webnovel

MALPIS

[17+] Kisah ini menceritakan soal Alya dan Ben. Mereka bertemu saat si kebetulan tak sengaja menghampiri mereka. Lalu mereka mulai saling memberikan perhatian saat si cinta dan rasa sayang membutakan mereka. Namun si mantan datang dan tanpa sengaja merebut kembali apa yang pernah menjadi miliknya.

adeliafahriani_ · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
69 Chs

Chapter 71 - They Are Trying So Much

Ini adalah sambungan part 70. Kalo bingung, baca part sebelumnya bagian akhir.

Ben membuang wajahnya ke arah depan. "Kalau aku memang niat untuk lakukan itu ke kamu, aku gak akan pernah jujur sama bapak kamu dan berusaha memperbaiki semuanya. Aku gak akan tinggal ditempat yang sama." Ucapnya.

Alya menatap lampu merah yang sudah berubah hijau itu. "Kalau gitu kita jalanin aja, sampai sejauh mana kita bertahan."

Ben menginjak gasnya perlahan dan senyumannya  mengembang sedikit demi sedikit. Ia ingin tertawa dan berteriak riang, tapi ia tidak ingin terlalu gegebah dan merasa bahagia karena kalimat  istrinya. Cengkramannya pada kemudi itu semakin kuat karena ia menahan rasa gembiranya.

Ben memarkirkan mobilnya di salah satu slot yang kosong. Ia melepaskan seat beltnya dan melirik ke arah Alya sesaat. Ia tidak bisa menahan senyumannya yang terus terpancar sejak tadi. Ia turun dan mobil dan mendekati istrinya disisi lain mobilnya.

Alya memperhatikan tempat yang baru baginya. Sebuah restoran bernama Legami. Ben meraih tangan Alya dan menggandengnya. Alya menoleh ke arah tangannya dan tidak ada gerakan ia ingin menariknya. Hanya saja rasanya aneh bersentuhan setelah sekian lama.

Ben mengajak Alya masuk ke dalam restoran itu. Dan disana sudah penuh dengan pengunjung. Hampir semua mejanya penuh dan hanya beberapa yang belum terisi. Pelayan membawa mereka ke sisi kiri dalam restoran itu yang tersedia dua kursi untuk mereka.

"Aku belum pernah kesini. Papa yang pesan tempat ini." Seru Ben. Alya hanya melirik pria itu tanpa berkomentar.

Beberapa orang lainnya mulai berdatangan dan mengisi meja yang kosong. Lalu pintu restoran itu diberi pembatas seperti pagar kayu yang menutup setengah dari daun pintu itu. Pelayan mulai menyediakan minuman untuk mereka. Tidak ada buku menu yang mereka sajikan karena semua hidangannya sama.

Alya meneguk minumannya sedikit untuk melegakan tenggorokannya. Sudah lama mereka tidak makan berdua seperti ini. Terakhir kali mereka makan dalam keadaan bahagia adalah saat masa pendekatan sebelum pernikahan. Dan saat mereka mulai renggang adalah beberapa waktu lalu saat Alya mengajak Ben untuk jalan di malam minggu. Dan saat itu, Ben tampak tidak menikmati makan malam mereka.

Ben melipat kedua tangannya didepan meja dan menatap istrinya. Alya tahu kalau dirinya sedang diperhatikan oleh Ben. Ia berusaha untuk tidak gugup dengan memandang ke arah lain.

"Makasih ya, Al." Ujar Ben pelan namun penuh kehangatan.

Alya memutar bola matanya menghadap Ben. "Memangnya aku ada bilang kalau aku maafkan kamu?"

"Enggak."

"Jadi terima kasih untuk apa?"

"Karna kamu mau jalanin ini dengan aku, dan itu cukup buat kita memperbaiki semuanya."

Alya membuang pandangannya ke arah lain. Wajahnya mulai hangat dan mugkin sudah berubah pink karena rasa malunya saat ini. Sudah lama ia tidak mersakan perasaan ini pada suaminya.

Pelayan mulai mengeluarkan menu pembukanya dengan sebuah sajian mini yang tampak begitu cantik. Cara penyajiannya pun tidak biasa, pelayan memberikannya dengan gerakan yang khas. Alya setengah tertawa melihatnya karena pertama kalinya ia kesini. Disaat Alya menikmati momen itu, pandangan Ben tertuju pada satu orang yaitu istrinya.

"Ada yang kamu mau dari aku gak?" Tanya Ben. Mungkin saja Alya menginginkan sesuatu darinya apapun itu yang bisa ia berikan.

Alya mengunyah makanan pembukanya dan menoleh ke arah Ben sambil berkata, "Jadilah Ben yang aku kenal sebelum semua ini terjadi." Kemudian menoleh ke arah lain. Senyuman Ben perlahan menghilang. Kalimat itu seperti membuka memori kelamnya selama beberapa bulan terkahir ini.

Makanan utama mereka datang dan tampilannya benar-benar menggugah selera. Porsi yang besar dan tentunya mengenyangkan. Alya mulai menikmati makanannya dengan garpu dan pisau dikedua tangannya.

Ben menoleh ke arah Alya dan berkata, "Apa kita harus program anak?" Ada keraguan didalam nadanya. Ia benar-benar ingin memulai semuanya dari awal. Tapi ia juga masih khawatir dengan tanggapan Alya padanya.

Alya berhenti mengunyah makanannya dan memandang Ben dengan tegang. "Jalanin dulu bukan berarti kita harus sejauh itu. Kamu masih egois dan aku belum sepenuhnya maafkan kamu, lebih baik seperti ini." Sahutnya.

Ben mengangguk paham. Mereka memang  memerlukan waktu berdua lebih banyak. Alya melirik Ben pelan dan memikirkan maksud ucapan suaminya. Bukan ia tidak ingin memiliki anak, hanya saja ia masih belum tahu apakah itu jawaban terbaik ketika dirinya masih belum merasa yakin.

Makanan penutup mereka muncul dengan mangkuk kecil namun dengan isian penuh, yaitu eskrim vanila dengan toping cherry yang berwarna-warni. Saat mereka tengah menyantap makanan penutup itu,  pelayan direstoran mulai menari mengikuti iringan lagu yang unik, dengan beberapa macam ornamen yang membuat pengunjung menikmatinya sambil melahap eskrim tersebut. Alya benar-benar dibuat tertawa dan gembira ditempat itu. Sedangkan Ben, sejak tadi dirinya tidak memiliki pemandangan yang lain selain istrinya. Rasanya sangat bahagia ketika Alya bisa bersamanya seperti ini.

***

Minggu pagi itu, Alya sengaja masak

sedikit lebih banyak karena mertuanya akan meninggalkan apartemen mereka. Dalam waktu kurang dari tiga jam, mertuanya akan meninggalkan Jakarta dan berada di Bandung dalam beberapa hari ke depan. Setelah itu mereka akan kembali ke Bali.

Sarinah mendekati Alya dan berkata, "Kalau kamu merasa Ben melakukan sesuatu yang mencurigakan lagi, jangan lupa telpon mama ya." Pesannya.

Alya tertawa mendengarnya. Ia mengangguk lucu pada mertuanya itu sambil memeluknya.

Malpis mendekati Ben dan berkata, "Jangan kecewakan Alya lagi."

"Iya, Pah." Ben mengangguk paham. Setelah hari ini ia tidak akan melakukan kesalahan apapun lagi.

Malam itu suasana rumah menjadi sepi karena hanya tinggal mereka saja disana. Alya melihat jam didinding depan televisi menunjukkan pukul 8.40 malam. Ia menoleh ke arah ruang kerja yang masih menyala. Ben sudah berada didalam sana setelah makan malam tadi, dan belum juga keluar. Sedangkan dirinya menonton sinetron kesukaannya.

Alya berdiri dari sofa dan berjalan ke arah dapur. Ia melirik ke arah ruang kerja sesaat dan melihat Ben tengah sibuk membaca kertas ditangannya. Senyumannya mengembang tipis dan langkahnya semakin mantap menuju dapur lalu mengeluarkan cangkir kecil.

Alya masuk ke dalam ruang kerja dengan teh manis untuk suaminya. Ben menoleh karena ia melihat adanya seseorang disana. Ia kaget saat melihat Alya muncul dengan kebiasaannya yang sudah lama menghilang. Alya meletakkan cangkir teh itu dipinggir meja agar tidak menyenggol lengan suaminya.

"Terima kasih." Ucap Ben lembut pada istrinya yang tepat berdiri disampingnya.

Alya tidak menjawab ataupun berkomentar. Ia hanya menarik bibirnya agar menbentuk sebuah senyuman seolah ia terpaksa melakukannya. Ben tidak tinggal diam. Ia menarik tangan Alya dan memeluk wanita itu sambil duduk. Kepalanya tepat berada diperut istrinya dan ia meneganggelamkannya disana. Tangannya melingkar dipinggul Alya dengan erat. Helaaan napasnya terdengar disana.

"Nanti kamu tidur didalam aja." Ucap Alya pelan.

Ben melepaskan pelukannya dan menatap wajah istrinya dengan sendu dan penuh kasih sayang. Ingin rasanya ia mengungkapkan betapa ia sangat gembira saat ini.

"Aku tidur duluan." Pamit Alya. Ben mengangguk dan melepaskan istrinya dari balik dinding. Ia menghirup tehnya perlahan. Rasa yang sama yang dulu ia minum. Rasanya tidak pernah berubah.

***

Bel istirahat kedua baru saja berbunyi dan Alya tidak memiliki kelas sejak tadi. Ia hanya menghabiskan waktunya di majelis guru sambil menulis materi ujian untuk muridnya. Tiba-tiba ponselnya berbunyi dan nama Irma muncul disana, mama Dewa.

"Halo, ibu Irma?" Sapa Alya ramah.

"Halo, ibu Alya?" Balas wanita itu ramah.

"Sudah di Indonesia, buk?" Tanya Alya.

"Baru aja sampai dirumah Dewa." Jawabnya. "Dewa sekolah, buk? Soalnya saya hubungi dari tadi gak bisa."

"Masuk, buk." Alya sempat melihatnya tadi pagi. "Mungkin batereinya udah habis." Alasannya.

"Mungkin juga." Irma diam sejenak. "Buk, satu jam lagi saya kesana mau lihat rapor Dewa, bisa?"

"Gimana kalau jam pulang sekolah aja, buk? Soalnya sebentar lagi saya ada kelas." Usul Alya.

"Boleh. Ya sudah, sampai bertemu nanti buk." Irma menutup ponselnya.

Alya bangkit dari kursinya dan berjalan menuju kelasnya. Ia berdiri didepan kelas dan melihat ke arah meja Dewa. Bocah itu tengah tidur sambil meletakkan kepalanya diatas meja. Ia menggelengkan kepalanya dan bersikap seolah ia sedang mengontrol kelasnya.

"Nanti sampaikan dengan Dewa, pulang sekolah temui saya di majelis guru." Pesannya pada ketua kelas yang kebetulan tengah berkumpul didepan kelas mereka.

Bel tanda pulang berbunyi dan Alya baru saja tiba dimejanya setelah dari kelas terakhirnya. Tiba-tiba Dewa muncul dengan tergesa-gesa didepannya.

"Ada apa, buk?" Tanya Dewa panik.

Alya mengerutkan dahinya. Ia cukup takjub karena tumben sekali bocah itu datang secepat ini. "Kamu gak anterin temen kamu dulu?" Sindirnya.

Dewa menggeleng. "Ibu kenapa mau bertemu dengan saya?" Tanyanya  cemas.

"Mama kamu tadi telpon, katanya ponsel kamu gak aktif ya?"

"Iya, saya bosan pelajaran sosiologi, makanya batereinya habis." Jawabnya santai.

Alya menggelengkan kepalanya. "Mama kamu akan datang untuk ambil rapor sebentar lagi."

Wajah Dewa sumringah. Ia senang mamanya sudah datang. Rindu sekali ia pada wanita itu.

"Kamu tunggu didepan, sebentar lagi saya nyusul." Perintah Alya.

"Saya kira ibu panggil saya karena kejadian malam itu." Komentarnya. Lega hatinya. Ia takut kejadian kemarin masih menyisakan urusan lainnya.

Alya menoleh. "Kamu belum berhenti kerja juga?" Tanyanya.

"Belum, buk." Dewa menggelengkan kepalanya. "Janji buk, akhir bulan ini terakhir. Sekalian ambil gaji, buk." Pintanya.

"Udah sana, kamu ke depan dulu." Usir Alya. Ia sudah jarang sekali memarahi Dewa seperti dulu. Sekarang ia lebih memberikan perhatiannya pada bocah itu dengan sedikit ketegasannya.

Alya mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan mamanya Dewa. Wanita itu tampak sedikit kurus dari terakhir kali mereka bertemu. "Sehat, buk?" Sapanya.

"Sehat, buk." Jawab Irma. Ia memperhatikan tubuh Alya yang tampak berisi. "Ibu Alya udah isi, ya?"

Alya melototkan matanya terkejut. "Enggak." Sanggahnya cepat. "Belum, buk." Sambungnya. Bagaimana bisa ia isi jika berhubungan dengan suaminya saja tidak pernah. Ia duduk didepan wanita itu beserta putranya. "Ini buk, laporan nilai Dewa semester kemarin." Alya mengulurkannya.

Irma mengangkatnya dan melihat tampilan nilai itu. Wajahnya penuh senyum. "Nilainya lumayan, buk." Pujinya. Ia menepuk paha anaknya bangga.

"Iya, semester ini nilainya meningkat dari kemarin." Ujar Alya. Ia senang melihat kedekatan Dewa dengan mamanya. Bocah itu terlalu lama sendiri dan terkadang rasa kasihannya muncul.

"Ini boleh saya bawa pulang, buk?"

"Boleh, boleh. Bawa aja gak apa. Nanti jangan lupa ditanda tangan ya." Pesan Alya.

Irma mengangguk. Ia menepuk paha putranya sekali lagi. "Gak terasa sudah mau tiga tahun Dewa disini, padahal kayaknya kemarin dia masih kelas satu." Komentarnya.

"Begitulah, buk. Kalau kata orang-orang tua dulu, anak itu gak terasa pertumbuhannya. Tiba-tiba mereka udah mau menikah." Sambung Alya.

Irma mengangguk sambil tertawa. "Ibu Alya malam ini ada acara?" Tanyanya.

"Kenapa, buk?"

"Malam ini saya mau ajak ibu makan malam dirumah, mau? Sesekali buk, mumpung masih bisa masakin untuk Dewa, sekalian untuk ibu juga. Jujur saja, di Jakarta ini tujuan saya cuma Dewa dan Ibu Alya saja." Ceritanya. "Ibu juga boleh ajak suaminya." Tambahnya.

Alya mengangguk. "Kalau tidak ada halangan saya usahakan datang ya, buk."

Irma mengangguk paham. Dewa menatap Alya yang merubah raut wajahnya ketika mamanya menyebut suami wanita itu. Sepertinya mereka belum terlalu baik.

Begitu Dewa dan Irma pulang, Alya langsung mengirimkan pesan pada suaminya.

Malam ini kamu bisa temenin aku...

Pesan itu dihapusnya kembali. Ia mengetik ulang sekali lagi.

Kamu bisa pulang lebih awal gak, aku diundang ke rumah dewa...

Sekali lagi pesan itu dihapusnya. Kalimatnya terasa formal sekali. Sudah lama ia tidak mengirimkan pesan pada suaminya. Sekali lagi Alya mengetiknya.

Mama Dewa undang aku makan malam dirumahnya malam ini. Kamu bisa temenin aku gak?

Alya mengirimkan pesan itu dan tanpa mengubahkanya. Ia merasa kalimatnya sudah pas.

Tak butuh waktu lama, Ben membalas pesan itu.

Iya aku bisa. Nanti aku pulang jam 6.30 ya. Aku temenin kamu ke sana.

Alya mengumbar senyuman manisnya saat membaca pesan dari Ben padanya. Ada gejolak tersipu malu didalam hatinya saat ini. Rasanya seperti kembali menjadi gadis remaja lagi.

***

Arif masuk ke dalam ruang kerja atasannya dan melihat Ben tengah sibuk menandatangani beberapa kertas laporan kegiatan hotel.

"Maaf Pak, nanti kita ada meeting dengan beberapa orang dari kedokteran." Kata Arif lugas.

Ben menegakkan wajahnya. "Kedokteran yang mana?"

"Pengajuan proposal seminar dokter gigi bersama beberapa professor untuk bulan depan."

"Oh." Ben mengangguk paham.

"Meetingnya jam enam sore, Pak." Sambung Arif sambil mengingatkan. 

Ben menoleh kaget. Ia menepuk keningnya. "Aku lupa sore ini ya meetingnya?" Wajahnya begitu kesal.

"Iya. Saya sudah sampaikan sejak tadi pagi." Arif membela diri.

Ben membuka ponselnya dan langsung menghubungi Alya. Tak perlu menunggu waktu lama, wanita itu langsung menjawabnya.

"Halo." Sapanya singkat.

"Halo, Al. Maaf ya. Malam ini aku gak bisa temenin kamu ke rumah Dewa soalnya aku ada meeting malam ini." Nada Ben begitu frustasi. Meetingnya tidak bisa dibatalkan.

"Oh, ya udah." Jawab Alya dengan singkat.

"Kamu marah?" Tanya Ben cemas.

"Enggak."

"Aku gak bohong, Al. Aku memang ada meeting." Ben meyakinkan istrinya.

"Ya udah." Jawab Alya lagi. Ia ingin sekali mempercayai ucapan suaminya namun masih ada pikiran nakal yang membuatnya berpikir jahat. "Udah ya, aku mau siap-siap." Alya buru-buru mematikan sambungan telponnya.

Ben menghela napas kesalnya. "Meetingnya tidak bisa diganti besok aja?" Tanya Ben pada Arif.

"Enggak bisa, Pak. Jadwalnya sudah digeser tiga kali." Sahut Arif. Ben mengurut keningnya karena ia baru saja melewatkan satu kesempatan untuk membuat Alya percaya padanya.

Arif tidak berani membantu atasannya karena persoalan kemarin saat ia membohongi wanita itu belum sekalipun ia meminta maaf. Apalagi jika ditambah persoalan yang satu ini. Bisa-bisa Alya akan memarahinya karena membela Ben.

***

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.