webnovel

Bertanya Tentang Raka

Shika tidak menyangka jika ternyata Fahri adalah teman SMP-nya Raka. Meski sudah berpacaran cukup lama, seingatnya dia tidak pernah mendengar Fahri mengucap nama itu. Apa karena mereka tidak terlalu dekat?

Shika menghela napas. Jiwa keponya jelas meronta-ronta. Semalam dia sudah menanyakan ini pada Fahri, tetapi malah omelan yang menjadi jawaban.

"Kamu ngapain, sih, nanyain Raka mulu? Jangan-jangan, kamu suka, ya sama dia?"

Ya, seperti itulah jika memiliki kekasih yang posesif.

Dari pada mikirin Raka, lebih baik dia fokus ke depan. Memperhatikan Bu Suci menjelaskan rumus-rumus Logaritma yang sama sekali tidak bisa dicerna dengan baik oleh Shika.

Shika menoleh ke arah kiri. Di mana teman sebangkunya yang bernama Jeni tengah asyik mencoret-coret buku di halaman belakang. Antara mengusir kebosanan atau pura-pura sibuk menghitung.

"Jen, waktu bel istirahat masih lama, ya?" tanya Shika. Perutnya sudah memberi kode sedari tadi. Meski tidak benar-benar memperhatikan apa yang sedang dijelaskan Bu Suci, tetap saja perutnya kelaparan. Efek diberi rumus Matematika.

Sebelum menjawab, perempuan berkulit sawo matang itu mengecek dulu pada jam berwarna hijau tosca yang melingkar manis di tangannya. "Lumayan. Dua puluh lima menit lagi," sahutnya sembari menoleh ke arah Shika. "Kenapa? Laper apa mau muntah?" tanyanya diakhiri dengan kekehan.

Shika mendengkus. Tahu dari maksud ucapan Jeni. "Ngeledekin aja terus," sindir Shika.

Jeni menggeleng. "Siapa yang ngeledek. Orang emang iya, kan?"

Shika menghembuskan napas dalam. Lalu setelah itu mengangguk.

Shiak pernah hampir muntah karena memaksakan diri menghitung. Mengerjakan beberapa soal yang diberikan oleh Bu Suci.

Shika masih mengingatnya, saat itu Bu Suci izin tidak masuk kelas. Karena anak bungsunya sedang sakit. Sama seperti guru yang lain ketika tidak masuk kelas, Bu suci pun memberikan beberapa soal untuk muridnya kerjakan. Dengan dalih agar mereka tidak berisik, tidak mengganggu kegiatan belajar kelas lain. Namun kenyataanya, kelas sama sekali tidak berubah. Tetap riweh dengan murid yang terpecah belah menjadi beberapa kelompok. Ada yang tiba-tiba mengadakan konser dadakan. Ada yang tidur. Kumpul dengan satu geng. Mengobrol dan yang pasti ada juga kelompok para murid rajin yang tetap mengerjakan soal meski tidak ada guru. Tak terkecuali Shika.

Entah kerasukan apa dia saat itu. Tidak ada angin apalagi badai, dengan suka rela Shika mengorbankan jam kosong itu dengan mengerjakan soal dari Bu Suci. Sambil dibantu oleh Khanza dan Sania, Shika begitu semangat mengerjakan soal Matematika. Namun semangatnya itu tidak bertahan lama. Karena tiba-tiba dia merasa mual dan kepalanya pusing. Alih-alih berpikir bahwa asam lambungnya naik, dengan polosnya Shika menjawab bahwa ini efek dari memaksakan diri mengerjakan soal Matematika. Otaknya tidak mampu diajak kerjasama.

"Bengong mulu." Jeni menepuk keras bahu Shika. Membuat sang korban, tersentak. Sebelum mendapat omelan dari Shika, Jeni terlebih dulu mencegahnya. "Tadi katanya laper, giliran udah bel malah bengong," rutuk Jeni sembari mengumpulkan buku-buku miliknya di atas meja.

Shika menatap sekitar. Kelasnya ternyata sudah hampir kosong. Hanya ada beberapa siswa yang masih berada di kelas.

"Kok, kamu gak ngasih tau?"

Jeni memutar bola mata. "Enak aja gak ngasih tau," protesnya. Tidak menerima akan tuduhan Shika barusan. "Dari tadi kamu itu bengong mulu. Baru sadar pas aku pukul bahunya," jelas Jeni sembari berlalu guna menghampiri temannya.

Sebangku bukan berarti dekat, kan? Nah seperti mereka contohnya. Mereka mempunyai teman masing-masing. Bukan! Bukan berarti tidak nyaman. Hanya saja, mereka pun butuh teman yang sepemikiran dengan mereka. Shika dengan teman satu ekskulnya, dan Jeni dengan orang-orang yang dianggap asyik olehnya.

"Ninggalin." Satu kata yang keluar dari mulut Shika ketika mendapati teman-temannya sudah berada di kantin.

Shika melangkah pada bangku panjang yang kebetulan kosong di bagian kanan Khanza. Membuat dia dengan cepat mendaratkan pantat di sana. Takut keburu diisi oleh orang lain.

Saat istirahat seperti ini. Kantin selalu ramai. Sehingga siapa cepat dia dapat menjadi penentu tempat duduk.

"Kamu, sih, bengong mulu." Puspa menyahut. Di depannya ada semangkuk bakso berkuah merah yang kini tinggal setengah.

"Siapa yang bengong coba," protes Shika tidak terima.

"Ya kamulah. Siapa lagi."

Shika mengerucutkan bibir. "Laper," rengek .

"Ya makan, Shi," sahut Khanza di sampingnya

"Males, ih. Anteriannya panjang banget."

Hari ini Shika ingin makan batagor. Rasa bumbu kacang dengan mentimun, sudah terasa di lidahnya. Membuat dia ingin cepat-cepat menyantap makanan itu. Namun sayangnya, sepertinya dia akan terlambat masuk kelas jika memaksakan diri untuk ikut mengantre. Jadi kini dia memilih untuk makan siomay saja. Sama-sama pakai bumbu kacang, pikirnya.

"Eumm, Tar, kamu dulu satu sekolahan sama Raka, kan?" Entah mengapa Shika menanyakan ini pada Tari. Padahal, seharusnya dia tidak perlu kepo tentang laki-laki itu.

Sembari mengunyah bakso, Tari mengangguk. "Iyah. Satu kelas malah," jawabnya setelah menelan hasil kunyahannya terlebih dulu. "Kenapa emang? Kamu suka sama dia?" Tatapan menyelidik Tari layangkan pada Shika.

Merasa penasaran, membuat Puspa, Khanza dan Sania ikut memicingkan mata. Menatap curiga pada Shika.

"Kalian kenapa natep aku kaya gitu?" Shika heran dengan keempat temannya ini.

"Ya kita aneh aja gitu. Selama ini kamu itu gak pernah nanyain cowok ke kita. Jangankan nanyain, keknya bertatapan pun gak pernah, deh," sahut Sania mewakili teman-temannya.

Shika menunduk. Memilih memandangi siomay yang tengah diaduk asal olehnya. Sebenarnya dia sendiri tidak tahu apa yang sedang dia cari tentang Raka. Hanya karena laki-laki itu pernah satu sekolah dengan Fahri, membuatnya tanpa sadar ingin mengenalnya juga.

Terasa usapan di bahu kanan, tanpa menoleh pun perempuan yang hari ini mengepang rampunya itu tahu siapa pelakunya. Shika mendongak, dan langsung disunguhkan dengan berbagai tatapan dari teman-temannya. Shika jelas paham bahwa mereka bisa saja mengkhawatirkan dia.

"Kenapa musti nanyain Raka, sih," rutuk Shika dalam hati. Jelas ini kesalahan bsar. Karena bisa-bisanya dengan cereboh dia melakukan ini.

Sekarang pasti teman-temannya ini sedang menerka-nerka apa yang terjadi antara Shika dan Raka.

"Kamu gak diapa-apain kan, sama dia?" tanya Puspa khawatir.

Shika tidak pernah ingin repot-repot membahas tentang laki-laki, sehingga ketika pertanyaan itu meluncur dari mulutnya, membuat Puspa khawatir.

Shika menggeleng. Tidak ingin mereka khawatir padanya. "Enggak. Aku cuma pengen nanya aja. Soalnya, kan, kami

satu team." Shika memilih berbohong. Jelas tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Tidak ada mengetahui jika Shika memiliki pacar. Karena memang Shika yang memilih merahasiakannya. Dia belum seterbuka itu untuk bercerita.

Mereka mengangguk. Memahami alasan Shika.

"Terus kalau dia satu sekolah sama aku, ada pengaruhnya apa sama kamu?"

Aish, Shika dibuat kebingungan akan pertanyaan ini. Jantungnya berdebar kencang, dengan otak yang bekerja keras untuk mencari alasan yang tepat menjawab pertanyaan Tari.