan cepat, saya akan mencari pengganti kamu."

Ucapan bernada sarkas itu cukup mengejutkan Raka. Meski dia tahu bagaimana watak dari seniornya ini, tetapi tetap saja, keterkejutan itu tidak bisa dihindari. Berulang kali, Raka melirik ke arah Shika. Guna memastikan bahwa perempuan berlesung pipi itu baik-baik saja. Meski dari cara Shika memandang Putra saja, sudah tergambar jelas bahwa hatinya terluka. Terluka karena ucapan pedas nan menusuk hati.

"Gue perhatiin, dari tadi loe liatin Shika mulu." Danis ikut mengedarkan pandangan ke arah perempuan yang tengah asyik bercengkrama dengan kelima teman perempuannya. Sesekali perempuan bermata sipit itu tertawa, menanggapi lelucon receh dari temennya. "Loe suka sama dia?" tanya Danis sembari menoleh ke arah Raka.

Raka menghela napas. Matanya melirik sekilas, kemudian kembali memusatkan fokusnya pada Shika. "Loe kalau ngomong suka ngasal. Loe sendiri pasti tau gimana tipe gue." Mereka bersahabat cukup lama. Sekitas sepuluh tahun. Ya, dimulai saat mereka memasuki Sekolah Dasar.

Danis mengedikkan bahu. "Ya tau aja gitu loe pindah haluan," sahutnya enteng.

Raka mengernyitkan dahi. Kemudian menoleh. "Maksudnya apaan pindah haluan? Kok, kedengerannya ambigu, ya di kuping gue." Dia mendelik pada Danis..

Danis cengengesan. "Sorry,gue salah ngomong." Dia mengangkat jari telunjuk dan jari tengah. Membentuk huruf V. "Maksud gue, loe kan suka yang cantik gitu, sedangkan dia biasa aja." Danis memelankan dua kata terakhir. Takut ada yang mendengarnya.

Raka itu definisi sempurna. Hanya minus kulitnya yang sawo matang. Namun tidak menjadi masalah besar. Sama halnya dengan kaum adam lainnya yang menginginkan pasangan yang cantik. Raka pun sama. Dia memiliki kriteria untuk hal memilih pasangan.

Benar yang dikatakan Danis. Shika biasa saja. Bukan tidak cantik! Dia cantik. Hanya saja, memang masih jauh dari kriterianya. Selain cantik, dia suka dengan perempuan yang pintar, dan kritis dalam memberikan saran. Dia ingin perempuan yang bisa diajak bertukar argumen, bisa diajak berdebat dalam hal apapun. Dan itu tidak ada dalam diri Shika. Raka hapal betul kalau perempuan yang tengah meminum es dalam kantung itu, memiliki otak yang terbiasa diajak bekerja keras waktu mepet saja. Satu lagi. Raka juga ingin perempuan yang bisa diajak becanda. Perempuan humoris yang bisa membuat dia sedikit melupakan kesibukannya nanti. Lagi-lagi. Satu hal itu pun tidak ada dalam diri Shika. Jadi jelas, Shika bukan tipenya.

"Kalau bukan karena suka, terus kenapa loe masih liatin dia sampe sekarang?" tanya Danis ketika tidak mendapat jawaban dari pertanyaan sebelumnya.

"Gue pengen bantu dia. Tapi kayanya gak akan bisa, sih." Sedari tadi, matanya tidak lepas dari setiap gerak-gerak Shika. Untung saja, Shika sedang asyik mengobrol dengan teman-temannya, dan pembahasan mereka cukup membuat dia mengenyahkan berbagai pertanyaan tentang alasan mengapa Raka terus menatapnya.

Dia tidak bodoh untuk tidak menyadari bahwa ada sepasang mata yang memperhatikannya. Jauh sebelum dia bergabung dengan keempat temannya ini pun, Raka sudah menatapnya. Tangannya memang sedang merapikan tali tandu, tetapi tidak dengan matanya. Matanya lurus ke depan, dengan pandangan yang seakan menembus ke tulang-tulang pada tubuh Shika.

"Balik, yuk," ajak Tari. Perempuan bertubuh tinggi itu berdiri kemudian merengganggkan otot karena terlalu lama duduk.

Sania mengangguk. "Udah pada beres latihan, kan? Udah jam setengah enam ini," sahut Sania. Perempuan berkulit putih itu menengok pada jam tangan yang melekat di pergelangannya.

Puspa, Khanza dan Shika mengangguk.

"Ayo. Moga aja masih ada angkot." Shika beranjak dari duduknya. Kemudian melangkah ke meja belakang, guna mengambil tas miliknya. "Kalian dijemput apa mau naik angkot juga?" tanya Shika saat kembali ke meja Khanza. Selisih dua meja dengan tempat duduk Shika.

"Dijemput, sih, kalau aku," sahut Puspa.

"Dijemput Ayah apa Ayang?" goda Tari. Kedua alisnya naik turun. Menggoda Puspa.

"Apaan, sih." Matanya mendelik.

Membuat mereka tertawa. Tapi jauh dari itu semua, Puspa tersipu malu jika digida seperti itu oleh teman-temannya.

"Kami pulang duluan, ya," pamit Sania mewakili mereka untuk berpamitan pada Raka dan Danis. Mereka berdua tengah berjongkok, membuat tandu.

Raka menoleh. "Yaudah. Kalian hati-hati, ya."

Mereka kompak mengangguk.

Saat melewati Raka dan Danis, entah mengapa Shika merasa ada yang sedang memperhatikan dia. Membuat dia tergoda untuk menoleh ke belakang. Namun sebelum itu terjadi, Sania menarik tangannya untuk jalan lebih cepat.

"Ayo, Shi. Nanti angkotnya keburu gak ada."

Merasa disadarkan, dengan cepat Shika menggaguk. Kemudian melangkah menyusul Puspa, Tari dan Khanza yang sudah jalan duluan.

"Aku duluan, ya." Puspa melambaikan tangan. Dia sudah duduk nyaman di atas jok motor. Seperti biasa, Ayah Puspa menjemputnya.

Mela mengangguk. Kemudian menyusul ketiga temannya yang sudah duduk di kursi halte sekolah.

"Kalian nunggu angkot?" Karena biasanya mereka memesan ojek online.

Tari mengangguk. "Iyah. Uang aku habis tadi dipake jajan. Cuma cukup buat naik angkot aja," sahut Tari.

"Iyah. Mana angkot jam segini jarang lewat lagi." Khanza ikut menyahut. Perempuan berhijab panjang itu teman satu teamnya Tari dan Sania. Di bidang PP.

Semenjak ada kabar pembegalan, membuat semua resah. Tak terkecuali para sopir angkot. Bukan hanya begal saja, terkadang kejahatan lain pun sering terjadi. Dan kami ini terkena imbasnya. Selain pulang diselimuti rasa takut, mereka pun menjadi kesusahan mencari angkutan umum.

"Aku duluan, ya. Mumpung ada tuh," Sani dan Khanza satu arah. Dan angkot jurusan ke arah jalan menuju rumah mereka kebetulan lewat. Bersyukur masih ada kursi yang kosong. Cukup untuk mereka berdua.

Shika menghela napas. Sedari tadi matanya tidak lepas dari kendaraan yang berlalu lalang. Dengan harapan, masih ada angkot sesuai jurusan arah rumahnya lewat. Tidak apa jika harus duduk di depan pintu angkot, yang penting dia bisa pulang dengan selamat.

"Shi, sorry banget. Aku gak jadi naik angkot bareng kamu. Mama udah pulang kerja, jadi sekarang lagi menuju ke sini. Jemput aku." Tari tidak enak hati untuk memberitahu itu, tapi mau bagaimana lagi. Mamanya tadi mengabari bahwa beliau tengah diperjalanan menuju sekolah. Berniat akan menjemputnya. Tidak mungkin dia menyuruh Sang Mama untuk putar balik karena alasan sungkan mengatakan ini pada Shika.

Ingin sekali Shika marah pada Tari. Rasanya dia sperti diberi harapan palsu. Saat ini dia tengah gelisah karena belum juga menemukan angkot, dan sekarang ditambah dengan Tari yang membatalkan pulang bersamanya. Namun apa mau dikata. Shika tidak mungkin melarangnya.

Shika menarik napas. "Iyah. Gak papa." Meski tidak ikhlas, tetapi Shika berusaha untuk menampilkan wajah cerianya. "Mama kamu jemputnya di mana?" tanya Shika kemudian.

"Katanya, sih, di sini." Dan tak lama kemudian, dari kejauhan Shika bisa melihat ada motor yang menghampiri mereka. Tanpa buka helm pun, Shika tahu bahwa itu Mama Tari.

Mereka berdiri ketika Mama Tari sudah berada di depan mereka. Tari menghampiri Mamanya, kemudian menoleh ke arah Shika.

"Aku duluan, ya, Shi," pamit Tari, "maaf aku gak bisa bareng kamu." Tari kembali meminta maaf. Membuat Shika tidak enak hati jika menyimpan rasa marah padanya.

Shika tersenyum. "Iyah, gak pa-pa." Matanya mengarah pada Mama Tari. "Tante apa kabar?" tanyanya kemudian mencium tangan perempuan berjilbab maroon itu.

"Alhamdulillah sehat, Shi." Matanya mengedar ke arah belakang Shika. Tepatnya pada sekolah yang semakin terlihat sepi. "Kamu gak pa-pa kami tinggal? Soalnya ini udah mau magrib." Mama Tari tidak tega meninggalkan Shika sendirian. Dia paham betul bagaimana situasi kota yang sedang tidak aman ini. Dia tidak akan tenang jika pulang sebelum Shika menemukan angkot. Kalau bisa, ada yang menemani.

Jauh dari lubuk hati Shika, jelas dia tengah diselimuti gelisah. Dia juga merasa tidak yakin akan keputusannya untuk membiarkan ibu dan anak yang ada di depannya ini untuk pulang. "Bentar lagi juga pasti ada angkot, kok," sahut Shika. Sebisa mungkin dia menampilkan senyuman ditengah kegelisahanya.

"Tante sama Tari pulang aja. Shika biar aku yang anter pulang."

Shika tersentak. Kemudian dengan cepat menoleh untuk melihat siapa yang barusan berbicara. Keterkejutannya semakin bertambah, ketika mengetahui bahwa laki-laki itu adalah Raka. "Sejak kapan dia ada di sini?" tanya Shika dalam hati.

"Alhamdulillah." Ibu dan anak itu bernapas lega. "Kalau gini, kan, kami tenang. Yaudah, kami pulang duluan, ya. Kalian hati-hati pulangnya." Mama Tari menghidupkan mesin motor, kemudian melaju dan meninggalkan sekolah dengan Tari yang melambaikan tangan.

Shika mendengkus. Tadi dia sempat menangkap maksud dari tatapan Tari. Ya, temannya itu menggoda dia yang akan diantar oleh Raka. "Dasar," rutuk Shika dalam hati.

"Kamu tungggu dulu si sini, ya!" titah Raka. Kemudian laki-laki berkulit sawo matang itu masuk kembali ke area sekolah. "Mungkin mau ngambil motor," pikir Shika. Dia mengedikkan bahu.

Seharusnya Shika menolak diantar pulang oleh Raka. Seharusnya dia tidak duduk di jok belakang dengan Raka yang memboncengnya. Seharusnya dia tidak tunduk saat Raka menyuruhnya untuk segera naik ke motor. Dan masih ada lagi seharusnya-seharusnya yang lain.

Shika tahu itu salah. Pasti akan ada masalah yang datang setelah ini. Shika tidak peduli. Dia hanya ingin pulang. Ingin cepat-cepat membaringkan tubuhnya di kasur empuk. Tentang marahnya Fahri akan hal ini, bisa dia selesaikan nanti. Meski dia tidak yakin akan selesai dalam satumalam.