webnovel

1. Monolog

Kamu tahu apa yang paling menyenangkan dari kebahagiaan? Ketika kau merasakannya, meskipun dalam kondisi sekecil apapun. Itu hanya bagian pertama. Bagian kedua, katanya, bahagia juga bisa terjadi jika kamu sudah bersyukur dengan kehidupanmu sendiri. Bagian ketiga, dimana kamu merasa cukup atas segala hal yang kamu capai.

Aku seringkali berada ditengah-tengah banyak sekali kerumunan manusia dan ini mungkin perasaanku, aku merasa senang ketika mereka ada dalam hidupku. Cerita ini aku tulis tentang seorang anak laki-laki yang mempecundangi dirinya dan menyia-nyiakan waktunya. Ya, walaupun ada pepatah yang berkata, "waktu yang terbuang tapi bisa kau nikmati adalah waktu yang benar-benar terbuang." Sayangnya, sekarang aku ingin bisa benar-benar menghargai waktu.

Begini, aku punya masalah dengan diriku. Maksudku, pada masa-masa kecil, aku perlu berjuang keras untuk bisa bertahan hidup. Ya, walau terdengar dramatis, tapi ya saat aku sekolah dulu. Aku sering sekali remedial ketika ada ujian di setiap waktunya. Tapi aku menemukan filosofi itu sendiri dalam hidup, pada saat hidup aku gagal, aku dapat melakukan remedial kehidupan untuk memperbaiki segala kegagalan dalam hidup. Berkali-kali, tanpa benar-benar dapat hasil lebih baik. Seperti pertanyaan yang terus berkali-kali, mengapa kita terus masuk ke lubang yang sama? Tapi sepertinya lubang itu tidak sama, hanya kedalamannya saja bervariasi.

Saat ini, aku berpikir dan mengeluh, kenapa aku selalu dipertemukan dengan orang-orang yang sulit sekali menerimaku? Mungkin itu hanya perasaanku saja? Entahlah, aku merasa dunia ini tidak adil bagi diriku ini. Sampai satu titik, aku menyadari bahwa ternyata akulah yang tidak tepat bagi mereka. Analoginya seperti air mineral yang dijual tepatnya di toko kelontong memiliki harga Rp. 5.000, sedangkan harga air mineral di restoran memiliki harga Rp. 10.000. Berbeda kan? Iya, mungkin aku yang kurang tepat saja untuk mereka.

Pada usia 4 tahun, untuk pertama kalinya aku mengalami ledakan di kepalaku seolah ada proyek tambang batu bara di kepalaku. Aku berteman dengan salah satu anak dari tetanggaku yang memang tidak jauh dari rumahku, dan aku juga dekat dengannya layaknya saudara sendiri. Sebutlah namanya Dana.

Ya, meskipun kalau saat ini seperti aplikasi dompet digital, haha. Mungkin terdengar lucu, perbedaannya Dana adalah sahabatku dan dia manusia. Dengannya, aku sering bermain bersama. Kita berdua senang melakukan apa saja, termasuk makan banyak.

Kau tahu? Saking dekatnya kami berdua, dikira kami memiliki hubungan istimewa lebih dari sahabat. Aku pikir ketika ada yang bicara seperti itu kepadaku, aku pikir, "Gila aja gw masih normal kali!" Begitulah kira-kira pendapat kami soal hubungan pertemanan kita. Ntah kenapa mereka bicara seolah kita berdua sudah belok. Tapi itu menjadi canda dan tawa bersamanya.

Beberapa tahun setelah kita saling kenal, kita sedang bermain bersama saat itu, tepatnya setelah aku lulus dari TK. Aku meminjamkan sebuah mainan untuk dia mainkan saat itu. Awalnya, aku berniat untuk memberikan mainan itu secara cuma-cuma, tapi orangtuaku tidak mengizinkannya. Namun, aku tidak ambil pusing dan langsung bermain keluar bersamanya. Kami berdua sama-sama beranjak dewasa, belajar semua hal baru serba bersama. Kami juga pernah berpikir bahwa kami akan terus bersama sampai kita dewasa nantinya.

"Cen, lu sadar ga sih? Kita sudah berteman sejak kita berdua masih balita."

"Ya, gw juga berpikir begitu. Memang kenapa?" balasku dari pertanyaan Dana.

Dana juga selalu menjagaku dari orang-orang yang usil dan ingin menggangguku. Dia juga seringkali memberikan perhatian untuk aku selalu menjaga kesehatan.

"Ku bilang, orang itu brengsek! Biar gw pukul dia buat lu!" kesal Dana kepada orang-orang yang tidak menyukaiku.

"Eh, gak usah, Dan. Gw gak apa-apa, seriusan!"

"Tapi lu dikata-katain kayak mayat hidup gitu, gw ga terima! Lu kan juga temen gw!" tegas Dana sambil menggenggam erat tangannya untuk menghajar orang-orang itu. Hal-hal seperti ini kadang membuatku sulit meredakan emosinya.

Dana juga suka tiba-tiba marah, karena ada orang yang sering mengganggu ku. Saat dia sedang kesal, aku juga sempat diabaikan olehnya. Beberapa hari kemudian, aku mendatangi rumahnya dengan wajah datar seperti ujung padang tandus. Aku tanya, "Ada apa dengan wajah anehmu? Sangat mengganggu pandanganku."

"Hei, muka lu kenapa? Udah jelek makin jelek," tanya Cen.

"Gatau, gue ga mood buat keluar. Kalau kita keluar malas banget, nanti palingan ribut lagi."

Setelah itu, aku mengajak bermain ke tempat lain untuk bisa mengalihkan emosinya yang masih terbawa sampai saat ini. Bagaimanapun sahabatku itu, dia seperti itu karena kecemasan dia yang tahu bahwa aku sering menjadi target sasaran orang-orang untuk menjadi bahan bakar untuk menyalakan api. Dana memutuskan untuk tidak keluar rumah selama 2 hari setelah aku ajak bermain keluar. Mungkin dia tidak ingin bertemu dengan orang-orang pengganggu saat bersamaku.

Namun, kemarin juga aku sempat sedikit kesal ketika amarahku mencapai puncaknya karena orang-orang itu menggangguku dengan berkata seperti "lihat tukang gali kuburan (Dana) membawa mayat yang masih hidup". Ya, seperti itu perkataan mereka, tapi aku cukup tersinggung. Tak hanya itu, orang norak itu bahkan meludahi wajahku dengan dahak baunya yang tidak sedap. Jujur, aku hanya bisa diam dan tidak bisa mengejarnya karena dia menggunakan kendaraan roda dua untuk menggangguku.

Tapi pada hari ketika kami diganggu, terutama aku yang terus menerus menjadi target mereka, ketika aku pulang, aku pun bersiap-siap untuk membersihkan diri setelah mandi. Aku makan hidangan malam yang sudah dimasak oleh ibuku sendiri. Saat makan malam, aku merenung tentang apa yang selalu terjadi sepanjang usiaku 5-14 tahun ini. Mengapa orang-orang sering menggangguku? Apakah karena aku memiliki fisik dan warna kulit yang berbeda? Mengapa mereka begitu? Namun, saat itu aku hanya memikirkan sesuatu yang mungkin tidak terlalu penting. Aku lantas melupakannya begitu saja karena aku sudah cukup lelah dan besok harus masuk pagi ke sekolah.

Hingga pada hari sebelum ulang tahunku yang ke-17 tahun, kami mencapai akhir cerita. Dana mengikuti jejak orangtuanya dan dia memblokir semua akun media sosialku. Bahkan ketika kami bertemu secara langsung, dia memalingkan wajahnya saat melihatku. Dia marah kepadaku karena masalah antara kedua orangtuanya. Padahal aku sama sekali tidak memiliki masalah dengan dirinya. Urusan kita dengan kedua orangtua kita tidak ada hubungannya, jadi mengapa sahabatku yang dulu begitu senang menjagaku dan menemaniku saat waktu-waktu kosong, tiba-tiba memutuskan hubungan persahabatan dan silaturahmi?

Sahabat dan teman masa kecil. Mereka bisa membuat diri kita bahagia, meski hubungan itu tidak berakhir sampai akhir hayat. Aku contohnya, karena aku mempercayainya. Kami berpisah dan aku merasa tidak berharga. Eh, nggak sampe sana. Aku jadi malas memikirkan hubungan pertemanan dan sekolah saat itu. Namun, orangtuaku mendoktrin pikiranku untuk tidak terlalu larut dalam masa lalu. Walaupun aku sempat menolaknya, sayangnya mereka memiliki prinsip dan ketegasan tersendiri sehingga aku tidak ingin banyak berbagi cerita atau membuka ruang diskusi dengan mereka. Aku memiliki banyak keberanian untuk mempertahankan prinsip, tapi karena mereka, aku selalu dituntut untuk mengikuti keinginan mereka dan menganggap apa yang mereka katakan sebagai absolut (tidak dapat dibantah).

Pada keadaan tertentu, aku merasa bahwa aku tidak memiliki kuasa atas hidupku sendiri. Orang-orang bilang ini adalah rencana Tuhan dan takdir yang telah ditentukan. Karena selama aku hidup, aku selalu didorong untuk menjadi orang yang tidak peduli dan tidak memedulikan sejarah kehidupan. Layaknya anak buah dan pemimpin kapal, aku selalu terpaksa mengikutinya, suka atau tidak, jika itu perintah atau tuntutan orangtua. Maka, aku harus menjalani setengah mati.

***

Aku berumur 6 tahun di tahun ini, dan pertama kali lulus dari taman kanak-kanak. Awalnya aku senang bisa melanjutkan pendidikan berikutnya, yaitu sekolah dasar (SD). Seperti anak pada umumnya, saat aku kecil aku sering bermain selepas belajar. Aku mungkin memiliki sedikit masalah saat belajar, seperti kesulitan untuk fokus dan belajar hal-hal baru.

Ketika aku masih berada di bangku taman kanak-kanak (2004-2006), aku memang sulit mengerti tulisan dan angka-angka yang diberikan oleh mama atau guru. Rasanya seperti mimpi buruk saat aku disuruh untuk belajar membaca dan menghitung. Sebelum aku lulus dari masa-masa TK, ini adalah ceritaku saat masih kecil.

Pertama kali aku bisa masuk TK, awalnya itu sangat menyenangkan. Aku sangat senang karena aku berpikir akan mendapatkan banyak teman dan bisa bermain bersama. Aku begitu senang sehingga saat pertama kali aku mendapatkan seragam TK, aku langsung memakainya dengan bangga dan berkata,

"Mama, lihat aku! Aku keren kan!" kataku dengan penuh kegembiraan kepada mama.

Mamaku langsung mengambil sebuah foto saat aku memakai seragam TK itu, dan lucunya topi yang aku pakai terbalik seperti anak hip-hop. Sore itu, aku bergegas keluar rumah dan bermain dengan sahabatku yang bernama Dana. Dia memanggilku di depan rumah untuk bermain di sore hari. Aku pun langsung menghampirinya.

Namun, sekarang saat aku menulis cerita ini, aku sempat lupa apa yang sebenarnya aku lakukan setelah itu. Mungkin saja aku sudah bercerita kepada teman masa kecilku seperti Dana, Eri, atau El. Seperti anak-anak normal lainnya, kita akan merasa bangga ketika mencapai sesuatu dan sering kali kita hanya ingin menyimpan perasaan itu untuk diri sendiri.

Kadang-kadang, saat memberikan kabar atau mendapatkan pujian, baik kalian maupun aku sebagai penulis, bisa merasa terbebani oleh pujian itu. Aku tidak mengerti mengapa pikiranku begitu, semakin banyak orang memuji, semakin mudah orang itu jatuh.

Aku sebenarnya ingin menceritakan beberapa hal menyenangkan bersama sahabatku Dana dan teman masa kecil lainnya. Oke, mari lanjutkan ceritaku saat aku berumur 6 tahun.

Jadi, saat aku sedang bermain di luar bersama kakakku dan teman-teman di kompleks itu, ada beberapa hal yang membuatku merindukan masa itu. Seperti mencuri buah mangga dari pohon tetangga, bermain masak-masak... Teringat akan bermain masak-masak, aku juga pernah melakukannya bersama teman-temanku, termasuk kakakku sendiri.

Beginilah ceritanya. Aku dan Dana sedang menangkap ikan di selokan, terdengar jorok memang, tapi namanya juga anak-anak, kita menangkap ikan kecil dan katak kecebong. Kita memberikannya kepada teman-teman perempuan di sana untuk digunakan sebagai bahan bermain masak-masak, terdengar menjijikkan memang. Tapi ada beberapa hal lucu saat teman baru kita bergabung dalam kelompok bermain dan dia memakan 1-3 ikan kecil yang sudah dikeringkan oleh aku dan kakakku.

"Eh, Cen, boleh minta satu?"

"Oh ya, ambil saja.."

Aku sedang membersihkan tanganku dan baru menyadari ketika temanku memakan ikan yang kucari dari selokan tadi.

"Eri, di sini ikan mana? Tadi apa yang mau kamu lakukan?"

"Eh? Aku kira itu ikan asin yang sudah habis dimakan, jadi aku memakannya."

"Er, itu ikan yang kucari, Cen yang menangkapnya." Tegur kakakku kepada Eri.

Dengan muka polos dan tidak bersalah, seketika wajahnya membeku karena ikan itu memang menjijikkan haha...

Ya, kira-kira begitu cerita masa kecilku bersama teman-teman. Sekarang dan nanti, semua hal terjadi begitu saja dalam masa bahagiaku bersama teman bermain. Setelah mengingat-ingat, sebenarnya apa yang sudah terjadi ketika aku masih kecil? Terutama saat aku berhasil masuk ke sekolah dasar? Kira-kira begini ceritanya.

Pagi itu, mamaku membangunkanku untuk segera berangkat sekolah untuk pertama kalinya. Namun, jujur saja, aku sulit sekali bangun dari tidur. Mamaku perlu mengeluarkan 80% upaya atau bahkan lebih untuk membangunkan anak bungsuku yang suka tidur seperti ini. Aku yang ketika dibangunkan malah marah-marah dan jujur saja, aku itu cengeng, jadi saat itu aku menangis karena tidak mau masuk sekolah karena takut.

Padahal, awalnya aku senang, tapi ketika mendekati hari-H, aku malah menangis dan meminta tidak mau sekolah karena tidak ingin meninggalkan temanku, Dana, yang belum sekolah saat itu.

"Mama, aku tidak mau. Aku tidak mau sekolah hiks..."

"Ih, kemarin kamu ingin sekolah, sekarang tidak. Ayo, masuk, buruan! Mandi, siap-siap, semuanya sudah mama siapkan!!" tegas mama kepadaku.

Karena kakakku sudah berangkat duluan dengan jemputan, aku diantar oleh mamaku ke sekolah. Kakakku saat itu sudah duduk di kelas 3 SD, sedangkan aku dua tahun di bawahnya. Kami memang satu sekolah, tapi kakakku jauh lebih rajin dibandingkan diriku.

Saat sampai di sekolah, entah apa yang menyelimuti rasa takut dan kecemasan ini saat melihat orang-orang. Seketika, rasanya seperti aku ditusuk oleh ratusan jarum di dalam hatiku dan pikiranku. Seolah-olah ini adalah pintu masuk ke neraka kehidupanku. Mungkin terdengar konyol, tapi dalam pikiranku saat itu terdapat kalimat seperti "Selamat datang di neraka, anak aneh!". Begitulah yang ada dalam pikiranku saat aku memasuki sekolah untuk pertama kalinya.

Jujur saja, dalam kekonyolan ini, aku berpikir, "Hei, Cen kecil, kamu sungguh anak yang sangat pemalu!" Namun, aku tahu bahwa kecemasan berlebihanku sudah ada sejak aku masih kecil. Baiklah, mari kita lanjutkan ceritaku.

Seperti yang kita tahu, suasana sekolah begitu ramai dan bising. Kecemasanku merasakan semua hal itu menekan diriku. Mamaku sendiri tidak kubiarkan pergi atau beranjak dari "zonaku", maksudku adalah kelas.

Tak terbayangkan rasanya aku sering dipuji seperti boneka atau anak dari luar negeri karena kulitku yang begitu putih dibandingkan dengan anak-anak lainnya. Aku masih mengingat kata-kata mereka dan cewek-cewek di sana suka menggodaku.

"Hai, Cen, kamu kok putih banget? Mama kamu kasih makan apa sih?", "Ih, lucu banget, putih seperti boneka!!", "Ada bule!! Ada bule!!". Mereka berkata seperti itu. Memang itu merupakan pujian, tetapi dalam benakku, itu adalah ancaman atau alarm bahaya. Seolah-olah pujian-pujian dari teman-temanku, guru, atau orang tua murid lain sedang mengancam diriku.

Aku juga tidak tahu apa yang menyebabkan kecemasan ini menjadi alarm bahaya dalam diriku. Sebagai fakta menarik, saat aku pertama kali masuk, banyak yang ingin dekat denganku, tetapi aku yang diam dan tidak banyak berbicara butuh upaya ekstra untuk terbiasa berbicara dengan teman-teman sekelas.

Mungkin karena itulah beberapa orang merasa iri atau tidak suka dengan keberadaanku saat itu karena aku memiliki ciri khas yang berbeda dengan anak-anak lainnya.

Ketika pelajaran dimulai, yang kuingat, teman-teman sekelas terlihat sangat pintar. Mengapa? Tentu saja, karena aku, Cen, yang berada di kelas 1 SD, tidak bisa membaca dan menulis dengan baik. Aku hanya bisa bercerita melalui gambar dan coretan seperti anak dari zaman batu jika dibandingkan.

Jujur, hal itu membuatku tertekan juga melihat orang-orang di sekitarku sangat unggul dalam pelajaran. Aku hanya bisa diam dan duduk selama jam pelajaran karena tidak mengerti cara menghitung dengan baik, membaca dengan baik, atau menulis dengan baik.

Yang kulakukan hanya diam dan memperhatikan lingkungan dengan rasa takut dan kecemasan. Aku selalu melirik ke jendela atau pintu kelas untuk memastikan mamaku masih ada di sana atau tidak. Jika tidak, aku akan menangis dan berteriak karena takut ditinggalkan. Untungnya, wali kelasku berusaha membuatku nyaman.

Meskipun awalnya aku memandangnya sebagai musuh karena belum mengenalnya, wali kelasku mendorongku untuk segera berkenalan dengan teman-teman sekelas. Jujur, responnya sebenarnya baik. Tapi aku melihat sisi lain dari anak-anak itu. Aku melihat setiap keaslian mereka dan tujuan apa yang mereka miliki terhadapku. Sejak saat itu, hari pertama di sekolah dasar, aku hanya bisa mendapatkan beberapa teman saja, dan aku menemani mereka yang benar-benar menjadi temanku saat itu.

Beberapa jam setelah pelajaran selesai, ada waktu istirahat sekitar pukul 9 atau 10 pagi. Aku langsung mengambil tas dan dihadang oleh wali kelasku.

"Cen, kenapa membawa tas? Belum saatnya pulang, kan...," tegur wali kelasku saat itu.

Aku pun menjelaskan bahwa aku ingin pulang segera dan takut mamaku pergi meninggalkanku sendirian di sekolah. Meskipun ada kakakku, kita jarang bertemu di satu kelas kecuali di rumah atau saat berkumpul bersama mamaku. Namun, wali kelasku memberitahuku bahwa mamaku tidak akan pergi dan setidaknya aku bisa sedikit tenang saat anak-anak sedang keluar kelas untuk membeli makanan atau bermain bersama.

Aku sendiri berbeda, aku duduk dan menggambar apa yang aku rasakan saat itu. Dan seketika itu, pengalaman pertama tentang badai kehidupan dimulai.

"Wah, si bule."

"Lihat! Bule ini menggambar."

"Kalian lihat juga?!"

"Gambarannya jelek banget, hahaha!"

Aku yang terdiam hanya bisa mengeluarkan air mata saat itu. Untungnya, ada seorang teman perempuan yang melihatku dan membantuku mengusir para pengganggu itu dengan memanggil wali kelasku.

"Hei, ada apa ini? Kenapa Cen menangis? Kalian sedang melakukan apa?" tanya wali kelasku kepada anak-anak yang menggangguku.

Dengan cara yang manipulatif, mereka anak-anak itu berbohong dan mengatakan bahwa aku tiba-tiba menangis atau alasan tangisku tidak jelas, agar mereka tidak mendapat teguran dari ibu guru. Tetapi tetap saja, aku hanya bisa menangis dan diam saat itu, ketika kepala ku begitu berisik dan merasakan pusing berlebihan. Aku menangis histeris seperti anak yang cengeng, yang hanya bisa menangis saja. Setelah itu, mamaku datang dan menanyakan keadaanku kepada wali kelasku itu.

"Itu Shendi (Cen), bagaimana, Bu? Apa baik-baik saja?"

"Oh Cen, baik-baik saja kok. Tadi ada anak nakal yang mengganggumu, biasalah Bu, anak-anak bagaimana."

"Oh, syukurlah, aku kira ada yang salah karena tadi aku mendengar suara anak kecil yang keras, ternyata itu anakku. Maaf ya Bu, merepotkan."

"Tidak apa-apa kok Bu, namanya juga anak-anak."

Setelah perbincangan mereka, aku segera meminta pulang karena jam pelajaran juga sudah selesai. Tetapi seperti biasa di sekolah dasar, pasti disuruh mengerjakan pertanyaan atau semacam kuis sebelum keluar. Tetapi aku yang tidak bisa menjawab, apalagi menyelesaikan soal saat itu, aku pulang paling terakhir dikarenakan keterbatasanku dalam memahami informasi baru seperti menulis, membaca, dan menghitung.

Aku ingin pulang dengan cepat karena kepala ku begitu sakit. Akhirnya aku dan mamaku pulang, dan aku tidak ingin membicarakan banyak hal tentang sekolah. Cen kecil selalu mengalihkan pikirannya pada hal-hal yang disukainya. Setelah itu, aku diperintahkan untuk segera mandi lalu makan siang. Aku juga ingin bermain di luar bersama teman-temanku. Namun, mamaku tidak mengizinkanku untuk langsung bermain, melainkan tidur siang terlebih dahulu sebelum boleh keluar rumah.

***

Mungkin aku dianggap sebagai anak yang payah, bodoh, sulit bergaul, dan berbeda dengan anak-anak lainnya.

Saat ini, aku hanya menulis beberapa kisah tentang perjalanan menuju penerimaan diri yang sempurna. Aku membuang beberapa hal demi cinta ku terhadap menulis. Kita hanya perlu mengingat sejarah kehidupan kita, bukan terpaku dalam bayang-bayang masa lalu.

Namun, ingatlah bahwa kita tidak dapat hidup tanpa masa lalu, dan semua itu bisa terlupakan ketika sahabatku dan teman-teman bermainku di rumah menemaniku dan mengajakku untuk berkreasi bersama. Hari pertama kali masuk sekolah dasar, mungkin juga merupakan awal dari ceritaku.

Ingatlah, sahabat atau orang terdekat bisa seketika membuatku melupakan kejadian tersebut seperti penghapus yang menghapus coretan arang pensil di atas kertas, tetapi tetap meninggalkan bekas. Aku bersyukur karena saat itu aku masih memiliki obat penenang alami, yaitu orang-orang terdekatku.

Jujur, hari ini aku menulis ulang semua catatan pribadiku dari draf. Aku ingin membagikannya kepada kalian para pembaca di luar sana, dan aku ingin kalian mengetahui kisahku tentang manusia dan coretan-coretannya. Aku adalah seorang penulis amatir yang bermimpi menjadi seorang profesional di bidang ini. Monolog ini akan terus ada, sampai akhir penulisan selesai.

semua berawal dari monolog diri ketika menulis diari saat semasih suka menulis dengan kertas dan pena.

CenUniversecreators' thoughts