webnovel

Awal

"Shi, kamu dipanggil sama Kak Putra buat kumpul di ruang ekskul PMR. Katanya ada yang mau diomongin. Penting," ucap teman kelasnya sembari menekan kata terakhir. membuat Shika sedikit penasaran. Pesan itu dari seniornya yang merupakan anggota PMR. Setelah menyampaikan amanat itu, dia memilih untuk kembali bergabung dengan teman-temannya. Melanjutkan obrolan yang sempat tertunda.

Melihat itu, membuat Shika menghela napas. Dia belum mengucapkan terimakasih, dan tidak mungkin pula menghampiri dia hanya untuk mengucapkan terimakasih yang belum tersampaikan.

Shika terdiam. pikirannya menerka-nerka akan apa maksud dari Putra memanggilnya ini. Seingatnya, dia tidak melakukan kesalahan. Namun hanya satu yang menjadi alasan kuat akan hal ini.

"Apa jangan-jangan karena ...." Shika menggeleng kuat. Meski dia yakin, tetapi sebisa mungkin dia berpikir positif. Bisa saja bukan karena Shika. Ya, dia yakin itu.

Shika beranjak dari duduknya. Dia duduk di jajaran ke dua dari arah kanan, di barisan terakhir. Tepatnya meja ke lima.

"Mau kemana, Shi?" tanya Puspa. Ketika mereka berpapasan di pintu kelas. Puspa merupakan anggota PMR juga, bahkan satu bidang dengan dia. Hanya saja, untuk lomba sekarang ternyata dia yang terpilih.

"Mau ke ruang ekskul," sahut Shika, "dipanggil sama Kak Putra. Mungkin mau bahas soal lomba." Shika menambahkan saat melihat rasa ingin tahu dari pancaran mata Puspa.

Puspa mengangguk. "Good luck, ya." Perempuan berpipi tembem itu menepuk pundak Shika. Sebagai tanda bahwa dia memberikan semangat pada Shika. Lalu setelah itu Puspa berlalu. Duduk bergabung dengan para temannya.

"Aku gak bohong, kan, ya." Shika melanjutkan perjalanan. "Toh emang pasti ngebahas tentang lomba. Meski aku rada takut semisal bahas yang lain," gumamnya

Untuk menuju ruang ekskul, Shika musti melalui kelas X IPS dan XII IPS. Namun tenang saja, itu bukan hal yang perlu ditakutkan. Karena tidak akan ada adegan pemalakan di sana. Meski sudah menjadi turun temurun jika IPA dan IPS terkenal tidak akur, tetapi tidak sampai melakukan hal itu.

Setelah sampai di depan kelas XII IPS, lantas Shika belok ke arah kanan. Di sana terdapat ruang Laboratorium, UKS, serta berbagai ekskul sekolah. Tak terkecuali PMR. Ruangannya bersebelahan dengan UKS. Mungkin bertujuan agar memudahkan jika terjadi sesuatu yang berkaitan dengan medis.

 

Shika mengetuk pintu ruang PMR yang terbuka. Bermaksud meminta izin untuk masuk. Suara ketukan pintu itu membuat orang di dalam sana mengalihkan pandangan padanya. Shika mengenali mereka. Dan salah satunya adalah temen sekelasnya.

"Masuk aja, Shi!" perintah laki-laki tinggi yang tengah berdiri di depan dua siswa berbeda jenis.

Sembari tersenyum, Shika mengangguk. Kemudian, dengan langkah pasti masuk ke ruangan itu. Shika duduk di barisan depan ketika siswa yang duduk di sana, menunjuk ke arah kursi kosong di samping kiri. Mengajaknya untuk duduk di sana.

"Oke. Karena sekarang udah lengkap, kita mulai, ya pembahasannya." Laki-laki yang Shika tahu bernama Putra itu, memulai. "Sebenernya gak ada info ataupun kendala untuk urusan lomba minggu depan. Semua lancar sentosa." Sembari menjelaskan, dia mengedarkan pandangan pada mereka. Menatap satu per satu ketiga orang yang akan mewakili sekolah dalam acara perlombaan PMR yang akan diadakan minggu depan. Di sekolah lain.

"Tapi ada satu yang bikin saya pribadi, merasa itu menjadi hal yang kurang sreg kalau belum diubah sebelum lomba." Putra menekan kata 'pribadi'. Seakan menegaskan bahwa apa yang nanti akan diucapkan Putra, betul-betul murni dari pemikirannya sendiri. Tidak ada campur tangan dari anggota lain.

Tidak ada yang bersuara. Baik Shika maupun kedua anggota teamnya, memilih bungkam. Meski begitu, bukan mereka tidak peduli, tetapi menghormati. Memberikan waktu untuk sang senior di bidang ini, memberikan saran serta masukan untuk mereka. Terlihat dari mata yang tidak lepas dari laki-laki tinggi di hadapan mereka. Menjadi bukti bahwa fokusnya kini tertuju pada Putra.

"Ketika menyampaikan materi, bukan hanya isi yang menjadi utama dari daya tarik para audiens. Chemistry kalian dalam berinteraksi jelas menjadi pemandangan yang menarik untuk dilihat." Putra kembali menambahkan. "Dan itu tidak saya dapatkan dari kalian," sambungnya. Matanya mengarah pada ketiga orang di depannya. Mengabsen satu per satu.

"Kita cuma butuh waktu, Kak," sahut Mia. Perempuan yang duduk di samping Shika. Dia merupakan kelas XI IPA, dan untuk lomba kali ini mereka satu team.

"Iya, saya paham." Putra mengangguk. "Apalagi kamu, Mia. Saya paham betul itu. Kalian baru dipertemukan dalam satu team. Ditambah dengan Mia yang beda kelas, jelas kesusahan untuk terlihat akrab dengan mereka." Putra paham dengan apa yang dirasakan oleh Mia. Namun bukan itu akar dari permasalahannya. "Tapi yang saya permasalahkan di sini. Kekakuan yang jelas terlihat pada bagian interaksi Shika dan Raka. Untuk kalian berdua, apa kalian ada masalah?" Matanya menatap lekat pada Shika, kemudian beralih pada Raka yang duduk di meja sebelah Shika.

Shika menghela napas. Tidak pernah dia bayangkan sebelumnya, jika sikap kakunya saat berinteraksi dengan Raka akan terbaca oleh Putra. Padahal, dia sudah bekerja semaksimal mungkin untuk menutupi itu.

"Ada yang mau jawab duluan?" tanya Putra ketika tidak ada yang bersuara. "Gak papa satu orang juga. Yang penting masalah ini nemu titik terangnya."

Putra menarik kursi di belakangnya ke depan meja tempat Shika dan Mia duduk. Dia sudah tahu siapa pelaku dari permasalahan ini. Dan menyadari itu, membuat Shika menundukkan kepala. Malu karena di sini dia yang salah.

"Sebenernya aku ngerasa kalau Shika itu masih kaku." Raka bersuara. "Tapi aku gak mempermasalahkan itu. Toh, penyampaian materinya gak bermasalah. Dia luwes banget pas ada sesi games bareng audiens," sambung Raka mengeluarkan pendapatnya.

Putra menoleh. "Ya, saya juga sependapat kalau masalah itu. Seperti yang sudah saya katakan tadi, keluwesan dia dalam berinteraksi sama kamu, itu juga perlu." Laki-laki berkulit putih itu masih tidak ingin menyerah dengan pendapatnya tadi.

"Mungkin karena dia belum pernah berinsteraksi sama cowok, jadi kaku kaya gitu." Laki-laki berkulit sawo matang itu, kembali mengeluarkan pendapat. Ya, itu sesuai yang dia lihat. Dia tidak pernah melihat Shika mengobrol dengan kaum adam. Mungkin hanya sesekali, itupun bisa dihitung jari.

"Bener itu, Shi?" Mendengar pendapat Raka tadi, membuat Putra bertanya pada Shika. Karena dirasa alasan itu terdengar lucu di telinga.

Dengan ragu-ragu, Shika mengangguk. "Iya, Kak," sahut Shika pelan. Kepalanya mendongak pelan. Berusaha menatap kedua bola mata yang menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.

"Kamu beneran gak pernah ngobrol sama cowok? Jadi itu alasan kenapa kamu kaku pas ada adegan ngobrol sama Raka?" Putra memastikan kembali kesimpulan yang dia dapat. Dia tidak ingin salah menyimpulkan.

Kepalanya menggeleng tidak percaya ketika mendapat anggukan kepala dari Shika. Sungguh, ini alasan terkonyol yang pernah dia dapat ketika menghadapi masalah seputar penampilan team PRS. Dia ingin tertawa. Namun urung, ketika menangkap wajah gelisah Shika. Pasti ada alasan kuat dibalik itu semua. batin Putra.

Putra menarik napas. Sepertinya ini akan sedikit sulit. Dia tidak mungkin memaksa Shika untuk tidak kaku pada Raka. "Oke, saya paham. Tapi kalau boleh saya tahu, apa alasan mengapa kamu bisa gak ngobrol sama cowok?," tanya Putra penasaran. "Ah, maksud saya. Kenapa kamu, kok, sampe gak pernah ngobrol sama cowok, gitu. Kan pasti ada alasannya." Putra mengoreksi ucapannya ketika dirasa kurang tepat.