webnovel

Kesan Manis dari Calon Suami

“Hai ...”

Bibir Indira sukses terbuka. Ia menganga lebar, nyaris tidak berkedip karena terlalu syok dengan tamu yang datang dipukul delapan malam.

Siapa lagi jika bukan pria yang tadi sore baru saja mengantar pulang Indira.

Liam Ogawa.

Bukankah pria itu sempat berucap akan bertemu kembali besok? Atau jam di rumah pria itu berbeda, layaknya mereka tengah berada di zona waktu—negara—yang berbeda. Sampai perbedaan jam saja tidak dikenali lebih baik oleh pria tinggi di hadapannya.

“Ya ampun?! Ada Nak Liam, ya?!”

“Dira! Ngapain kamu suruh calon suamimu berdiri lama-lama di depan pintu?!”

Indira meringis sakit, tersadar saat Mama tercintanya justru menepuk bahunya cukup kuat. Wanita itu kesal dengan sikap Indira yang tidak mempersilakan Liam masuk, memilih untuk terpaku lebih lama. Pikiran anaknya entah berada di mana sampai enggan terkoneksi dengan baik.

“Mama jahat ...” rengeknya menatap kesal.

Mama Indira berdecak kesal dan menoleh ke arah Liam, memberikan senyuman manisnya. “Sendiri aja datangnya, Liam?”

“Iya, Tante. Liam mau ijin mengajak Indira keluar sebentar.”

“Nggak bi—“

“Ya ampun! Boleh, boleh aja, Liam! Tante bahkan senang kalau kalian meluangkan waktu bersama. Kamu tau, kan? Kalau kalian baru berkenalan singkat? Mana sebentar lagi bakal nikah. Udah seharusnya lebih banyak waktu untuk saling mengenal, menuju hari pernikahan.”

Senyum Liam berbanding terbalik dengan wajah melongo Indira. Perempuan itu semakin tidak habis pikir dengan antusias Mama tercinta.

“Mama ...”

“Ya, Sayang?” Ia segera mengalihkan pandangan ke arah Indira, menipiskan senyum manisnya bersama tatapannya yang berubah tajam.

Indira menutup rapat bibirnya yang bersiap merengek.

Liam yang merasa kedua sudut bibirnya berkedut, mengetahui jika Indira tidak berkutik dengan tatapan sang Mamanya, harus menahan kuat keinginannya untuk tertawa. “Ganti baju sekarang ya, Nak? Jangan lama-lama ... Nanti calon suamimu bosan tungguin kamu setahun dandan nggak kelar-kelar.”

Indira menahan keinginannya untuk terus merutuk. Terutama saat pandangannya tidak sengaja teralihkan pada Liam yang mengatupkan bibirnya rapat. Dalam hati ia mengumpati pria yang pasti berusaha keras menahan keinginannya untuk tertawa.

Dasar Om Mesum!

“Dira banyak tugas Ma ...”

Sebelah alis wanita itu terangkat. “Mau mulai bohong?”

Wajah Indira bersemu kembali mendapatkan serangan tatapan mengerikan tersebut. Ia menelan saliva susah payah dan melampiaskan kekesalannya untuk mendelik tajam pada Liam, segera berbalik badan dan melangkah menuju lantai atas. Ia tidak bisa berkutik jika harus mendapatkan tatapan penuh ancaman.

“Silakan masuk dan duduk sebentar, Liam ...”

“Iya, Tante,” balasnya segera masuk untuk mengobrol sesaat bersama calon mertuanya.

Di lantai atas, Indira mengeluarkan beberapa pakaian dengan penuh kekesalan. Ia melempar asal dengan terus mengumpati sikap Liam.

“Kalau Mama nggak mengancam, gue udah pastikan untuk menolak mentah-mentah ajakannya,” gerutunya berkacak pinggang di depan ranjang, melihat pakaian yang sudah tertumpuk beberapa helai.

Embusan napasnya terdengar kasar. Ia mengetatkan rahang dengan tatapan memicing. “Gue mending pakai baju tidur aja, sekalian buat dia malu,” cetusnya menyeringai, masuk satu ide yang menurutnya sangat pas.

Tapi, detik selanjutnya ia mengerjap dan berdecak sebal. “Lo hanya akan kembali dipermalukan oleh Mama dan jadi bahan tertawaan Om Mesum itu, Dira,” sambungnya dengan pikiran waras di sisi lain.

Ia mengusap kasar wajahnya. Frustrasi di awal sudah membuatnya semakin bisa membayangkan betapa buruknya kehidupannya ke depan.

Di sini hanya Indira yang menolak tegas pernikahan—perjodohan—di antara dirinya dan Liam. Sedangkan pria itu? Tidak sedikitpun Indira bisa melihat raut terpaksa ataupun kesedihan di wajah tampan itu.

Indira semakin yakin jika Liam memang sudah lelah mencari pasangan di usianya nyaris penghujung kepala tiga. Oleh sebab itu, Liam memilih pasrah dengan perjodohan dari Maminya.

Selang sepuluh menit, Indira turun dari lantai atas dengan raut wajah datar. Terlebih semakin kesal melihat senyum semringah Liam. Kedua orang yang dari tadi menunggunya beranjak berdiri, menyambut kedatangan perempuan berbalut hoodie biru dongker berpadu jeans panjang. Ia menyampirkan tas selempang kecil di bahunya.

“Nggak buruk-buruk banget kalau Liam ajak kamu ke tempat ramai. Dandananmu nggak bisa mengimbangi Liam, Dira,” sahut Mamanya membuat Indira kembali melongo.

Liam mengulum senyum geli. Ia pun sebenarnya hanya berpakaian sederhana. Memakai kaus polos berlapis jaket kulit berwarna coklat dan celana panjang senada berwarna hitam. Sangat selaras dengan Indira.

“Dira nggak bisa dandan untuk menyesuaikan dengan pria dewasa, Ma. Dira masih anak sekolahan,” balasnya setengah tidak berminat.

“Anak sekolahan juga udah pintar dandan. Bahkan, mereka bisa terlihat lebih dewasa dari usianya. Kamu ini memang nggak niat keluar sama Liam, kan?”

Di saat Indira akan menjawab, pria itu menengahi dan berucap, “Indira malam ini udah lebih dari cantik, Tante. Dia bahkan kelihatan bertambah manis.”

Manik keduanya bersitatap.

Indira tanpa sadar terpaku dengan pernyataan ‘manis’ Liam. Perempuan itu tidak bisa berkutik, hanya mampu menampilkan semburat merah di kedua pipinya dengan detak jantung memburu.

Calon Ibu mertuanya pun mengulum senyum. Ia berpura-pura batuk ketika Indira terpaku. Perempuan berusia tujuh belas tahun itu mengerjap salah tingkah.

“Duh ... Kamu nggak perlu buat Dira semakin terbang ke langit, Liam. Nanti dia besar kepala.”

Saat itupula mendengar tawa kecil Mama tersayang dan juga calon suami menyebalkannya, semakin membuat Indira ingin mengumpati pria itu sesegera mungkin.

**

Manik hitam Indira membeliak sempurna mendapati area yang sangat dikenalnya. “Kita mau ke mana?!” paniknya ketika mobil Liam mengarah ke pintu masuk mobil gedung apartemen.

Ia nyaris tercekat.

Ketakukan sudah menyergap pikirannya.

Liam yang berada di sampingnya terkekeh pelan. “Kenapa harus panik, Indira? Memangnya kamu udah tau aku mau bawa kamu ke sini untuk apa?”

Perempuan itu mendelik kesal. “Heh! Lo pria penikmat selangkangan perempuan, kan?! Sekarang lo pasti mau godain gue habis-habisan. Ngerayu gue sampai malam ini kita bisa melakukan hubungan intim, kan?!”

Liam mendengkus geli. “Mau sih ... Tapi nggak deh. Tanggung. Kita tunggu malam pertama aja, ya?” tawarnya dan menghadirkan umpatan bagi Indira.

Saat perempuan itu kembali ingin berseru, Liam menyahut lebih dulu. “Udah ... Tenang aja, aku cuma ajak kamu ke sini sebentar kok. Ada yang mau aku perlihatkan.

Ucapan tenang dan seulas senyum manis yang diperlihatkan Liam, entah kenapa membuat sisi hati dan pikiran Indira ingin menepis kuat pemikiran negatif perempuan itu sesaat lalu. Ia diam saat pria itu sudah berhasil memarkirkan rapi kendaraannya di basement gedung apartemen

Ia menoleh dan berucap jahil, “Mau aku bantu bukain sabuk pengamannya?” tanya pria itu yang melihat keterdiaman Indira, sedangkan Liam baru saja melepas sabuk pengaman miliknya.

“Nggak usah! Terima kasih!” ketusnya melepas kasar sabuk pengamannya.

Liam tertawa kecil, keluar mobil disusul wajah mencebik Indira yang semakin kentara.

Pria itu jalan terlebih dulu ke arah lift, disusul Indira yang berada di belakangnya.

Di dalam lift, Indira memilih diam meskipun ia merasa tidak nyaman berdiri di samping Liam. Tidak ada siapa pun di dalam lift. Hanya kesunyian tanpa ada sepatah katapun untuk memulai percakapan.

“Mulai berpikiran mesum, ya?”

Indira terkesiap dan manik mereka saling bersitatap. Liam menyeringai puas, “Iya ... Biasanya di drama kesukaan remaja perempuan seusia kamu dan hal-hal mesum lainnya. Ada adegan ciuman di dalam lift.”

“Lo yang mesum!” balasnya tidak terima.

“Gue dari tadi diam bukan berarti berpikiran mesum!”

“Jadi?”

Indira bungkam. Sejak tadi ternyata Liam memancingnya.

Namun, belum sempat membuka bibirnya untuk mengumpati pria itu, lift sudah terbuka dan sepersekian detik, jantung Indira berdetak kuat. Liam meraih jemari tangan kirinya, mengenggam erat dan membawa perempuan itu keluar dari sana.

Jemari tangan keduanya yang tertaut dan bisa merasakan tangan Liam yang ternyata tidak kasar, membuat desiran halus dalam diri Indira tiba-tiba saja hadir. Jantungnya pun masih terus berdisko di dalam sana.

Ini bukan kali pertama ia digandeng seorang pria. Masalahnya, Indira tidak pernah dekat dengan pria dewasa selain teman atau Kakak kelasnya yang mendapatkan label sebagai kekasih, sebelum akhirnya ia menghancurkan harapan lebih dalam dari mereka.

Kartu akses masuk unit dilakukan Liam. Indira mengerjap, tersadar jika lamunannya tidak menyadarinya sudah masuk ke dalam.

Ia tertegun dengan unit apartemen mewah di hadapannya.

“Karena aku belum punya persiapan rumah baru setelah kita menikah. Aku berinisiatif mengambil unit apartemen yang dekat dengan sekolah kamu dan perusahaan keluargaku.”

Perempuan itu sukses menoleh cepat ke arah Liam yang menyunggingkan senyum manisnya. “Aku nggak tau, impian kamu lebih suka membangun rumah atau membeli sebuah hunian rumah. Jadi, aku putuskan kita bisa membahasnya setelah menikah nanti.”

Indira nyaris kehilangan kata-katanya. “l-lo mem-persiapkan se-muanya se-jak se-karang?”

Sebuah anggukan pelan itu menjadi jawaban yang membuat Indira sukses terkejut. Ia tidak berpikir demikian saat Liam mengajaknya kemari. Bahkan, ia sudah menuduh sembarangan bagaimana pria itu membawanya ke unit apartemen. Padahal, meminta ijin pada Mamanya sekadar mengajaknya jalan keluar.

Perempuan itu menelan saliva susah payah. Mengerjap berulang kali tanpa mengalihkan pandangan dari pria dewasa bertubuh tinggi di sampingnya. “Lo ... Percaya pernikahan kita akan berjalan semestinya?”

Entah kenapa, meskipun Indira belum cukup dewasa memahami permasalahan di dalam keluarga. Tapi, ia cukup yakin jika pernikahan mereka yang akan terbilang cepat dan tanpa embel-embel apa pun, termasuk cinta. Akan memiliki tingkat risiko yang besar ke depannya.

“Aku lebih percaya kalau Mami nggak akan mencarikanku calon istri yang salah.”

Indira sukses bungkam dengan jawaban sederhana yang langsung membuat jantungnya berdebar kuat. Ada rasa hangat menyelusup dalam dirinya saat tatapan lekat dan ucapan tulus itu terlontar sangat manis di telinga Indira.

**